Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Hati dan Pikiran

18 April 2010   02:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:44 3425 0
Beruntunglah, Tuhan memberikan kita sebuah ‘memory-card’ canggih yang mampu menampung kenangan-kenangan masa silam. Sering saya mencoba membuka ‘file-file’ lama untuk sekedar bernostalgia atau untuk sinau tentang sesuatu hal.

Ada kejadian hari ini yang membuat saya harus mengorek-ngorek ‘file-file’ lama saya. Saya tidak akan menceritakan tentang detail kejadian itu, tapi yang pasti ada sesuatu yang mengganggu pikiran dan perasaan saya. Hanya satu kalimat yang bikin saya harus memeras pikiran dan hati saya untuk menterjemahkannya. Kalimat itu adalah “Tidak Masuk Akal”.

***

Saya teringat kejadian beberapa tahun yang silam. Suatu hari saya sowan ke tempat sahabat (yang sudah saya anggap saudara) saya, dia adalah ‘penjaga masjid’. Tuhan memang Maha-pengatur segala hal, ketika saya sampai di tempat tinggal sahabat saya itu, ternyata disana sudah ada beberapa temannya yang juga ‘penjaga masjid’.

Seingat saya, di tempat itu hanya ada empat orang. Mereka ternyata merencanakan ‘nonton bareng’ di situ. Ketika saya mendapat informasi tentang apa yang akan ditonton, saya langsung males. Tapi mau gimana lagi, saya sudah terlanjur ‘kejebur’ di forum itu. Mereka mau memutar sebuah VCD yang berisi tentang perdebatan antara Islam dengan Kristen. Sebenarnya saya termasuk orang yang amat sangat ‘jijik’ dengan yang beginian, tapi mau gimana lagi? saya pada saat itu tidak mungkin mundur. Saya terus saja disitu dengan harapan ada sesuatu yang baik pada akhirnya.

Saya tidak bisa menceritakan apa yang ada didalam tontonan itu, yang bisa saya tangkap adalah, disana ada beberapa orang yang ‘ngaku’ ulama dan dua orang yang disebutkan disitu sebagai Pendeta. Kalau saya perhatikan dari raut muka orang-orang disekitar saya yang lagi ‘nonton bareng’, mereka sangat antusias, ada yang manggut-manggut sambil mengelus jenggotnya, ada juga gelisah duduknya, dugaan saya pada saat itu, dia sedang kepingin ke kamar kecil, tapi karena yang di tonton sedang seru-serunya dia berusaha setengah mati agar tidak ketinggal sedetikpun dari debat itu.

Dari debat yang durasinya lumayan panjang itu, saya tidak banyak mendapatkan ‘ilmu’, mungkin karena saya tidak paham (ilmu saya masih level bawah), atau mungkin saya sudah terlanjur underestimate. Saya cuma terkesan pada sebuah pernyataan yang diutarakan oleh salah satu pendeta di dialog itu, dia berkata : “Anda tidak akan bisa memahami Injil seperti kami memahaminya, karena kami membacanya (Injil) dengan hati dan iman

***

Saya tidak bernafsu untuk membahas tentang perbedaan Islam dan Kristen, atau tentang orang-orang yang ‘mempelajari’ perbedaan itu. Saya juga tidak akan membicarakan tentang Al-Qur’an ataupun Injil (ilmu saya tidak sampai ke level itu). Karena saya tahu, bahwa pembahasan-pembahasan tentang itu sangat sensitif, bahkan bisa berakibat jelek jika ditafsirkan orang dengan pemikiran yang ‘mentah’.

Seperti saya sebutkan diatas, bahwa rekaman memory tentang perdebatan itu muncul setelah saya diganggu dengan kalimat “Tidak Masuk Akal”. Ya, Akal. Orang-orang yang ‘ngaku’ sebagai ulama di dialog itu mempelajari Injil dengan menggunakan akal (kalaupun ulama itu mempelajari dengan iman, imannya bukan iman kepada Injil), sementara sang Pendeta, mempelajari tidak dengan akal saja, tapi juga hati dan iman (iman kepada Injil). Jadi, sampai kapanpun tidak ada kesimpulan dalam perdebatan itu karena dasar imannya beda, ‘semangatnya’ tidak sama. Dan memang tidak perlu sama. Mempelajari sesuatu itu harus klop antara akal dan imannya.

Dalam perdebatan itu, terkesan ada ‘pemaksaan’ terhadap orang lain untuk memiliki cara pandang yang sama dengan kita, padahal cara pandang itu dipengaruhi tidak hanya logika (akal pikiran), tapi juga rasa (hati). Begitu pula dengan kita (muslim), kalau ‘ngaji’ tentang Allah SWT dengan akal tok, malah bisa membahayakan iman.

Cak Nun dalam satu artikelnya pernah menulis “Pikiran ikut menolongnya (hati) mendapatkan kejernihan dan ketetapan itu (Tuhan), tapi pikiran tidak bisa menerangkan apa-apa tentang Tuhannya. Pikiran mengabdi kepada hatinya, hati selalu bertanya kepada Tuhannya. Di hadapan Tuhan, pikiran adalah kegelapan dan kebodohan. Jika pikiran ingin mencapai Tuhannya, ia menyesuaikan diri dengan hukum dimensi hatinya. Jika tidak, pikiran akan menawarkan kerusakan, keterjebakan dan boomerang

Kita sering terjebak dengan metode-metode kita dalam bertindak, bersikap sekaligus dalam beriman. Kita lebih senang ‘menomorsatukan’ pikiran dibanding hati, bahkan sudah terbiasa dengan itu semua. Sebagai salah satu contoh, beberapa waktu yang lalu Indonesia dihebohkan dengan Ponari. Semua tokoh dan ahli ikut berkomentar, semua stasiun TV memberitakannya, Koran-koran tidak habis-habisnya dalam mengulas fenomena Batu Ponari. Namun satu hal yang bikin saya kurang nyaman adalah wacana yang mengatakan bahwa ‘berobat’ ke Ponari itu tindakan syirik. Saya tidak mengerti hukum Islam, fiqh-nya seperti apa aku ora weruh, namun saya merasa ada ketidakadilan disitu. Kenapa ke Ponari dianggap syirik, sedangkan ke Dokter tidak? Apa bedanya Batu-nya Ponari dengan Pil yang dari Dokter? Saya curiga, jangan-jangan kita men-syirik-kan Ponari karena Batu Ponari itu tidak masuk akal, sedangkan Pil yang dari dokter itu berasal dari proses pemikiran yang panjang dan ilmiyah. Jadi, kesimpulan tentang kesyirikan itu ambil berdasar dari kemasuk-akalannya.

Dilain kasus, saya sangat senang dengan kata-kata teman saya yang dokter. Ketika saya berkonsultasi tentang penyakit bapak saya, diakhir pembicaraan, sahabat saya yang dokter ini bilang “Hanya tuhan yang memberikan kesembuhan”. Jadi, kesembuhan itu bukan dari Ponari atau dokter, bukan dari batu atau pil. Allah yang punya kuasa atas segala sesuatu, kesembuhan itu datangnya dari Allah. Jadi, jangan kaget kalo ada yang ke Ponari terus sembuh. Jangan dibilang tidak masuk akal, karena yang bilang seperti itu yang perlu ditanyakan ‘keimanan’-nya. Suka-sukanya Tuhan mau memberikan kesembuhan lewat jalur mana, bisa lewat Ponari, bisa dokter, dukun atau semburannya (suwuk) kyai.

Kita sering kecelik, diam-diam kita berkeyakinan bahwa Tuhan ‘selalu’ berkehendak sesuai logika manusia. Padahal sebaliknya, manusia-lah yang hanya mampu, saya ulangi, HANYA mampu mempelajari Tuhan sebatas pikirannya. Oleh karena itu, pikiran jangan dibiarkan sendirian dalam mencari Tuhan, harus dipandu oleh hati.

***

Saya akan coba menarik lagi memory saya jauh kebelakang, waktu saya masih kelas enam SD. Guru agama saya mengatakan bahwa, babi itu haram. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa babi itu tidak boleh dimakan, dan dijaman modern telah diteliti bahwa ternyata babi itu mengandung cacing pita. Kesimpulannya pada saat itu, Al-Qur’an itu kitab yang luar bisa, karena pada jaman belum ada labolatorium, Dia (Al-Qur’an) ‘mengetahui’ bahwa babi itu bahaya. Jujur saja, argumentasi itu membuat saya jadi lebih beriman pada Al-Qur’an.




Tapi, sewaktu saya SMP ada teman saya yang ngajak makan babi. Sudah pasti saya tolak. Namun teman saya tersebut bilang, Babi itu haram karena cacing pita, babi yang akan kita makan ini sudah diberi obat, sehingga tidak ada cacing pitanya lagi.

Saya tetap tidak makan, tapi bukan lagi 100% karena keimanan saya terhadap Al-Qur’an, tapi lebih pada ‘ketidakpercayaan’ saya tentang ada obat atau tekhnologi yang bisa membersihkan cacing pita dari babi. Syukur Alhamdulillah, waktu itu saya belum mendapatkan atau meyakini informasi tentang adanya tekhnologi itu. Misalnya saja saat itu saya disodorkan sebuah hasil penelitian atau dipraktekkan didepan saya tentang cara membersihkan cacing pita dari daging babi, kemungkinan saya akan ikut makan.

Beberapa tahun sesudahnya saya baru dapat pencerahan dari sebuah artikelnya Cak Nun, secara singkat saya simpulkan bahwa, Hukum Allah pada sesuatu hal yang sifatnya mahdoh jangan diargumenkan. Babi itu haram, titik. Take it or live it..!!. Kalo kita ilmiah-ilmiahkan malah bahaya, karena setiap berjalannya waktu tekhnologi semakin berkembang. Sepertihalnya cacing pita tadi, kalo kita berkeyakinan bahwa larangan itu karena cacing pita, suatu saat kita akan kecelik. Karena untuk ‘mengatasi’ cacing pita itu bisa dibereskan dengan ilmu pengetahuan. Hukum babi haram harus diyakini dengan menggunakan hati (kepatuhan dan kecintaan kepada Allah), kalau ada bukti-bukti ilmiah, jadikan saja itu support logis yang sifatnya skunder.

Sholat juga gitu, kita tidak perlu banyak bertanya, “Wis emboh pokoke sampean dikongkon sembayang alasane opo, pokoke sembayang ae

Masalah Sholat, saya juga pernah punya pengalaman tentang ‘logika sholat’. Sekitar dua bulan lalu saya ketemu dengan orang Australia yang mengaku sejak empat tahun yang lalu telah muslim. Kita ngobrol beberapa hal, dan akhirnya sampai pada dialog singkat yang menarik bagi saya.

“Kenapa saya tidak pernah lihat anda di Masjid?” Tanyaku

“Saya memang tidak pernah ke Masjid…” Jawabnya singkat.

“Kenapa…? anda tidak sholat…?”

“Saya tidak perlu sholat… Tuhan dengan manusia itu sangat dekat, sehingga saya tidak perlu ritual-ritual seperti itu… saya bisa ngobrol dengan Tuhan kapan saja dan dimana saja…” Dia coba menjelaskan.

Seperti inilah akibat kita mencoba untuk selalu me-logika-kan Tuhan. Ilmu kita ini seperti setetes air di samudra ilmunya gusti Allah yang luas. Jadi sampai kapanpun, meskipun otak kita ini dianggap hebat (dalam tataran makhluk) tetap saja akan menthok pada suatu titik tertentu saat mempelajari Tuhan. Seperti kata Seorang sahabat, bahwa kita tidak akan pernah mencapai cakrawala, namun cakrawala bisa kita jadikan ‘kompas’ dalam menentukan arah perjalanan.

Dengan bule itu, saya tidak mendebatnya. Pikiran saya macam-macam saat itu. Mungkin dia ini masuk salah satu aliran sesat di Australia sana, atau mungkin dia ini Islam-nya hanya karena ingin mengawini perempuan muslim dan banyak lagi kemungkinan-kemungkinan yang aku ciptakan sendiri di dalam pikiranku. Saya tidak melanjutkan obrolan tentang sholat itu, saya sering dengar bule sangat tidak suka kalau kita membicarakan agamanya. Meskipun sebenarnya ada alasan lain kenapa saya tidak teruskan obrolan itu : Bahasa Inggris saya patah-patah.

-----
Tembagapura, 27 September 2009

Note : Saya ini bukan santri atau apapun, saya menyadari akan segala keterbatasan ilmu saya... jadi saya selalu menyediakan ruang di dalam hati saya untuk menerima kemungkinan bahwa saya ini salah…. Saya ini cuma orang sok tau yang tangannya gatel pengen ngetik... Bagi yang sudah ‘mapan’ ilmunya dan ngerti bahwa saya salah, nyuwun tolong segera ‘selamatkan’ saya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun