"Lo masih ga percaya Tuhan?"
"Masih."
"Lo juga tetap tidak percaya pernikahan?
"Nope."
"Dan global warming?"
"It's absolutely hoax."
"Hahaha..."
"Serius gw. Lo tahu ga Al Gore dapat berapa duit dari situ?"
"Hahaha.."
[Dan dia benar tidak pernah berubah. Kaos hitamnya, zipponya, model rambutnya, hanya dia sekarang lebih gemuk.]
"Terus lo sholat kalo di rumah?"
"Iya kalo lagi ada sepupu atau keluarga yang lain datang."
"Ayah Ibu masih belum terima ke-ateis-an lo ya."
"Ya belum lah."
"Tapi hubungan sama mereka baik?"
"Enggak sama sekali. Tidak pernah saling bicara sejak yang pertengkaran hebat terakhir itu."
"Kenapa ga ngontrak atau ngekos aja sih kalo gitu. Satu rumah tapi ga saling ngomong itu kan ga bagus."
"Ga dikasih."
"Oh, come on. You are 26 dear."
"Kalau kata mereka, masih satu kota, kenapa harus tinggal beda rumah. Lagian takut gw jadi tambah murtad kali ya. Hahaha."
"He.. mereka sayang banget sama lo ya... Lo ga pernah mikirin perasaan mereka ya? Maksud gw, dengan pengakuan ateis lo ini, lo melukai perasaan mereka ga sih?"
"Perasaan apa? Perasaan malu karena gagal mendidik gw? Gw pikir gw bisa mengatakan bahwa orang tua gw gagal mendidik gw. Gagal membesarkan gw sebagai manusia utuh yang menyadari kebebasan dan hakikat untuk berpikir dan terus mencari kebenaran.
Atau perasaan kasihan karena dengan keateisan gw ini gw nanti bakal masuk neraka? Atau perasaan takut bahwa mereka nanti masuk neraka karena gagal mendidik gw? Itu perasaan yang penuh ketakutan semu. Ketakutan akan sesuatu yang tidak jelas. Surga dan neraka sifatnya juga masih belum pasti. Di bawah tanah, yang ada inti bumi. Di atas langit, yang ada galaksi bimasakti. Surga dan neraka itu mitos. Sebagai anak yang memiliki pengertian itu, salahkah bila gw ga mau orang tua gw terjebak rasa takut semu itu?"
"Tapi, bagaimanapun juga mereka kan orang tua lo. Lo ga merasa jadi anak durhaka apa? Lagian, konsep Tuhan ga seburuk itu juga kali."
"Gw ga bilang konsp Tuhan itu buruk. Tapi gw merasa konsep "tidak ada Tuhan" itu lebih masuk di akal gw.""
"Semuanya selalu harus masuk akal ya. Lo pernah make perasaan lo ga sih?"
"Pernah kali..."
"Hahaha, kapan gitu lo make perasaan lo?"
"Hmm.. Waktu jadi ketua baksos dulu."
"Hahaha. Ketua baksos paling kaku yang pernah ada."
"Gw di situ karena tersentuh dengan orang-orang yang kita tolong. Itu pake perasaan kan??"
"Yang menegur dengan keras, yang membatalkan acara seenak jidat. Tindakan lo kala itu semuanya ga pake perasaan deh."
"Tapi masuk akal. Semua ada alasannya."
"Tapi bikin banyak yang sakit hati tau."
"Mereka ga bilang ke gw kalo ga suka.."
"Haduh.. Lo harus lebih sering mengimbangi rasionalitas dengan memakai perasaan lo deh, sebelum perasaan lo mati ditelan kerasionalan diri lo. Lo punya temen bergaul ga sih sekarang-sekarang ini?"
"Nope."
"Kenapa?"
"Ga sempatlah. Terlalu banyak hal lain yang lebih penting untuk dipikirkan daripada bergaul kongkow ga jelas."
"Apaan yang lebih penting?"
"Ya memikirkan masalah bangsa, masalah di lingkungan, masalah di sekitar. Mengasah otak untuk terus bekerja dengan membaca buku. Menulis. Memastikan semua hal berjalan dengan baik. Tidak menyia-nyiakan fasilitas informasi yang ada. Belajar dari setiap masalah yang timbul. Otak kita terlalu berharga bila dibiarkan berlibur terus-menerus. Semua pasti bisa kita selesaikan. Sebesar apa pun masalah itu."
"Tapi kan ada hal-hal yang ga bisa kita kontrol. Ada kegagalan yang ga bisa dihindari. Takdir, fate.."
"Itulah. Campur tangan Tuhan dalam pikiran manusia-manusia teis ini seringkali membuat manusia ga mau berusaha maksimal dalam hidupnya. Selalu percaya Tuhan sedah menyiapkan yang terbaik. Kekonyolan yang menyedihkan, membuat kita ga mau berusaha semaksimal mungkin untuk usaha-usaha dalam hidup kita."
"Tapi kan kalau kegagalan yang tidak bisa dihindari, itu pasti ada maksud dan tujuannya."
"Ayolah, kita ini punya otak untuk berpikir. Berpikir bagaimana caranya supaya tidak gagal. Semua itu pasti ada caranya!"
"OK. Tapi sebaliknya kalau lagi senang, juga kita butuh sosok untuk diberikan ucapan terimakasih."
"Apa bedanya akan signifikan kalau tidak ada pegangan dan tidak punya sosok untuk diberi uapan terimakasih? Yang berusaha kan juga diri kita sendiri. Atau Tuhanmu itu gila hormat?"
"Ih beda. Tetap ada hal-hal yang ga bisa dijelaskan. Yang mempertegas ada campur tangan Tuhan di situ."
"Itu karena kita belum ngerti aja. Kalo uda terpecahkan misterinya, ketahuan deh Tuhan ga sehebat itu dan dia belum tentu ada."
"Ih, ga gitu..."
"Udahlah.. Gw pingin ketemu lo siang ini bukan untuk mendengarkan ceramah keTuhanan lo."
"Hahaha. Sorry, can't help my self."
"Gw punya banyak cerita buat lo hari ini."
"OK."
[Dan di makan siang itu sosoknya bicara berapi-api tentang kerjaan dan visi misinya membangun bangsa ini. Dia bicara penuh semangat tentang pemikiran dan ide-ide segarnya. Tentang bagaimana kami berdua bisa bergerak bersama-sama melakukan ini dan itu. Dan ternyata hati ini tetap jatuh di situ, di sela sela kalimat-kalimatnya yang begitu membara.]
***
"Dan kenapa akhirnya kalian ga jadi nikah?"
"Beda agama."
"Ow.."
"Saya beragama, dia enggak"
...
***