Awalnya, saya mengira novel The 100-Year-Old Man Who Climbed Out The Window and Disappeaared sebagai novel komedi biasa. Saya masih membacanya sambil tertawa-tawa sebelum tiba di satu bab khusus, yang menceritakan pengalaman sang tokoh utama di Indonesia. Sebuah kritik untuk Indonesia lewat karya sastra bagi saya terasa biasa dan lumrah, jika dilakukan oleh penulis Indonesia sendiri. Tapi saya terhenyak ketika kritik pedas itu saya temukan dalam sebuah novel yang ditulis oleh seorang penulis asing.
Penulisnya adalah Jonas Jonasson, seorang kelahiran Swedia, yang pernah malang-melintang sebagai jurnalis. Tokoh utamanya bernama Allan Emanuel Karlsson, seorang lelaki tua berumur 100 tahun. Siapa pun yang melihatnya pertama kali, pasti mengira ia sekedar pria biasa yang kesepian. Tapi Allan bukan pria biasa. Ia telah melalui berbagai pahit getir kehidupan, berkeliling dunia hingga menyeberangi Himalaya dengan seekor unta, berkenalan dan menjadi akrab dengan para pemimpin berbagai negara di era perang dunia, hingga selamat dari beberapa kali ancaman kematian berkat kecerdikan dan akalnya.
Semua pengalaman itu ia dapatkan karena kepandaiannya merakit bom; sebuah keahlian yang sangat dibutuhkan pada masa peperangan. Di masa mudanya, ia keranjingan melakukan percobaan terhadap bom buatannya, hingga secara tak sengaja meledakkan rumahnya sendiri. Dalam keadaan sebatang kara tanpa orang tua dan tak punya rumah, ia bertemu seorang warga Spanyol di tempat kerjanya. Bersama rekannya tersebut, ia melarikan diri ke Spanyol, dan menjadi akrab dengan Jenderal Franco setelah menyelamatkannya dari ledakan bom. Perang membuat ia meninggalkan Spanyol menuju Amerika, di mana ia membagikan resep bom-nya dan bersahabat dengan Presiden Amerika.
Hubungan baiknya dengan Presiden Amerika membuat melakukan perjalanan ke Tiongkok dan berkenalan dengan istri Mao Tsu-teng. Perjalanannya kemudian berlanjut ke Iran, hingga mendapatkan pengalaman paling mendebarkan di Rusia, di mana ia bertemu dengan Herbert Einstein, adik Albert Eistein yang kecerdasan otaknya berbanding terbalik dengan adiknya. Ia dikirim ke kamp pengasingan karena berselisih paham dengan Stalin yang dianggapnya terlalu temperamental. Berkat kecerdikannya dan kedunguan Herbert yang cukup membantu, keduanya bisa melarikan diri dari kamp tersebut setelah sebuah huru-hara. Dengan menyamar sebagai jenderal Rusia, mereka menuju Korea Utara dan menipu putra Presiden demi bis mendapat tempat bernaung dalam istana. Saat akal bulusnya ketahuna, keduanya nyaris kehilangan nyawa jika tak ditolong Mao yang secara kebetulan berada di sana.
Mao bukan hanya menyelamatkannya dari kemarahan putra presiden Korea Utara, Kim Jong Un yang baru berusia 10 tahun tapi sudah sangat paham bagaimana sakitnya ditipu. Mao memberinya sangat banyak uang dollar yang ia klaim diperolehnya dari presiden Amerika, Harry Truman. Setelah berunding, Allan dan Herbert sepakat menghabiskan uangnya untuk liburan di Bali, Indonesia. Tapi uang yang diberikan oleh Mao terlalu banyak bahkan setelah dibagi dua dengan Herbert, hingga ia menghabiskan waktunya selama 15 tahun tidur di bawah payung di tepi pantai di Bali.
Di Bali pulalah, keduanya bertemu Ni Wayan—kemudian oleh Herbert namanya diubah jadi Amanda—seorang pelayan hotel yang kecerdasannya sejajar dengan Herbert. Sama halnya dengan Herbert, Amanda tidak pernah melakukan sesuatu dengan benar. Yang kiri jadi kanan, yang atas jadi bawah, yang salah jadi benar. Keduanya saling jatuh cinta dan menikah. Dengan uang yang diberikan Mao, Amanda membeli sebuah perusahaan jasa mengemudi, membelikan Herbert sertifikat instruktur mengemudi palsu, bahkan meski Herbert tidak terlalu lancar mengemudikan mobil.
Ketika mulai bingung dengan sisa uang yang dimilikinya, Amanda tertarik mendaftarkan diri menjadi calon Gubernur Bali yang disetujui Herbert tanpa protes, sementara Allan sendiri cukup sadar bahwa Amanda terlalu dungu untuk menjadi seorang gubernur. Amanda menggunakan uangnya untuk menyuap sejumlah pejabat dan kolega hingga langkahnya mulus menjadi gubernur, sebuah jabatan yang memungkinkan ia menumpuk kekayaan dan membeli sejumlah hotel.
Pasca peristiwa G30SPKI, yang oleh penulis disebut sebagai (kurang lebih kalimatnya seperti ini): “sebuah peristiwa pembasmian orang komunis, setengah komunis, teman komunis, tidak komunis, dan orang-orang tidak bersalah sama sekali”, Amanda mendapat tawaran yang makin membuat Allan geleng-geleng kepala. Presiden Suharto menelepon Amanda, berterima kasih atas perannya di Bali dalam ‘pembasmian’ itu dan menawarkannya berangkat ke Paris untuk menjadi Duta Besar Indonesia untuk Prancis. Serta-merta, perempuan dungu mantan gubernur itu bertanya, “Di mana itu Paris?”
Singkat cerita, Amanda dan Herbert berangkat ke Paris dan membawa Allan sebagai penerjemah, sebelum akhirnya Allan menjalani pengalaman baru sebagai agen (mata-mata) Amerika, dan kembali ke Swedia dan menjalani hidupnya seorang diri sebagai orang tua sebatang kara di rumah yang ia beli dari hasil kerjanya sebagai mata-mata. Petugas sosial menemukannya sesaat setelah ia meledakkan rumahnya secara tak sengaja, ketika ia bermaksud meledakkan tupai yang sering mencuri ayamnya. Ia dibawa ke rumah jompo, di mana ia melarikan diri.
Dalam pelariannya, ia kemudian bertemu dengan teman-teman baru, menemukan sekoper uang, dan tiba-tiba teringat akan Bali. Ia menelepon Amanda yang telah pensiun dan mengabarkan bahwa ia teman-temannya akan berlibur di Bali, dengan membawa seekor gajah (karena salah seorang teman seperjalanannya punya gajah yang tak sudi ia tinggalkan). Tapi di Eropa, tak ada pesawat yang mau menerbangkan gajah kecuali punya dokumen resmi dan perjalanannya disertai dokter hewan. Allan tak putus asa. Ia menelepon sejumlah maskapai di Indonesia. Di Palembang, sebuah perusahaan penerbangan bersedia menjemput gajahnya di Swedia asal diberi bayaran berkali-kali lipat.
Masalah baru timbul ketika akan mendarat di Bali, karena mereka tidak memiliki izin, apalagi dengan seekor gajah di pesawat. Tapi ini Indonesia, sebuah negara dimana semua hal bisa dibeli, bahkan membayar sebuah maskapai penerbangan untuk menerbangkan seekor gajah lintas benua. Jika ada uang, tak ada masalah yang tak bisa diatasi. Allan cukup menelepon otoritas bandara dengan memperkenalkan diri sebagai Tuan Dollar, yang berarti ia punya banyak uang dollar untuk menyuap petugas. Dan percakapannya di telepon bersama petugas bandara cukup menggelikan:
“Halo, saya Tuan Dollar. Saya ingin mendarat.”
“Apa? Siapa nama lengkap Anda?”
“Nama saya Tuan 100 Dollar. Saya akan mendarat dengan seekor gajah.”
“Apa? Bisa diulangi? Suara Anda tidak jelas.”
“Saya Tuan 200 Dollar.”
“Ok, Anda bisa mendarat.”
Setelah membaca novel ini, saya cukup yakin bahwa Jonasson adalah seorang penulis yang sangat cerdas dan banyak membaca buku sejarah. Novel ini banyak diperbincangkan karena Jonasson menulis dengan gaya yang tidak biasa. Ia menulis novel ini dengan gaya komedi, penuh humor dan kelakar, candaan satir, namun sarat dengan kritikan. Jonasson membuat kisah perang dunia tak ubahnya bagai sebuah dagelan dan permainan belaka dari para kepala negara.
Jonasson memberi banyak tempat untuk Indonesia dalam novel ini. Dan bagi saya, satu bab yang ia tulis sudah cukup untuk menelanjangi Indonesia; tentang budaya suap, gratifikasi, pembelian ijasah palsu, dan politik kotor yang bisa memuluskan orang dungu sekalipun untuk memegang jabatan penting dalam dunia politik dan pemerintahan.
Bahkan saya berpikir, Jonas Jonasson memiliki perhatian khusus terhadap Indonesia, dan memiliki pengalaman dan kesan khusus di sana. Saya menduga, kritik itu, seperti semacam kecintaan yang miris. Bagaimana tidak, di antara sekian banyak tempat yang disinggahi sang tokoh utama, Indonesia dijadikan sebagai tempat dimana cerita berakhir. Dan di antara sekian banyak negara dengan sejuta kebobrokan, Indonesia mendapat tempat terbanyak untuk kritik pedas itu.
Makassar, 22 April 2015