Sejujurnya, aku agak asing dengan kata-kata kudus pada mulutku. Seumur mulutku, cerca dan makian yang berkuasa dan menghiasi dua bibirku yang mulai mengerut ini. Cerca pada manusia, binatang, alam dan juga pada Tuhan. Tapi ada satu orang yang tak berani ku bercerca dengan mulutku ini. Mariam namanya. Dia perempuan pertama dan terakhir yang kukenal, kucintai dan kuhidupi sampai setua detik ini. Kemana aku pergi dia selalu ada dan menemaniku. Setiap cercaku hanya dibalas dengan senyum dan doa. Ia berdoa agar lepas dari neraka.
Sekali ini, aku teringat dengan doa. Sebelum ini, aku terlalu sibuk dengan usaha menghalau derita dan sengsara hidup. Apakah mulut kotorku berbuah berkat. Aku agak sangsi. Akankah Tuhan mengabulkan doaku untukmu, Kersen? Uhmm..kita lihat saja nanti. Besokkah? Lusakah? Tulakah?...kah?..kah?.Kah? kah? ? Kalau Tuhan masih ada, kamu akan berbuah bagi dia.
Kersen, ketahuilah, sekarang gumam-gumam suci bertebaran di ruang-ruang suci pribadi. Selamatkan diri sendiri. Sucikan diri sendiri. Hidupmu bukan hidupku. Kita berbeda meski membasah di air yang satu dan mengering di bumi yang satu. Tak ada ruang bagi yang lain.
Kersen. Sebatang pohon Kersen.
Pertama kali kutemukan kersen dalam benak malamku. Ia berdiri tegak di sudut ruangan putih. Ruang rahim masa depan. Bila ku amati, Kersen itu tak mampu menegaki ruang putih itu. Hanya setengahnya saja. Mungkin sudah takdir baginya. Akarnya menembus tanah yang mulai berbatu. Tak tau, seberapa dalam dia menembusi tanah mencari air yang tak disediakan langit. Aku berharap akar itu lebih dalam menyusup dalam tubuh bumi. Tubuhnya mengurus lurus dengan kulit yang mulai menghitam. Tubuhnya segengam kaleng fanta ata sejenisnya. Terus berharap untuk tinggi seperti jati yang ada di belakangya. Seribu jemari mungil menyembul sejauh-jauhnya untuk bisa menjamah, meraba dan menggengam segelas udara suci. Selaksa rambut tumbuh menudungi setengah tubuhnya. Rambut hijau yang indah dalam kepucatan. Bulir-bulir kecil hijau memerah bergelantungan di ketiak-ketiak kersen.
Setelah aku melihatnya dalam benak malam, kucari dia. Kutemukan dia serupa dalam benakku. Apa gerangan yang akan terjadi dengan aku dan kersen. Mungkin berkat atau mungkin juga celaka. Lepas dari mungkinku, aku yakin, kami berjodoh. Kuberharap Mariam, teman siang malamku, juga berjodoh dengannya. Sejak itu di siangku, aku berada di bawah kersen. Aku tak lagi berjalan mengelilingi kota dengan gerobak kuning. Tulang tuaku tak lagi mampu mengukur jalanan kota. Gerobak kujual dengan sesak di hatiku. Ku beli jarum dan benang. Aku berganti profesi. Aku, kini, jadi penjahit sepatu dan sandal. Reparasi sandal dan sepatu tepatnya. Benang dan jarum menjadi sahabatku sejati. Tak lupa, Mariamku juga.
Berkah yang kurasa. Terbukti, banyak orang yang datang meminta jasaku. Dalam sehari, bisa sepuluh pasang sandal dan sepatu yang ku jahit. Dari harga sepatu dan sandal yang mahal harganya sampai sepatu dan sandal yang murah harganya. Aku tak membuat perbedaan harga. Semuanya sama setelah dipakai bukan? Merek tinggal merek. Biar mahal kalo tidak dijaga pasti akan cepat rusak. Biar murah kalo dijaga dengan baik tiga empat tahun bisa terjangkau. Yah, harga pasaran yang kupakai, tiga belas ribu rupiah. Setiap kali mengembalikan sepatu sandal mereka, aku berkata. “Siarkan pada yang lain kalau mau menjahit sepatu datanglah ke tempat saya “Kersen Reparation”. He ..he..he…ijin saya tertawa sejenak. Aneh yah namanya? Heran yah dengar nama itu? Pastilah aneh, pastilah heran. Kalau ingin tertawa, yah tertawalah. Kita tertawa bersama-sama. He he ha ha he he ha ha..he ha..ha he…ha..he. Aku tak mungkin bisa membuat nama seperti itu. Si tua bodoh ini, tak mungkin bisa. Orang pintar yang memberi nama itu. Pas sekali nama itu untukku. Tentu saja setelah kuberkisah tentang perjodohan nasib kersen dan aku.
Aku bahagia hidup bersama kersen. Tapi apakah Kersen bahagia? Uhm, aku tak peduli yang penting aku bahagia. Bahagiaku, bahagia Mariamku. Bahagia karena tak perlu bersusah untuk mendapatkan dua tiga lembar ribuan. Dulu aku dan Mariam harus mengukur jalan, membersihkan jalan, memungut sampah. Kini, Aku tak perlu bangun pagi-pagi untuk berperang melawan pemulung lainnya. Aku tak perlu lagi mendiamkan perut takkala sampah tak berubah jadi uang. Apalagi, orang kota semakin hemat saja. Buktinya, sepatu dan sandal yang sudah rusak tak mereka buang. Mereka datang padaku untuk diperbaiki. Aku mempunyai waktu kerja yang pasti. Masuk pukul delapan pagi. Istirahat untuk makan siang pukul tigabelas. Pukul tujuh bela sore, aku pulang ke rumah. Seperti orang kantoran saja. Pilihanku tepat. Mimpiku tentang kersen membawa berkah. Aku dan Mariam berbahagia di bawah pohon kersen.
*
Aku kersen, sejak lahirku berdiam diri di sini. Aku kersen dari sekian banyak kersen di bumi ini. Ku harap demikian. Karena sepanjang tubuhku, setebal kulitku, sebanyak jari-jariku, selebat rambutku, aku tak pernah dengan kersen yang lain. Aku hidup di pinggir jalan yang kian hari kian meramai. Tak ada harapan bagiku untuk berpindah. Untuk mati dan menghilang, ia. Bahkan ketika waktuku belum tiba, aku dapat mati. Aku seorang diri di sini. Tak ada saudara tuk hidup bersama. Mereka yang lain menjauh dan menghilang. Aku, Kersen, Kersen sebatang kara. Tertumbuh dalam kesendirian. Aku Kersen, tubuh lemah dijepit hasrat-hasrat yang mengeras dalam masa. Aku kersen. Aku kersen yang nelangsa.
Dalam nelangsa, aku berharap akhirku segera datang. Untuk apa berlama-lama hidup dalam kesendirian. Lebih baik pergi dan mungkin aku berganti bentuk pada kelahiran berikutnya. Aku ini siapa jika tak ada yang lain. Yang lain kemana, mereka menjauh dariku. Aku ini, kersen kota yang nelangsa. Hidup di kota serasa hidup di hutan. Lebih baik hidup di hutan bersama yang lain. Bisa bermain bersama-sama tanpa takut untuk menghilang. Huh ..mau bagaimana lagi. Aku tak punya pilihan dan tak bisa memilih. Aku hanya diam dalam takdirku. Tak seperti dua manusia tua di bawahku ini. Setelah bertahun-tahun berteman dengan sampah, kini berdiam di bawah tubuhku menjadi seorang penjahit.
Senangnya kedua manusia ini. Mesra mereka sepanjang usia mereka. Sayang mereka belum beranak.
*
Lagi-lagi dalam benak malamku. Aku melihat bulir-bulir keluar dari tubuh kersen. Setiap lekuk ketiak kersen menyembul bulir-bulir yang memerah. Bulir-bilur memerah itu terbungkus dalam daun-daun emas.
Uhm, apakah ini pertanda baik. Sejauh yang kudengar dari cerita orang, mimpiku pertanda baik. Mungkin semakin berbuah, semakin beruanglah aku. Saat ku bercerita pada Mariamku, ia hanya tersenyum dan menutup mata dengan tangan menepuk dada.
Tapi ada satu hal yang lain dari mimpi itu. Ini tak kuceritakan pada Mariamku. Setiap kali burung punai memakan bulir-bulir kersen itu, burung punai akan kehilangan sayap dan jatuh ke bumi, lalu mati. Apa artinya ini?
Sejak malam itu, ritual baru kujalankan. Setiap pagi, aku selalu membawa sebuah jerigen air kali untuk membasahi tubuh kersen. Mariamku juga. Mariam membantuku menggembur tanah di sekeliling kersen. Bahkan sesekali ia meremas dua susu tuanya untuk kersen. Seolah-olah hendak menyusui kersen. Kami merawat kersen serupa anak kami sendiri. Dengan begitu, yakin kami, kersen akan terus berbuah lebat. Semakin lebat semakin beruang. Dalam bayang-bayang, aku akan bisa memberi kebahagiaan untuk Mariamku. Akan kuajak mengelilingi kota dengan mobil. Tak hanya keliling kota, bila perlu keliling dunia sekalian. Bayang-bayang ini semakin mendorongku untuk bekerja lebih rajin. Aku sudah lupa dengan sisa mimpi yang belum ber-arti bagiku.
Orang-orang tersenyum geli melihat laku kami. Mereka ingin bertanya tapi tak berani. Mereka pasti berpikir derita dan miskin telah membuat dua manusia tua itu gila. Aku ingin mecerca mereka tapi aku ingat, aku harus berdoa. Berdoa supaya semua usaha Mariam dan diriku tak sia-sia. Aku tak ingin mengotoriku mulut dengan cerca sebelum berdoa. Berdoa harus dengan mulut yang bersih, pikirku.
“Kersen,Berbuahlah kekal”
“kersen, Berbuahlah kekal”
“Kersen, Berbuahlah kekal”
*
Simin dan Mariam membuatku bahagia. Nelangsaku hilang seiring air yang membasahiku dari jerigen tua Pak Simin. Asaku segar kembali dengan air susu Mariam yang kecut. Aku akan berbakti untuk kalian, ayah dan ibuku.
*
Doaku tak bertepuk sebelah tangan. Kuperhatikan tubuh kersen mulai berbunga putih mungil. Bunga-bunga menjelma bulir-bulir hijau. Bulir-bulir mulai memerah. Berubah dengan cepatnya tanpa alur yang lazim. Uhm mungkin ...berkat untukku ini selalu dilalui dengan kelainan. Tak seperti biasanya. Baiklah bulir dari kelainan ini, kupersembakan untuk Mariamku. Mariam harus merasakan awal baru dari kehidupan kami.
Sungguh, Mariam Simin menemukan hidup baru setelah memakan bulir kersen yang pertama. Mariam jadi punai yang terkulai di tanah berbatu selepas memakan bulir kersen pertama.
====
Malang, ketika doa tak lagi sebuah doa