Langit-langit kamar tiga kali tiga dan suara kipas angin. Dia masih menerawang sambil memainkan rambutnya. Dibiarkannya gelungan rambutnya terlepas. Apa yang dicari dalam hidup lalu? Bila makan minum dan tidur semua bisa dilakukan sendiri, lalu apa? Apakah ambisi itu suatu keharusan? Menikah? Punya anak? Untuk siapa? Budak evolusi semata? Kodrat? Atau apa?
Dia berusaha mencari kepastian di situ. Di antara partikel-partikel acak yang berterbangan di lobang angin. Ada botol alkohol dan sekotak rokok. Masih terbungkus rapih. Celana jeansnya terlepas pelan. Kalau bisa merasakan kenikmatan, mengapa dilarang? Lebih baik mabuk atau korupsi uang pembangunan sekolah? Lebih baik bercinta dengan pacar atau manipulasi angka laporan studi banding? Ya, dia tahu itu relatif. Dan dia benci.
Dia benci dengan kehidupan yang sangat sosial ini. Dia benci hidup dalam layar nilai orang lain. Dia benci harus berpakaian sopan setiap hari. Dia benci harus berdoa sebelum makan. Dia benci harus datang ke arisan keluarga melaporkan karier dan kekayaan lewat obrolan dan gaya pakaian. Dia benci dengan ayah ibunya yang terperangkap tirani kemakmuran semu.
Kemeja putihnya mulai basah keringat. Mengapa orang tua harus malu punya anak miskin. Eh, tunggu. Miskin? Apakah bisa makan tiga kali sehari itu namanya miskin? Apakah sanggun mengontrak rumah mungil di ibukota miskin? Apakah masih bisa memberi untuk pengemis pinggir jalan itu miskin? Apakah bisa membiayai operasi orang entah siapa itu miskin? Mengapa orang tuanya malu pada dirinya? Mengapa orang tuanya malu pada tetangga? Apa yang orang tuanya cari?
Kalau hidup itu mengejar mimpi, apa kalau begitu definisi mimpi? Haruskah sesuatu yang megah? Sesuatu yang bersinar? Sesuatu yang memukau? Dia punya mimpi yang lain tentang hidup. Tentang kedamaian. Tentang manifestasi ide. Tentang buku, album rekaman, ternak kerbau, kebun singkong. Ayahnya hanya tertawa remeh. Dia katanya berhak mendapatkan yang lebih baik. Dia ingin menampar mulut ayahnya saat itu. Tapi itu durhaka. Percakapan diakhiri dengan sayatan dangkal di pangkal lengan. Diam-diam di kamar mandi sambil menangis.
Itu tahunan yang lalu. Tapi sekarang dia masih juga menangis. Air matanya tumpah pelan-pelan. Nyeri. Dia membiarkan pakaiannya terlepas dan membiarkan angin semilir bermain di antara lengan dan belahan dadanya. Atau melingkar-lingkar melilit kedua pahanya. Dia benci bentuk tubuhnya. Tidak. Bukan begitu. Dia benci harus hidup di antara orang-orang yang senang mengomentari ketidaksempurnaan tubuhnya. Kesehatan katanya harta berharga. Kenapa bisa dengan sesuka hati mencabut rumput atau memotong ayam kalau sama-sama ciptaan? Yakinkah dengan penciptaan Adam dan Hawa dibanding teori evolusi? Orang tolol berperang karena dua hal serupa tapi tak sama. Mungkin itu frustasi. Mungkin ini depresi. Mungkin ini.
Pernah sekali ada yang memujanya dalam ketidaksempurnaan. Bagian hidup yang sempat membuatnya percaya lagi akan banyak hal. Bagian hidup yang memberinya alasan untuk semua kejadian paling pahit sekalipun. Tapi jalinan itu kemudian diputus paksa. Pemujanya bukan dari satu lingkaran yang sama. Pemujanya tidak seirama dengan pola hidup orang tuanya. Lalu selesai begitu saja. Ternyata bahwa urusan surga neraka yang masih absurd keberadaannya jauh lebih penting. Jauh dibandingkan rasa aman dan pengertian dari pihak yang bersangkutan. Karena hidup bukan sendiri. Karena hidup itu bersama-sama. Pengorbanan yang luar biasa, ditebus dengan kemandulan untuk mencinta.
Dia sempat berencana kawin lari. Pemujanya tapi memilih mundur teratur. "Kamu memang pantas mendapat yang lebih baik dariku." Dia terhenyak dan hatinya seperti menyusut. Lalu hilang. Sejak itu dia belajar bahwa cinta itu mitos. Kalau memang nafas-nafas ini adalah spons cuci piring, maka si pemuda adalah sabun cucinya. Diremas menjadi berbusa, dan jadi bersih. Bersih jernih penuh busa. Empuk. Kini sabun transformasi. Diganti dengan air. Datar saja. Spons air tanpa busa. Hidup lalu penuh dengan rutinitas untuk membunuh waktu.
Sekarang telanjang sudah di kamar sumpek tiga kali tiga. Dipenjamkan matanya dan berusaha dicari di mana letak rasa ngilu yang menderu-deru setiap dia menarik nafas. Dada kiri. Sial. Tuhan, rasa kosong ini membunuh. Itukah mengapa kamu memilih mati muda? Kekecewaan akan hidup yang kosong? Nafasnya mulai tersengal. Dia memaki dalam hati.
Jam menunjukan pukul tiga pagi. Dia kelelahan sendiri membenci hidup. Monolog sia-sia dengan si maha. Botol kosong. Rokok tersisa setengah. Dia bangkit ke kamar mandi dan memasukan jari ke kerongkongan. Pahit. Perasaan pusing menusuk dan gemuruh tak terjelaskan merambat ke kepala. Hoek. Muntah. Banyak.
Pukul enam pagi. Perdana di kepala tiga. Dua juta lima ratus ribu rupiah semalam. Tambahan tiga ratus ribu rupiah untuk keluar di mulut. Dia jatuh tertidur. Spreinya masih berantakan.
[ ]