Pagi itu hanya kita berdua. Dan teh botol Sosro. Dan roti lapis isi sapi. Dan kunci mobil. Dan pembicaraan tentang dia dan dia lagi. Tapi cuma itu yang kita punya. Dia yang menghubungkan kita berdua. Tanpa dia kita hanyalah dua orang asing. Tidak lebih.
Aku tidak ingin pulang. Ingin lebih lama berbicara dengan kamu. Apakah kamu juga begitu? Aku sudah kehabisan alasan. Makanan telah habis. Topik tentang dia sudah habis sehabis-habisnya. Waktu sudah menunjukan pukul tiga pagi. Tapi aku tidak ingin pulang.
Aku menikmati bicara berdua denganmu. Semuanya begitu menyenangkan. Apakah kamu juga begitu? Ternyata banyak hal menarik tentang dirimu. Dan suaramu enak didengar. Dan cara berpikirmu tidak biasa. Dan kamu punya banyak cerita lucu tidak penting. Aku sungguh tidak ingin pulang. Sudah sah. Aku memutuskan untuk menjatuhkan sedikit dari hatiku ke dalam sosokmu.
Setelah kalimat terakhir darimu aku kehabisan kata-kata. Hening yang terlalu lama. Kamu menghabiskan isi cangkir kopimu. Itu semacam pertanda dan akhirnya aku memutuskan. Aku mengajak kamu pulang. Kamu mengantarkan aku pulang. Lalu selesai. Tidak ada pelukan. Tidak ada ciuman. Tidak ada apa-apa selain ucapan terimakasih. Aku merasa kesal. Apakah kamu juga begitu? Apakah kamu hanya sekedar gugup? Atau kamu cuma ingin semua ini cepat berlalu karena kamu tidak merasa begitu?
Hahahaha. Tertidur dengan sedikit kecewa, terbangun karena bunyi posel. Pesan singkat dari dirimu. Aku balas. Kamu balas lagi. Aku balas lagi. Kamu juga balas lagi. Aku balas lagi dengan kalimat panjang penuh makna. Lalu hening. Berhenti. Seperti Biasa.
Ya sudah. Mungkin memang tidak ada apa-apa. Tapi yang pernah jatuh cinta pasti mengerti. Bahwa ada doa yang sunyi supaya ini tidak berhenti. Seperti mantra. Mantra bahwa kamu akan merasakan hal yang sama. Dan kamu akan mendekat. Mendekat dan akhirnya merekat.
Tapi matra ini sudah terucap dalam hening selama ribuan hari. Mungkin puluh ribuan hari. Bulanan. Tahunan. Aku kadang heran bagaimana mungkin perasaan seperti ini bisa bertahan terus menerus ke orang yang sama dan bahkan bisa bertambah kuat semakin ke sini. Aku berharap ini bukan obsesi dan bukan sejenis sakit jiwa. Kamu sangat-sangat mudah untuk disukai, terlebih setelah perbincangan dini hari itu.
Hari sudah menjelang sore ketika pesan singkat masuk ke ponselku. Dari kamu. Ajakan untuk makan malam. Aku hampir menangis. Aku sedang dalam perjalanan menuju kota lain. Aku balas panjang lebar bahwa mendadak hari ini aku ditugaskan kantor untuk bernegosiasi dengan salah seorang calon klien di luar kota dan bahwa aku berjanji sepulang dari tugas luar kotaku aku akan menyediakan waktu untuk makan malam. Kamu tidak membalas pesanku. Seperti biasa.
Dua bulan lebih berlalu sejak ajakan makan malam itu. Setelah aku pulang dari tugas luar kota, aku berdebat dengan diriku sendiri, haruskah aku yang lebih dulu mengajakmu makan malam. Logika ku berkata seharusnya kamu lah yang menghubungiku lebih dulu. Toh kamu tahu kapan aku kembali karena aku sudah memberitahu. Ajakan itu tidak kunjung datang.
Dua bulan terlalu lama, logikaku mengalah. Aku mengirimmu pesan. Ajakan makan malam. Selang tiga jam kemudian baru kamu membalas. Pesanmu diawali dengan kata maaf. Â Kamu sedang di luar kota dan kamu bilang akan memenuhi ajakanku ketika kamu kembali. Diakhiri dengan tanda senyum. Pertanda dia senang.
Hahaha. Kesabaran sedang diuji. Apakah kamu juga gemas? Karena aku gemas setengah mati. Sesulit itukah?
Aku menarik nafas. Memutuskan berkonsentrasi melanjutkan pekerjaan. Paling tidak aku dan kamu sama-sama tahu bahwa kita berdua menantikan kesempatan bisa berbicara panjang lebar berdua lagi. Untuk saat ini, itu cukup menghiburku.
[ ]