Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Pernikahan Gerhana (4)

27 April 2012   10:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:02 205 1
Satu minggu kemudian saya dan Janet sudah siap dijemput oleh Rio, Paman Ah Sin untuk menuju stasiun kota. Kereta api. Satu alat transportasi baru kembali saya kenal. Buku-buku perantara  sudah saya jadikan satu. Semua sudah saya tulis disitu. Sebenarnya 2 pekan lagi kak Annie akan ke kota tapi waktu tidak bisa menunggu. Kepada boss dan Tan Yin Yang saya mengatakan akan berhenti dulu selama 1 tahun. Itu maksimal.

Perjalanan menuju desa Wacola menurut Janet sebenarnya hanya memakan waktu setengah jam di atas kereta namun kereta akan berhenti kurang lebih setengah jam di stasiun kecil yang berada di pinggiran hutan. Sehingga menambah waktu perjalanan. Sampai di stasiun desa Wacola, perjalanan kami lanjutkan dengan naik angkutan desa. Di sebuah perempatan kami berhenti dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.

" Lumayan, Janet...." kataku.

" Sudah aku katakan dari kemarin, bukan?"

" Iya, sih." kataku sambil mengelap peluh di dahiku. Jalanan sepi hanya suara burung yang melengking dari atas pohon di sisi kiri dan kanan  jalan.

" Janet, mengapa suasana sepi ini tidak pernah masuk ke dalam tulisan para penulis tentang Wacola, ya ?" tanya saya iseng.

"Sepi lebih sering bersahabat dengan para penulis puisi bukan penulis reportase tourism atau pariwisata."

"..Atau kamu mau memulainya, Janet ?"

" Ada usul ? Tentang?"

"Mmmm, misalkan ...kau tidak perlu melengking untuk menyuarakan cintamu..."

"Sam tidak pernah melengking. Tidak tahu kalau Hendry-mu ha ha ha !"

"Sialan !"

" Marie.."

" Ya.."

" Kita bersahabat, kadang aku terpikir apakah ending kisah cinta kita akan sama ?"

"Maksudmu ?"

"Bisa jadi perpisahan juga adalah jalan terbaik untuk aku dan Sam."

"Jangan mendahului takdir, Janet."

" Ya, memang..."

Kami pun berjalan  dalam kesunyian sampai di rumah Janet.3 hari 2 malam saya di tinggal disitu. Sebelum akhirnya saya tinggal dengan seorang nenek yang tinggal sendiri yang rumahnya tepat di sebelah rumah Janet. Janet biasa memanggil nenek itu dengan nama Nenek Pome.

Keluarga Janet sebenarnya memiliki masalah yang tidak jauh berbeda dengan keluarga lain di desa Wacola ini yaitu terlilit hutang pada istri laki-laki keturunan suku Veno. Pinjaman tersebut  akhirnya membengkak. Terlebih ayah Janet sendiri sukar sekali terlepas dari jerat permainan judi. Janet atau Rachel, adik Janet lah yang kemudian harus menerima resiko. Salah satu dari mereka harus mau menjadi istri kedua laki-laki dari suku Veno.

"Apakah istrinya mau memiliki madu sepertimu atau adikmu yang lebih muda darinya?"

"Itulah. Aku sudah memperkirakan nasib yang akan diterima disana. Makanya aku tidak rela jika adikku yang akan mengalami hal tersebut."

" Sam tahu hal ini?"

"Ia hanya tahu bahwa orang tuaku memiliki pinjaman yang membengkak tapi Ia belum atau tidak tahu bahwa orang tuaku telah menerima ancaman. Sebenarnya dari uang hasil kerjaku beberapa tahun dapat untuk melunasinya namun Ayah seperti itu. Mmmm, bagaimanapun juga Ia adalah Ayahku..." kata Janet sambil mengatupkan bibirnya kuat. Kelu.

"Tidak bisa meminta perpanjangan waktu lagi ?" Tanyaku.

"Itu sudah sering sampai kemudian tidak ada toleransi lagi." Janet lalu mengambil kotak perhiasan yang ada di meja kamarnya. Kotak perhiasan yang Ia terima dari orang suruhan laki-laki suku Veno tepat pada malam pertama kami sampai di desa ini. "Mungkin ini sudah nasibku, Marie..." Gumamnya.

"Kapan rencana pernikahan itu ?"

" 6 bulan lagi. Bertepatan dengan waktu sakral Suku Veno."

" Aku pernah membaca bahwa mereka juga memiliki sejarah  memakan daging manusia."

"Sekarang sudah tidak mereka lakukan. Mereka hanya menyembelih hewan persembahan untuk leluhur."

" Sebaiknya kamu membicarakan ini dengan Sam, Janet.."

"....dan membiarkan keluarganya akan menghina habis-habisan keluargaku ?"

" Kamu mengatakan bahwa kamu mencintai Sam. Kamu telah mengenalnya. Bagaimana mungkin mulutmu mengatakan itu tentang keluarga Sam ? Mengapa kamu tidak menganggap bahwa mereka adalah juga calon keluargamu yang pasti akan care dengan masalahmu, Janet ?" Suaraku agak meninggi. Janet tersentak dengan ucapanku. Ia mendadak mematung sambil matanya mengalirkan air mata dengan deras. Aku tidak kuasa melihatnya. Aku hampiri Janet. Aku peluk dia.

"Maafkan aku..." Kataku perlahan.

"Marie, keluarganya jauh di awang-awang sana. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan." Bergetar bibir Janet mengucapkan kalimat itu.

" Mudah-mudahan kita segera menemukan jalan keluarnya...." Aku tepuk perlahan pundak Janet.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun