Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Pernikahan Gerhana (5)

9 Mei 2012   13:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:30 158 0
Janet terus berlari namun tidak menuju ke rumahnya. Ia berlari ke arah hutan dan terus menapaki sebuah bukit. Sempat terpeleset dan terjatuh namun ia bangkit dan dengan terseok kembali menaiki bukit. Di dekat sebuah batu besar Ia berhenti. Nafasnya masih memburu dan air matanya masih membanjiri seluruh wajahnya. Ia duduk di atas batu besar itu dengan posisi membelakangiku. Sam sudah berada di sampingku.

" Janet...Marie..." Suara Sam terdengar parau. Aku tahu Ia tidak tahu tindakan tepat apa yang harus Ia lakukan dalam situasi seperti ini.

"Sam, pulanglah..." kataku.

"Marie..." kata Sam lagi. Janet membalikkan tubuhnya. Wajahnya dingin dengan bibir yang mengatup rapat.

"Mengapa kalian disini, Marie? Sam ? Cepat kalian pergi." Janet berbicara tetap dengan ekspresi yang sama.Dingin.

"Janet..."

"Pergilah, Marie. Biarkan aku disini."

"Janet..." Aku berusa mendekati Janet.

"Marie, pergi !"

"Marie...." Sam ikut bersuara.

"Pergi kau, Sam !" Kataku pada Sam.

"Marie...." Suara Sam seakan membujukku untuk menuruti kemauan Janet agar meninggalkannya sendiri.

"Pergilah, Sam! Biarkan kami disini."

"Marie ! Sam! kalian.....pergi !!!" Janet berteriak dengan menunjukkan jari tangannya ke arahku.

" Pergi kau, Sam ! Pergi !!!" Tidak aku sangka aku masih memiliki energi untuk berteriak kepada Sam dengan suara sekeras suara Janet.

" Marie..."

" Pergi !!!"

"OK. Baik-baik kalian disini." Kata Sam menyerah. Ia pun pergi menuruni bukit dengan sesekali melompat menghindari rumput-rumput yang berduri. Sekarang yang ada hanya  aku dan Janet.

" Janet, aku tidak mencintai Sam dan tidak akan pernah mencintainya." Kataku pelan.

" Kalau Sam mencintaimu ?"

"Tidak. Ia hanya mencintaimu, Janet. Aku yakin."

"Dari mana kau mengetahuinya ?"

" Rahasia." Kataku sambil tersenyum kepada Janet meski terus terang sebenarnya aku tidak tahu jawaban apa untuk pertanyaan itu. Namun aku cukup berbangga karena dengan jawaban itu aku bisa melihat senyum Janet kembali. Senyumnya seperti senyum Mira setiap kali aku goda tentang hubungannya dengan Neil.Tuhan, beri aku kekuatan untuk mempersatukan Janet dengan Sam. Janet begitu mencintai Sam seperti halnya Mira mencintai Neil.

"Apa lagi yang kita cari disini ? Ayo, pulang." Kataku kepada Janet.

"OK. Baik-baik kalian disini." Janet menirukan kata-kata Sam sambil menuju ke arahku. Berdua kami menuruni bukit. Tidak begitu jauh kami berjalan aku melihat jejak kaki tanpa alas yang sangat jelas di bawah sebuah pohon besar. Janet berjalan di depanku. Diam-diam aku sedikit mendongak ke atas pohon, tampak Sam berada di salah satu dahan bagian atas.

" Marie, kau berjalan lama sekali..." Janet sudah cukup jauh di depanku sana.

"Oh, ya..." Aku berlari menyusulnya sambil menahan tertawa. Ternyata Sam tadi tidak langsung meninggalkan kami dan langsung kembali ke desa. Tapi apakah tadi Ia mendengar pembicaraanku dengan Janet ? Ah, sudahlah. Bukan masalah juga kalau ia tadi mendengar semuanya.

***********************

Peristiwa Janet yang berlari dari hall desa mau tidak mau akhirnya membuka hubungan Janet dengan Sam di depan warga desa sekaligus juga membuka rencana pernikahan Janet dengan Hugo. Pedro, laki-laki yang juga keturunan suku Veno sering kali berada di rumah Janet atau pun terlihat pergi dengan Ayah Janet.

"Sam lebih pantas denganmu, Marie."

"Marie, menikahlah dengan Sam.Jadilah warga desa Wacola."

Bertubi-tubi kalimat itu aku dengar dari warga desa ini dan hanya aku balas dengan senyum. Alangkah menyenagkan sebenarnya jika aku menjawab bahwa saya sudah punya Hendry. Tapi bukankah kenyataannya tidak ada Hendry ?Perih juga hatiku menerima kenyataan ini.

Membaca buku-buku di rumah Sam (Saya kesana pasti dengan mengajak Janet)  dan juga berbincang-bincang dengan saudara-saudara Sam yaitu Ben, Sharon, dan Roma yang sering aku panggil Amor cukup membuatku terhibur. Tidak aku sangka segala hal yang aku pelajari di desa Lanzones sama seperti yang Sam dan saudara-saudaranya pelajari di sekolah mereka.Sekali lagi  aku mengacungkan jempol untuk Kak Diego dan Kak Annie.

Kuda jantan milik Ben-pun telah akrab denganku. Ia bernama Kuupe. Sharon juga memperkenalkan kudanya yang bernama R-Tone. Namun untuk misalkan pergi ke tempat-tempat lain di desa Wacola ini aku lebih nyaman dengan Kuupe. Seperti hari ini aku ingin berjalan-jalan ke Pantai Pasir Putih dan ke keramaian dekat stasiun.

" Apakah anda perlu panah, Nona ?" Sam bertanya dengan senyum lebar menggoda.

"Tidak perlu, terima kasih." Aku tahu Sam hanya iseng menanyakan itu.

Aku benar-benar sedang ingin menikmati kesendirian tanpa ditemani oleh Janet, Sam, ataupun saudara-saudara Sam. Aku pergi hanya dengan Kuupe dan tas selempang yang aku pakai. Tujuan pertama adalah Pantai Pasir Putih dan pantai itu memang benar-benar indah. Tidak berbeda dengan gambar maupun penjelasan yang ada di buku-buku tourism Wacola.

Aku ambil cincin bermata biru dari dalam kotaknya yang berada di tasku.Aku akan membuang semua kenangan yang ada di cincin ini terutama tentang Hendry. Aku akan membuangnya jauh ke tengah laut sana. Tapi.....Apa hakku untuk membuangnya ? Cincin ini kami beli ketika aku, Hendry, Mira, dan Neil diajak Kak Diego ke sebuah pekan buku di kota.  Di cincin ini tidak hanya ada kenangan tentang Hendry namun juga tentang Mira dengan Neil, Kak Diego, dan juga buku. Cincin ini pun aku masukkan ke dalam kotaknya lalu aku simpan lagi ke dalam tas. Biarlah Tuhan yang mengatur semua kenangan di memoryku. Kuupe-pun membawaku ke keramaian dekat stasiun.

Di dekat stasiun ini ternyata telah ada fasilitas internet warga. Entahlah, ini baru atau aku yang tidak menyadarinya ketika baru turun dari kereta bersama Janet. Pada detik ini aku berterima kasih kepada Tan Yin Yang yang selalu mengingatkanku untuk terus belajar bahkan pada hal-hal yang telah kita kuasai. Dua tahun belajar komputer hanya akan membuat kita sekedar tahu tentang masalah-masalah teknis tanpa semangat menggali. Itu yang dikatakan oleh Tan Yin Yang.Aku buka google dan search kata belajar Lanzones. Oh, tidak aku sangka taman tempat aku belajar telah memiliki blog khusus. Aku ingin menangis sekeras-kerasnya ketika membaca dan membuka gambar-gambar yang ada disitu. Lalu juga membuka untaian puisi karya Mira. Menahan tangis sungguh membuat kepalaku pusing, leher kaku, dan dada sesak. Dengan mata berkunang-kunang aku tulis komentar di blog itu.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun