Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Madukara

29 Maret 2011   15:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:19 369 3
"Gw suka rambut lo." Bimo mengambil  beberapa bagian rambut Nana lalu menempelkannya di bawah hidungnya. Mereka tertawa. Mereka sekarang berbaring berhadap-hadapan. Nana hanya mengenakan bra dan celana dalam. Bimo hanya mengenakan boksernya.

Lalu suasana berubah menjadi dingin. Mereka saling berpandang-pandangan lama sekali. Kaki Bimo menyilang kaki Nana. Tanggannya menggenggam tangan Nana. Tidak ada ereksi. Hanya sedikit birahi. Menyelubung saja tapi tidak bergolak keras-keras.

"Tau ga cara gw mengatasi kangen lo?" Nana setengah berbisik.

"Apa?"

"Ini.. Pergi makan sama temen-temen gw yang perokok dan peminum. Terus pas pulang nyium-nyiumin rambut gw. Ada bau asap rokok sama alkohol nyangkut di situ. Nah, bau itu bikin gw rasanya deket banget sama lo. Kayak gw lagi tidur di samping lo. Kayak sekarang ini nih. "

"Hahaha.."

Mereka lalu berciuman. Pelan-pelan. Lama. Gairah di titik puncak. Nafas yang saling beradu. Nana tahu hanya perlu satu gerakan agresif dan semua hal yang tadinya  cuma ada di film biru akan jadi kenyataan. Tapi tiba-tiba Bimo berhenti.

"Gw masih pingin punya malam pertama sama lo."

Nana diam.

"Gw masih pingin punya malam pertama sama lo karena gw pingin jadi suami lo."

Nana agak lambat mencerna arti kalimat Bimo. Gairah yang di puncak harus diturunkan. Kepalanya menjadi agak sakit. Selangkangan yang basah membuat celana dalam lembab dan Nana tidak nyaman. Tapi kalimat yang terdengar barusan terasa janggal. Cukup janggal untuk keluar dari seorang perokok hobi minum yang ngaku ga beragama walau di KTP tulisannya Katolik.

"Kenapa lo ngomong gitu? Maksud gw, lo ga keliatan seperti orang yang cukup tolol menyia-nyiakan hal beginian deh."

"Itu namanya stigmatisasi lo atas penamapakan luar gw."

"Jadi lo masih percaya kalo seks itu harus dalam pernikahan?"

"Hmmmm.. ga juga sih. Tapi gw takut."

"Takut apa? Takut ngehamilin?"

"Iya itu juga, tapi ketakutan lain adalah kalau hubungan kita ini berubah setelah seks."

"Kenapa harus berubah?"

"Ya kan ga tahu nanti ke depan gimana. Gimana kalo nanti gw ga cinta lagi terus ketemu lo cuma buat ngewe doang? Kan sama aja gw make lo tapi ga bayar"

"Hmmmm.."

"Tapi, selain itu ada yang lain."

Hening lama sekali. Suara kipas angin yang mau rusak dan rambatan musik dangdut dari kawinan RT sebelah menjadi latar.

" Ada sesuatu dari dalam gw yang bilang kalo gw pingin cewek di depan gw ini tetap merasa nyaman sama gw dan gw takut kalo gw ngewe sama lo malam ini, lo ga akan nyaman sama gw lagi."

"Hmmmm.."

"Dari tadi hmmm terus. Lo pingin banget ML ya malam ini?"

"Iya pingin sih pingin. Hahaha. HBL gw. Hahaha."

"Terlepas dari kata-kata gw tadi, gw sejujur-jujurnya sudah setengah mabok. Kalo keluar di dalem gimana?"

"Ya pake kondom."

"Males belinya. Tidur aja yuk sekarang."  Nana diam menurut.

Bimo lalu mengenakan kembali kausnya dan melemparkan Nana kaus putih longgarnya. Nana hanya tertawa. Bimo mematikan lampu, menarik selimut, lalu mendekap Nana dari belakang mencium tengkuknya dan bilang bahwa dia menyayangi Nana.

Bimo tertidur, sedang Nana tidak bisa memejamkan mata. Baru kali ini, sekali seumur hidupnya, dia mengalami dengan mata kepala sendiri. Seorang laki-laki menolak bercinta ketika semua situasi sudah memungkinkan. Lucu ya? Memang sudah seharusnya begitu bukan, dalam norma masyarakat, tapi bagi Nana ini lucu. Menurut norma, bercinta itu baru sah dilakukan kalau sudah menikah. Tapi kehidupan mengajarkan bahwa bercinta itu  bukan masalah nikah tidak menikah. Jadi norma tinggalah norma. Bercinta urusan lain.

Ini masalah naluri manusia yang harus disalurkan dengan cara yang sehat dan benar. Sehat artinya dilakukan dengan aman, menggunakan kondom atau pakai sistem kalender. Benar artinya dilakukan dengan orang yang benar, jangan sembarangan orang, tapi orang yang dianggap pas. Klik. Ada chemistrynya. Itu ajaran yang diterima Nana dari laki-laki yang pertama menidurinya.

Laki-laki mana sih yang ga suka ngewe? Bahkan biasanya laki-laki yang pertama meminta. Semua mantan rekan Nana -Nana lebih suka menyebut mereka rekan dibanding pacar- begitu. Ada yang kemudian menyesal, ada yang kemudian ketagiha. Bagi Nana, bercinta hanyalah salah satu cara berkomunikasi, bukan inti dari suatu hubungan. Larangan agama?  Menurut Nana, bercinta di luar nikah baru berbahaya kalau dilakukan dengan orang yang sudah menikah. Nana tidak pernah nakal memilih rekan dari orang yang sudah menikah.

Ada benarnya juga sih kata-kata Bimo tadi. Kadang-kadang setelah bercinta, bisa saja ada sesuatu yang berubah. Tapi Nana ingin berkomunikasi lebih dengan Bimo, Nana ingin mengetahui inci demi inci tubuh Bimo. Nana ingin menyentuh Bimo di tempat-tempat tersembunyi. Tapi mengapa Bimo tidak mau? Orang dengan pikiran seluas dan sebebas Bimo menolak bercinta dengannya dan memilih bisa menikmati malam pertama dengannya? Entah itu munafik, entah itu pengecut, atau entah itu rasa sayang. Nana ingat, dulu dia pernah naksir berat dengan kakak kelasnya, dan di saat itu, ketika ada kesempatan bergandengan tangan, Nana diam saja saking salah tingkahnya. Apa Bimo salah tingkah?

Walau demikian, selain rasa janggal, Nana juga menikmati rasa hangat di situ. Penolakan yang hangat. Keinginan untuk membuat Nana nyaman membuat Nana merasa seperti dijaga sebegitu mulianya. Padahal Bimo tahu, Nana juga bukanlah perawan ting ting, barang bekas. Tapi perasaan yang ditimbulkan dari penolakan itu begitu hangat, Nana merasa naik tingkat dari kain lap pel jadi kain sutera.  Nana belum pernah merasa diperlakukan sehormat ini. Rasa apa ini?

Pukul tiga pagi, Nana diam-diam bangkit, berkemas. Meniggalkan Bimo yang masih terlelap, Nana pulang dengan gamang. Dia jatuh cinta.

[ ]

______________

*Madukara - lebah; kain sutera yang berbenang emas.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun