Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Tujuh Membunuh

1 Juni 2010   15:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:49 98 0
Dua garis strip itu terlalu jelas untuk tidak dihiraukan. Karton kecil pipih itu masih bertengger di pinggir gelas plastik berisi cairan sisa metabolisme berwarna kuning bening.

Senin pagi.

Dua mata itu terlalu marah untuk diajak kompromi. Hempasan tangan kanannya sudah memberikan warna merah tambahan di sudut bibir yang dulu sering dia bilang seksi dan menggairahkan.

Selasa malam.

Dua pil putih kecil itu terlalu sayang untuk dibuang setelah dipesan dengan susah payah secara sembunyi-sembunyi. Efeknya manjur dan datang bulan yang terlambat itu bisa segera diselesaikan segera sebelum timbul masalah baru.

Rabu siang

Dua pasang kaki itu terlalu sibuk bermain di atas tempat tidur. Wanita si empunya kasur punya cukup banyak waktu mencerna dan memahami dengan jelas apa yang dilakukakn laki-laki yang dia panggil suami dan kerabatnya yang dia panggil oom berdua tanpa busana di atas sana.

Kamis sore.

Dua lembar uang lima puluh ribu rupiah itu terlalu sedikit dibawa ke warung depan.  Sekali lagi ada hempasan kasar di daerah pipi penuh amarah minta makan tanpa sadar hutang yang harus dibayar butuh berpuluh puluh lembar kertas kebiruan itu.

Jumat pagi.

Dua tangan itu terlalu gemetar untuk mengambil telfon genggam. Darah mengalir tidak berhenti, rasa nyeri luar biasa, dan demam tinggi, itu semua sudah cukup menjadi alasan untuk memohon penghentian hempasan bertubi-tubi.  Tapi itu mimpi. "Jalang!".

Sabtu malam.

Dua mata itu terlalu lelah untuk membuka lagi. Kelopak itu akhirnya menutup untuk selamanya setelah pendarahan hebat di rahim dan pukulan keras di kepala dan luka memar di bahu dan sayatan sayatan imajiner yang terlalu dalam di lubuk hatinya .

Minggu malam.

Terbunuh.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun