Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Bu Guru Juga Manusia...

16 Juli 2010   16:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:49 202 0
Hari Kamis sore... Sekolah Arab telah selesai namun hujan masih turun dengan deras. Beberapa Guru telah dijemput oleh suami mereka, tinggal saya dengan Jiddah yaitu owner sekolah Arab ini. " Bagaimana kabar adikmu ?" " Sedang menyusun tesis, Jiddah." Saya setuju bergabung  dengan Sekolah Arab ini pun karena faktor kedekatan adik saya dengan putri Owner Sekolah Arab ini. Saya tidak mungkin mengecewakan keluarga yang telah berbuat baik pada adik saya pada masa SMU ini. Saya menyadari bahwa di kota ini adik saya telah dianggap sebagai "hero" meski saya tahu kalau di rumah adik saya selalu membuat lubang sumur di tengah nasi saat mengambilnya untuk makan atau tangan sama sekali tidak mau menyentuh daging ayam ketika makan sehingga harus Ibu saya yang melepaskan daging dari tulangnya. Tetap saja adik saya "hero" di kota ini. " JIddah, saya bawa payung koq. Saya pulang dulu." Saya berpamitan. Saya mengambil payung bermotif Bunga Sakura pemberian dari orang tua murid les privat saya, Sabrina. Disebabkan hari itu saya puasa sunnah. Di depan butik milik Jiddah saya membeli cap cae untuk buka puasa nanti. Dari pada harus menyempatkan keluar kost lagi nanti, apalagi selepas maghrib saya harus memberi les privat Sabrina. Saya melongokkan kepala keluar, saya lihat Sabrina masih ada di depan minimarket milik keluarganya. Dia melihat saya dan tersenyum. Saya melambaikan tangan ke arahnya, say hello... Cap cae telah ada ditangan saya. Saya kembali berjalan. Ya, saya akan menikmati hujan ini dengan payung motif bunga sakura, jaket baru yang seperti overcoat, dan sandal berwarna merah. Imajinasi saya mulai bermain. Saya seperti sedang berjalan di bawah salju-salju yang bertaburan. Tangkai payung di tangan kiri, telapak tangan saya menengadah menyongsong salju yang turun dari langit. Bibir tidak henti menggumamkan lagu my favorite things dari film the sound of music. Kaki melangkah ringan, namun seperti akan saya langkahkan dengan mantap agar mirip dengan langkah para peserta KTT APEC. Setelah melewati sebuah jembatan kecil, tangkai payung saya pindahkan ke tangan kanan. Tangan kiri kembali menyongsong salju-salju yang turun bertaburan. Gumaman di bibir saya telah berganti dengan lagu Edelweiss dari film yang sama. Langkah terasa agak berat seakan-akan besok saya harus terbang menuju Washington dan hari ini saya sedang menikmati hari terakhir saya di tanah air. Senja yang indah... Selepas maghrib, saya berangkat ke rumah Sabrina yang ada di belakang kost saya. Hujan masih rintik-rintik, jadi payung saya bawa namun jaket tidak saya pakai karena sedikit basah terkena percikan air hujan. Sabrina telah menunggu di ruang belajar seperti biasa. Jam 20.00 WIB saya berpamitan pulang, saya kaget karena payung saya tidak berada di tempatnya. " Sabrina, dimana payungnya ya ?" " Diambil, Mbak. Saya minta lagi, biar Bu Guru tidak hujan-hujanan." " Lho, itu kan sudah dikasihkan ke Bu Guru..." Saya jadi agak lupa bahwa yang ada di depan saya adalah seorang anak-anak, murid saya. " Biar saja. Tadi saya lihat bu Guru hujan-hujanan. Kalau sakit bagaimana coba ?" Padahal payung itu bagus sekali, saya suka..... Ya, sudahlah akhirnya saya mengalah. Bermain "salju" itu pun hanya saya lakukan pada hari itu karena tidak asyik bermain "salju" memakai payung motif biasa meski jaket dan sandal merah itu masih ada.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun