Backpacking adalah fenomena di mana ada orang yang senang pergi ke tempat asing dan menikmati kesasar. Coz dari kesasar itulah dia menemukan pelajaran atas pengalaman baru yang nggak dia peroleh dalam kehidupan normalnya sehari-hari. Dari kegiatan backpacking ini ada jenis orang-orang yang senang membantu orang-orang yang kesasar ini. Mereka nggak kenal betul dengan para backpacker-nya, tapi mereka dengan senang hati bersedia jadi tuan rumah, nunjukin jalan, bahkan mencarikan tempat menginap yang nyaman dan terjangkau oleh kocek.
Hampir tiga tahun yang lalu, gw belajar pergi ke Jogja sendirian. Waktu itu tujuan utama gw adalah menghadiri konferensi dokter di sana, bukan buat jalan-jalan. Kebetulan, gw dapet nginep di rumah sepupu gw di Kaliurang. Ternyata, selama tiga hari gw tinggal, setiap malam sepulang dari konferensi, sepupu gw dan bininya bawa gw keliling-keliling Jogja. Mereka ngajarin gw nyusurin Malioboro, mblusuk ke tempat-tempat batik, dan melintasi kampus Universitas Gajah Mada yang teduh. Sambil nyetir, mereka cerita-cerita tentang Jogja: mana gudeg yang enak, gimana caranya dapet penjual yang murah tapi tetep tersenyum, kebiasaan studio foto orang Jogja yang pelit, sesuatu yang mungkin nggak pernah gw temukan di brosur-brosur resmi biro perjalanan. Itu yang gw sebut, wisata sungguhan.
Pada waktu konferensi, gw ketemu sesama kolega dari Bandung. Dia nginep di hotel, coz dia nggak punya sodara di Jogja. Gw ceritain bahwa semalam gw dan sepupu gw main di taman depan keraton dan berusaha jalan dengan mata tertutup tapi ujung-ujungnya kami selalu nabrak pohon. Konon di situ ada “cerita rakyat”-nya, yang bilang bahwa titik tempat kami main itu ada roh penunggu keratonnya. Kolega gw bilang dia nggak betah di Jogja dan kepingin konferensinya segera kelar. Soalnya yang dia pelesirin cuman mal di Malioboro, yang ternyata nggak beda-beda jauh dari mal-mal di Bandung. Dia pergi ke sana coz dia tahunya tentang Jogja ya cuman Malioboro, dan tempat itu yang satu-satunya dia tahu nggak akan bikin dia kesasar dari hotelnya (waktu itu di Jogja belum ada busway).
Pada hari terakhir konferensi, kolega gw dapet masalah kecil. Konferensi selesai jam lima sore, dan kereta pertama yang akan bawa ke Bandung ada jam sembilan malam. Kopernya ada di hotel, dan hotel minta check-out jam dua siang. Akibatnya kolega gw itu mesti meninggalkan konferensi lebih awal, buat check-out. Lalu dia pergi ke stasiun, duduk di lounge menunggu kereta sampai jam sembilan malam. Karena dia tidak mungkin mengikuti sisa konferensi sambil menggeret-geret koper, bahkan meskipun dia bisa aja minta tolong panitia buat jagain kopernya.
Gw dijemput sepupu gw pas konferensi betul-betul selesai, lalu dia ngajakin gw beli bakpia isi cokelat dan gudeg, dan setelah itu baru gw pulang ke rumahnya buat mandi dan makan malam, sebelum kemudian gw dianterin ke stasiun. Gw seorang peserta konferensi dan turis yang sangat puas.
Semua itu ngajarin gw betapa susahnya jadi seseorang yang pergi ke tempat asing jika kita nggak punya shelter di tempat tujuan. Shelter yang gw maksud adalah kenalan seorang penduduk lokal yang ngerti gimana bikin perjalanan kita yang singkat itu menjadi menarik. Kadang-kadang sebuah perjalanan itu berkesan bukan karena kita menginap di hotel beken atau nyatronin spot yang ada di brosur-brosur Dinas Pariwisata, tetapi nilai tambah akan diperoleh jika kita belajar tentang kehidupan penduduk setempat, dan itu hanya bisa diperoleh jika selama kunjungan itu kita di-escort oleh penduduk lokal. Itu sebabnya enak sekali kalau punya kenalan yang tinggal di tempat itu.