Istiqlal di Depan Mata
Pendingin ruangan di kantor ini seakan menggigit sampai ke tulang sungsum. Usahaku menghangatkan diri dengan membenamkan kedua tanganku ke dalam saku celana tampaknya sia-sia. Pergumulan antara tanganku yang beku, lipatan amplop, rentengan anak kunci, dan ponsel di dalamnya tidak sedikit pun dapat membantu. Hampir menyerah, aku tarik nafas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Memang tidak berhasil menaikkan suhu tubuh, tetapi dingin yang beberapa saat lalu mendekam di hatiku berhasil aku usir.
Dari jendela lantai 10 kantor ini aku lihat awan hujan bersekutu bergumpal-gumpal seperti kembang gula arum manis sedang dikumpulkan dalam sebuah panci pasar malam. Hanya yang ini jauh dari warna merah muda, rasa manis, dan menyenangkan bagi yang memakannya. Melihatnya saja membuat perutku merasa mulas.
Beberapa larik sinar matahari sore kekuningan yang berhasil membebaskan diri dari belenggu arum manis kelabu itu membuat dinding Masjid Istiqlal di depanku memantulkan aura keemasan. Kontras dengan keadaan redup yang sedang terkumpul di penghujung tahun.
Demi melihat hamparan pemandangan tersebut, aku teringat seseorang pernah bilang bahwa arsitektur itu adalah “frozen music”, musik yang membeku. Aku seperti melihat konser Johan Sebastian Bach yang dibumbui oleh aroma keelokan surgawi.
Betapa tidak? Blok masif bangunan utama dipecah oleh garis-garis lurus yang kuat tetapi dilembutkan oleh lengkung kubah yang diusungnya seolah-olah mejadi intro konser. Dak atap selasar yang pejal diselaraskan oleh kolom-kolom kotak yang membuat bingkai rapi sebagai chorus. Tangga melingkar yang tersembunyi di balik menara adzan membuat aksen spiral yang sedikit demi sedikit membawa musik ke tempo yang semakin cepat dan akhirnya permainan tata cahaya surgawi menyambut akhir dari perjalanan konser musik tersebut.
Kukeluarkan tangan kananku dari kantong celana dan meletakkan telapak tanganku lurus-lurus ke depan kaca jendela. Alih-alih dapat menyerap pemandangan yang menakjubkan tersebut dengan indera peraba, aku cuma menambah rasa dingin yang ternyata disimpan oleh kaca jendela sedari tadi pagi.
Aku memang ingin menyimpan semua pemandangan itu dalam lipatan kenangan seperti lipatan-lipatan koran yang bertumpang tindih di meja kerjaku. Karena pemandangan inilah yang mungkin tidak akan aku lihat lagi dalam waktu yang lama.
Di antara profesionalisme yang mati-matian aku jaga, mungkin inilah kali pertama kalinya aku melamun pada jam kerja. Melamun tentang beberapa kilasan kenangan yang terekam oleh dinding dan langit-langit kantor ini, berseling dengan rasa rakus ingin menjejalkan apa yang masih bisa aku lihat sekarang, dan ketakutan-ketakutan tentang apa yang mungkin akan terjadi. Semuanya berdesak-desakan tumpang tindih walaupun mungkin sumber dari semua itu tersusun rapi dalam amplop dalam kantong celanaku.
Di dalam amplop tersebut berisikan tiga lembar kertas; surat keputusan mutasi, surat perjalanan dinas tak kembali, dan tiket satu arah ke Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Rapi jali, semuanya sudah diatur dari siapa yang akan mengantar kepergianku ke bandara, siapa yang akan menjemput ketika mendarat nanti, bahkan fasilitas kendaraan dan rumah dinas pun tampaknya telah dipersiapkan. Tetapi kenapa hati dan kepalaku masih simpang siur juga?
Mutasi bukan hal baru dalam sejarah karierku. Aku pernah ditempatkan di Jogja selama tiga tahun untuk kemudian dimutasi ke Surabaya. Belum genap satu tahun di Kota Pahlawan, aku dimutasi ke Jakarta untuk memperkuat Kantor Pusat sampai dengan sekarang. Dua tahun di Jakarta berlalu sangat cepat, terhisap pusaran kebisingan di antara keangkuhan gedung-gedung tinggi dan kesombongan segenap penghuninya.
Tetapi mutasi 18° ke arah Timur berarti meninggalkan Pulau Jawa. Pulau tempat aku berjuang untuk bertahan hidup selama ini. Tempat Bapa dan Biyung menunggu kabar dari putra-putra mereka yang jarang mengisi energi di kota tempat mereka dilahirkan, Semarang. Tepi luar sebelah tenggara kepulauan Indonesia tampaknya cukup jauh untuk dijangkau oleh daya nalar sederhana mereka. Ataukah ternyata akulah yang mempunyai nalar yang sederhana?
Lima tahun kuliah di universitas negeri di Semarang dengan IPK di atas rata-rata ternyata tidak lantas membuatku berpikir bahwa mutasi ini adalah sebuah kesempatan emas. Kenyamananku di Jakarta membuat nalarku “cupet”, sempit. Mimpiku yang tergantung besaput sarang laba-laba untuk melanjutkan belajar di luar negeri tentunya tidak bakal bisa aku dapatkan selama aku ngendon di Tanah Jawa. Kupang adalah kesempatanku belajar segenap arti kemandirian. Dorongan dari Bapak yang terdengar bangga ketika aku punya kesempatan untuk melihat bagian timur Indonesia seharusnya langsung melecut semangatku kuat-kuat.
Kembali kuhela nafas panjang. Wejangan dari Bapak kesimpan menjadi inti titik api. Pelan-pelan kuatur hatiku menjadi sekam kering. Agar kelak, api kecil itu akan menjadi api yang menyala berkobar-kobar.
NB: tulisan yang sama juga dapat dinikmati di www.sunshowers.blogspot.com