Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Transformasi Seleksi Masuk PTN: Potret Gagal Negara Mengurusi Pendidikan

14 September 2022   13:00 Diperbarui: 14 September 2022   13:07 514 1
Transformasi Seleksi Masuk PTN : Potret Gagal Negara Mengurusi Pendidikan
Oleh : Layli Hawa (Pemerhati Sosial)

 JAKARTA - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) resmi meluncurkan Merdeka Belajar Episode 22: Transformasi Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) pada Rabu (7/9/2022). Program tersebut akan menjadi gebrakan baru dari penerapan skema seleksi masuk PTN.
Terdapat tiga transformasi seleksi masuk PTN, yaitu seleksi nasional berdasarkan prestasi, seleksi berdasarkan tes, dan seleksi secara mandiri oleh PTN.
 
Menurut Mendikbudristek Nadiem Makarim, perubahan seleksi PTN ini bertujuan untuk memastikan bahwa pendidikan yang diterima oleh peserta didik pada jenjang pendidikan dasar, menengah, dan atas dapat selaras dan terintegrasi dengan jenjang pendidikan tinggi.

Seleksi nasional berdasarkan prestasi mengacu pada pemberian penghargaan tinggi atas kesuksesan pembelajaran yang menyeluruh pada pendidikan menengah. Sedangkan menurutnya, seleksi berdasarkan tes akan berfokus pada pengukuran kemampuan penalaran dan pemecahan masalah, dan pada seleksi mandiri oleh PTN pemerintah mengatur agar seleksi diselenggarakan secara lebih transparan dengan mewajibkan PTN untuk melakukan beberapa hal sebelum dan setelah pelaksanaan seleksi secara mandiri.

Nadiem menjelaskan bahwa sebelum pelaksanaan, PTN wajib mengumumkan jumlah calon mahasiswa yang akan diterima masing-masing program studi/fakultas, metode penilaian calon mahasiswa yang terdiri dari tes secara mandiri, kerja sama tes melalui konsorsium perguruan tinggi, memanfaatkan nilai dari hasil seleksi nasional berdasarkan tes, metode penilaian calon mahasiswa lainnya yang diperlukan, serta besaran biaya atau metode penentuan besaran biaya yang dibebankan bagi calon mahasiswa yang lulus.Dan setelah itu PTN diwajibkan mengumumkan, antara lain jumlah peserta seleksi yang lulus seleksi dan sisa kuota yang belum terisi; masa sanggah selama lima hari kerja setelah pengumuman hasil seleksi; dan tata cara penyanggahan hasil seleksi.

Namun jika dilihat, kebijakan adanya transformasi ini tidak serta merta memberikan angin segar kepada para peserta didik. Jika diperhatikan beberapa hal, kebijakan baru ini justru tidak menjawab akar masalah pendidikan di negeri ini.

Lalu apakah skema transformasi seleksi PTN ini akan mampu menjawab hak kebutuhan warga negara?

Pengertian Pendidikan dapat diartikan sebagai usaha sadar dan sistematis untuk mencapai taraf hidup atau untuk kemajuan lebih baik. Secara sederhana, pengertian pendidikan adalah proses pembelajaran bagi peserta didik untuk dapat mengerti, paham, dan membuat manusia lebih kritis dalam berpikir.

Jika Nadiem Makarim mengacu pada aspek pengertian ini, maka seharusnya kebijakan harus mencakup semua lapisan masyarakat. Agar tercipta pemerataan bagi seluruh peserta didik dan memastikan hak pendidikan dirasakan oleh setiap pihak.

Memberi kesempatan seluruh mata pelajaran dalam pertimbangan jalur prestasi rapor mungkin terlihat lebih "fair" bagi semua guru mapel. Namun, ini sebenarnya tidak terlalu signifikan bagi siswa. Karena umumnya siswa berprestasi di mapel tertentu juga baik di hampir semua mata pelajaran.

Terlebih PTN memiliki hak menentukan bobot (maksimun 50%) atas mata pelajaran tertentu sesuai jurusan. Akhirnya, dominasi pelajaran tertentu tetap menjadi faktor penentu penerimaan. Sekolah Menengah Atas pun akan terus berlomba pada bidang tertentu yang paling berkaitan dengan jurusan.

Meski memberikan peluang baik bagi para guru mapel, tetap tidak ada sisi baik didalamnya. Target capaian bagi siswa jika hanya bertumpu pada satu mata pelajaran, akan menjadikan sekolah minim dalam memberikan pemahaman dan pembentukan kepribadian Islam. Bahkan tsaqofah Islam pada akhirnya akan semakin jauh dari benak dan diri para siswa.

Pola inilah yang berulang kali diluncurkan oleh pemerintah dalam mewujudkan pendidikan yang berasaskan hanya kepada duniawi semata. Tidak adanya penguatan aqidah dan syariat menjadi bukti bahwa pendidikan hari ini mengarah ke Barat.

Adapun dalam seleksi berdasarkan tes atau skolastik yang membutuhkan berpikir kritis serta penalaran dalam memecahkan problem, tentu bukanlah sesuatu yang mudah. Pasalnya, selama ini siswa di "gembleng" dengan kurikulum 2013 yang mengutamakan pembelajaran rutin di kelas dengan target mapel tiap minggunya yang membuat para siswa kalang kabut. Jika kemudian siswa harus beralih konsep belajar akibat perubahan kurikulum merdeka, maka dipastikan belum terbentuk dengan baik penyesuaian kurikulum ini.

Akibatnya, penggunaan tes ini hanya diuntungkan oleh siswa-siswa yang aktif dan berprestasi saja. Otomatis untuk memenuhi target-target yang belum dimiliki siswa, para orang tua memasukkannya ke bimbingan belajar (bimbel) yang justru hanya memvalidasi bahwa sekolah-sekolah tidak mampu mewujudkan kurikulum merdeka dengan baik.

Andaipun kebijakan ini akan memberi kesempatan mereka yang tidak mampu bimbel karena terkendala ekonomi untuk lolos dalam seleksi, lantas bagaimana kelanjutannya?

Meskipun kuliah di PTN dianggap lebih murah, tetapi tetap saja mahal. Kendala beban kuliah di PTN ternyata tidak bisa diselesaikan dengan kebijakan ini, kecuali hanya saat seleksi masuk saja.

[Tidak Menyentuh Akar Permasalahan]

Ditinjau darimanapun tetap kebijakan ini tidak menyentuh akar masalah pendidikan dari hulu hingga hilir. Sebab biaya Perguruan Tinggi Negeri tetap saja mahal jika melalui jalur mandiri. Sekalipun dikatakan tidak ada unsur komersil dan nepotis. Tentu bukan ini solusi yang diharapkan.

Meski pemerintah selalu mengklaim akan terus meniadakan unsur komersialisasi dalam seleksi masuk PTN dan berupaya transparan, negara tetap gagal dalam memberikan hak pendidikan yang murah dan berkualitas bagi seluruh masyarakat.

Belum lagi, transformasi ini juga tidak bisa menjawab masalah kesempatan berkuliah. Karena dengan kuota yang terbatas, kemudian selebihnya siswa mau tidak mau kuliah di Perguruan Tinggi Swasta yang biayanya jauh lebih mahal.

Sudah sepatutnya negara mengambil langkah konkrit ketika membuat atau mengubah suatu kebijakan. Kebijakan yang seharusnya memberikan pemecahan menyeluruh dan dilihat dari berbagai aspek. Bukan hanya semata-mata ingin "terlihat kerja" saja dengan sesuka hati meresmikan.

Pada akhirnya siswa hanya dipaksa menjadi alat untuk mewujudkan penerapan kapitalis dalam kehidupan, yang justru semakin memperjelas potret negara gagal dan berpihak pada sistem kafir barat.

Untuk sampai kepada solusi hebat bagi para generasi pemuda dalam mewujudkan masa depan bangsa yang gemilang, negara harus meninggalkan paradigma kapitalis yang hanya memandang segala sesuatu pada materi dan hanya meminggirkan nilai-nilai Islam pada diri siswa. Dan sebaliknya menerapkan ide Islam dalam mewujudkan sistem pendidikan terbaik yang juga akan melahirkan generasi-generasi terbaik. []LH


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun