Riuhnya alam serupa dengan risau hatiku. Risau ini bermula sejak sebulan yang lalu. Risau yang bermula dari galau dan bimbang yang dialami Santo tentang hidupnya saat ini. Santo berjanji untuk memberikan kepastian jawaban hari ini. Untuk menanti jawaban tersebut, aku tak pernah jauh dari telepon rumah sejak pagi tadi. Aku ingin di dering telepon yang pertama, aku langsung mengangkatnya. Aku ingin Santo tahu bahwa aku sungguh-sungguh peduli dan memperhatikannya. Aku menanti jawaban yang menentukan hidup Santo selanjutnya.
Kuperhatikan jarum jam. Saatnya aku berdoa angelus. Aku berdoa di ruang tamu, tetap di samping telepon. Aku yakin Tuhan mengerti dengan keadaan ku. Lagi pula, aku sangat yakin Tuhan tak hanya ada di dalam ruang doa tetapi juga Tuhan ada juga di mana-mana. Selepas doa angelus, dering telepon belum juga datang. Rasa kantuk mulai menyerangku. Yah, di usiaku yang sekarang ini, rasa kantuk sering datang lebih awal. Tapi aku tak ingin terlalu tunduk pada usia fisik yang semakin senja ini. Ku coba mencari-cari aktivitas yang bisa kulakukan tanpa harus meninggalkan pesawat telepon.
***
Wajah Santo di usianya yang ke-27 mengingatkanku pada Simon. Simon, pria yang menikahiku 28 tahun yang lalu. Pria yang setia menemaniku dalam suka dan duka. Pria yang rela melakukan apa saja untukku. Terutama ketika aku menderita sakit yang membuatku tak mampu lagi berjalan sebagaimana normalnya. Ia tak pernah merasa jenuh dan gerah dengan keadaan diriku ini. Saat ingin buang air kecil atau air besar, ia akan memikulku ke toilet. Ia memandikanku layaknya seorang ibu memandikan bayinya. Ia selalu mencari informasi tabib dan obat terbaik untuk menyembuhkan sakitku. Ia tak pernah malu mengakui bahwa wanita yang berjalan tertatih-tatih, tak cantik lagi, yang selalu berjalan dengan dipapah adalah istrinya. Simon sungguh pria pendamping terbaik dalam hidupku. Ia selalu ada untukku. Ia tak tergantikan oleh siapa pun. Ia terus berjuang demi kesembuhanku sampai hari kepergiannya yang abadi. Sebuah kepergian tak terduga. Seharusnya aku,yang sakit ini, yang beranjak ke rumah Bapa di surga bukan Simon. Selalu, ketika mengenang hal ini, aku pasti menangis.
Untuk menemani penantianku ini, aku membuka sebuah lagu karangan John Rutter yang berjudul The Lord Bless you and keep you. Lagu favorit dan diriku. Lagu yang indah dengan syair-syair yang menguatkan imankami.
Bersamanya, aku dikarunia tiga orang anak. Seorang putera dan dua orang puteri. Ketiganya tidak lagi bersamaku. Mereka telah bertumbuh dewasa. Begitu cepat rasanya waktu memisahkan mereka dari pelukanku. Namun hal ini harus terjadi. Bukankah akupun pernah berlaku demikian pada kedua orang tuaku. Yah, mereka sedang menimba ilmu, merenda masa depan mereka sendiri. Aku tak ingin mengurung mereka di dalam rumah ini hanya karena keadaanku saat ini. Mereka harus berjuang untuk kebahagiaan hidup mereka. Yah kebahagiaan hidup. Kejarlah hidup yang membuatmu bahagia. Aku selalu berdoa untuk kebahagiaan ketiga anakku. Dua puteriku, Tiara dan Santi tidak tinggal sedaratan denganku. Mereka jauh di seberang lautan, di tanah Jawa. Sedangkan puteraku, Santo tinggal sedaratan denganku. Meskipun sedaratan denganku, ia jarang berkomunikasi dan mengunjungi aku. Untuk hal ini, aku tak bisa menyebutnya anak durhaka seperti Malin Kundang. Hal itu memang harus terjadi. Itulah tuntutan dari kehidupan yang sedang dijalani oleh puteraku.
Berbeda dengan kedua saudarinya yang selalu menelepon aku. Bercerita banyak hal tentang apa yang mereka alami. Bukankah itu yang sering dilakukan para gadis, mencurahkan isi hati kepada sang bunda. Terlepas dari kebiasaan umum seperti itu, mungkin pula mereka berbuat demikian untuk mengusir kesendirian dan kesunyian dalam rumah ini. Kesendirian dan kesunyian karena Simon telah pergi ke Rumah Bapa di surga. Simon…Simon, mengapa engkau pergi tanpa pesan satu pun untuk aku dan ketiga anakmu? Tanpa terasa air mataku jatuh. Jatuh membasahi wajah simon yang terbingkai dalam foto berukuran 4 R. Simon meninggalkanku seorang diri. Kini, aku adalah ibu sekaligus ayah untuk mengurusi ketiga anak kami. Menjadi ibu sekaligus ayah dalam kondisi yang belum pulih kesehatanku. Memang tak mudah untuk mengalami sebuah kehidupan sebagai orang tua tunggal. tapi aku tak mau mundur selangkah pun. Aku akan terus maju dan berjuang demi anak-anakku. Aku berjuang menyelesaikan semua utang keluarga kami dan menyekolahkan anak-anakku. Tuhan sungguh mahabaik dan Ia telah membuat segalanya menjadi baik pada waktunya. Tuhan memperlancar semua hal yang menjadi harapanku dan anak-anakku. Tuhan sungguh luar biasa.
***
Yah, hari ini, aku sedang menanti jawaban puteraku. Jawaban final untuk perjalanan kehidupannya. Bila mengingat perjalanan hidup anakku, aku sebenarnya tak perlu gelisah. Dari tahun ke tahun semenjak puteraku menempuh pendidikan, aku sudah sering dihantui kegelisahan. Gelisah, apakah anakku bertahan ataukah dikeluarkan dari sekolahnya. Aku senantiasa berdoa agar ia tetap bertahan dan sukses dalam belajarnya terutama dalam panggilan hidupnya. Keberhasilan Santo berarti kebanggaan keluarga.
Aku bukanlah seorang perempuan yang rajin berdoa seperti sekarang ini. Aku mulai rajin berdoa saat aku berjumpa dengan seorang perempuan berkerudung biru. Perempuan berkerudung biru, yang aku yakini sebagai Bunda Maria. Aku senantiasa berdoa Rosario, berdoa Novena Tiga kali Salam Maria. Bunda Maria memintaku untuk mendirikan sebuah gereja. Gereja itu harus diberi nama KOPASE. Ini terjadi dalam mimpiku. Awalnya aku berpikir mimpi ini hanyalah bunga tidur. Muncul sekali dan kemudian hilang selamanya. Aku tak mau bercerita kepada orang lain bahkan suamiku tentang mimpi ini. Mimpi bertemu dengan Bunda Maria bukanlah mimpi biasa. Orang pasti akan menertawakanku bila aku bercerita tentang hal ini. Bagaimana mungkin orang sepertiku bermimpi berjumpa dengan Bunda Maria. Bagaimana mungkin Bunda Maria memilihku sebagai perantara? Ketakutan dan keraguan ini membuatku tak ingin bercerita apapun kepada siapa pun. Rupa-rupanya tidak. Mimpi serupa terus berlanjut selama seminggu. Mimpi yang berlanjut seperti ini membuatku gelisah dan tak tenang. Simonlah orang pertama yang mendengar cerita tentang mimpiku ini.
Aku bersyukur bahwa suamiku tidak menertawakan mimpiku itu. Ia seorang pria yang beriman. Ia yakin bahwa setiap orang dapat menjadi alat di tangan Tuhan. Tuhan dapat menggunakan siapa saja seturut kehendak-Nya. Manusia mungkin menilai dirinya tidak layak untuk itu tapi penilaian Tuhan berbeda dengan penilaian manusia. Ia tak menghakimiku, tak menertawaiku. Yah, suamiku menerima ceritaku dengan bijak.
“Membangun gereja?” tanggap Simon,” Bagaimana mungkin hal itu bisa terwujud?” lanjutnya.
Aku bisa pahami pertanyaan ini. Aku dan Simon hanyalah pegawai negeri berpangkat rendah. Untuk membangun rumah pribadi saja belum sanggup. Bagaimana bisa membangun sebuah gereja yang tentunya membutuhkan banyak biaya. Itu tak mungkin hanya bersumber dari gaji kami berdua. Tidak akan terwujud permintaan tersebut. Permintaan ini terlalu berat dan mahal untuk dipenuhi.
“ Pa, permintaan yang datang dari Tuhan tidak boleh disepelekan kalau tidak kita akan mendapat masalah,” jawabku
“ Masalah?” seru Simon. Aku menangkap nada ketakutan. ”Tuhan pasti mengerti bila kita tidak sanggup memenuhi permintaannya.”
Dalam kebingungan dan ketakutan, aku dan Simon memilih untuk berkonsultasi dengan pastor paroki. Dalam perjumpaan dengan Pastor Paroki, aku mendapatkan pencerahan tentang pengalaman rohaniku ini. Beliau mengatakan pengalaman rohani seperti itu tidak baik dipendam dan disimpan sendiri. Pengalaman rohani seperti itu harus dibagikan kepada orang lain. Pengalaman rohani bukan hanya rahmat pribadi tetapi juga rahmat bagi yang lain. Selain iman pribadi, iman orang lain pun bisa diperdalam oleh pengalaman iman kita. Kata-kata yang menyejukkan hati yang bingung dan takut. Tak sebatas penjelasan itu saja, beliau juga mengatakan bahwa permintaan Bunda Maria dalam mimpi tersebut bisa bermakna lain. Ia menceritakan bahwa ada seorang ibu yang bermimpi tentang peristiwa yang hampir serupa. Sang ibu melihat sebuah gereja tua yang tidak terawat lagi. Gereja itu tak berpintu lagi, tiang salib yang berada di atas menara gereja telah berkarat, banyak ilalang yang tumbuh di dalamnya, sarang burung gereja dan laba-laba memenuhi hampir seluruh Gereja. Seperti halnya diriku,ibu itupun bingung bagaimana memahami mimpi itu. Romo berkata bahwa mimpi tersebut adalah pesan dari Tuhan agar salah satu dari anak mereka harus menjadi seorang pelayan Tuhan, menjadi seorang pastor. Maka terjadilah seperti yang diminta. Putra pertama dari sang Ibu menjadi seorang pastor. Pastor itu kini telah berkarya di tanah misi Papua Nugini. Selain kisah ini, Romo pun berkisah tentang salah seorang perempuan beriman dalam Kitab Suci yaitu Hana. Hana, yang tua dan mandul, senantiasa berdoa kepada Tuhan agar ia dikaruniai seorang putra. Kesetiaan Hana dalam harap dan doa berbuah berkat dari Tuhan. Ia mendapatkan Samuel. Samuel, putra satu-satunya, dipersembahkan kepada Tuhan.
Cerita-cerita dari Romo inilah yang menguatkan niat kami. Niat untuk mempersembahkan anak kami bagi Tuhan. Santo, putra sulung kami, kami persembahkan bagi Tuhan. Kami berjuang keras agar ia dapat bersekolah di Seminari yang ada di daerah kami. Puji Tuhan semua berjalan dengan baik. Aku melihat kegembiraan di mata Santo.
***
Sejak kepergiaan suamiku, masalah-masalah bermunculan. Banyak orang yang datang menagih utang suamiku. Ada anggota keluarga yang hendak merebut hak tanah adat suamiku, uang kuliah putriku yang belum dibayar. Semuanya itu kuceritakan kepada putraku. Rumah yang belum selesai dikerjakan oleh suamiku. Ada begitu banyak hal yang berpindah ke pundakku. Ku ceritakan semua yang kualami ini pada putraku Santo. Ada rasa lega dan tenang setelah berbicara dengan putraku. Namun ketika mendengar kebimbangan putraku atas jalan yang ditempuhnya. Aku merasa takut dan gelisah. Aku takut jangan-jangan cerita pelepas sedih dan deritaku ini justru menghancurkan rumah imamat yang telah dibangunnya selama ini. Aku takut, ia berhenti lantaran ingat padaku, pada deritaku, derita seorang ibu. Aku memang menderita tapi aku kuat karena Tuhan ada bersamaku. Aku yakinkan Santo bahwa ibu kuat dan sangat berharap ia dapat menjadi seorang imam. Tuhan akan melindungi Ibu dan semua keluarga.
***
Sebulan yang lalu, Santo berkata padaku bahwa apapun keputusan yang akan diambilnya, aku harus mendukungnya. Apakah Santo terus melanjutkan hidup menjadi seorang imam ataukah justru berhenti dan memilih menjalani hidup yang lain. Aku mendengar nada ketidakpastian, nada kebimbangan dalam suara putraku, Santo. Apapun keputusanmu Santo, Ibu akan selalu mendukungmu. Engkau sudah dewasa. Engkau tahu mana yang terbaik.
Jam dinding di ruang tamu berdentang sepuluh kali. Telepon dari Santo belum juga datang. Rasa kantuk dan lelah tak bisa lagi kutahan. Aku matikan lampu ruang tamu. Aku memeriksa jendela dan pintu. Semuanya sudah terkunci dengan baik. Setelah itu. aku beranjak tidur. Aku berharap besok pagi, Santo memberi kabar yang baik. Kabar bahwa ia mau menjadi anak Tuhan.