Malam ini ada banyak hal merasuki pikiran Jek. Masa lalunya, almarhum bapak ibunya, almarhum istrinya, Noni. Ah, Noni. Noni sedang hamil muda ketika mati ditabrak kereta. Malam sebelumnya Jek menampar Nonti sampai berdarah untuk alasan yang Jek bahkan sudah tidak ingat lagi. Ada rasa sesal, namun disimpan Jek baik baik selama hampir setahun sejak itu. Jek tidak mau jadi pihak yang bersalah. Tapi malam ini rasa sesal itu seperti berontak ingin meloncat-loncat menyayat dada Jek. Bangsat. Jek memaki diri sendiri.
Lalu Jek teringat dengan kontrakannya. Berantakan. Sejak Noni mati, Jek kehilangan alasan pulang ke kontrakan. Setiap sudut seolah mengirimkan tangis Noni atau suara tamparan Jek. Dulu Jek menikmatinya. Sekarang? Entah. Ingin Jek berhenti mengontrak dan pindah ke kontrakan yang lebih murah dekat terminal, dekat rumah Mak. Niat itu sirna ketika Jek tahu Bu Kus, si empunya kontrakan, sakit berat. Uang untuk berobat ya dari uang kontrakan. Jek tertawa miris. Bahkan kalau dia bukan preman pun, hidup mati orang masih ada di tangannya.
Di sela-sela kenangan masa lalu sialan dan asap rokok, tampak seorang gadis duduk di pojokan halte, sekitar tiga ratus meter di depan Jek. Gadis dengan baju berbelahan dada rendah. Pemandangan indah menggoda syahwat perlahan-lahan memenuhi kepala Jek. Ini sudah hampir dua jam si gadis duduk di tempat yang sama. Setelah kopi di hadapan Jek benar-benar habis, Jek menyerah pada hasrat. Ia menghampiri gadis itu. Dari belakang, sambil mengelus kepalanya Jek ikut duduk di samping gadis itu. Tanpa diduga, tangan Jek ditepis. Jek sadar dia salah sangka. Si gadis ini bukan lonte sini. Elusan kepala itu semacam kode ketertatikan, kode yang sudah jadi ciri kas lonte daerah sini.
Tadinya Jek hendak bangkit lagi, namun ada sesuatu menahannya. Kalau bukan lonte, gadis ini pasti sedang kesasar. Kalau kesasar, maka sekarang dia sedang bingung. Orang bingung adalah orang yang pas untuk dimanfaatkan maksimal. Fantasi Jek menjadi liar. Mulutnya segera beraksi memulai usaha mewujudkan fantasi.
“Kamu kesasar ya?”
“Engga bang.”
“Ga punya ongkos pulang?”
Si gadis diam. Jek merogoh kantong, mencari lembar dua puluh ribuan. Ini usaha untuk menunjukan simpati.
“Nih.. Cepet pulang. Ga baek di sini sendirian malam-malam.”
Jek menyisipkan uang itu ke tangan kana si gadis, tapi di luar dugaan gadis itu menolak halus. “Engga bang. Makasih.”
Jek sedikit kaget. Bukan karena penolakan dari si gadis, tapi Jek merasa ada sensasi aneh ketika tangannya bersentuhan dengan tangan si gadis. Selama lima menit Jek dan si gadis saling menatap. Hasrat akan fantasi liarnya mulai berbenturan dengan rasa kasihan sekaligus simpati sungguhan sekaligus entahlah Jek juga tidak mengerti. Jek sesaat bimbang, tapi fantasi liar kembali sukses mengambil alih.
"Ikut abang aja mau?”
“Ke mana?”
“Jalan aja ke situ. Bisa istirahat atau tidur kalau memang ga mau pulang.” Jek menunjuk ke arah jalan menuju kontrakannya.
Si gadis diam tidak bereaksi. Tanda penolakan. Jek diam dan akhirnya memutuskan menyerah. Dia bangkit berdiri dan berjalan meninggalkan si gadis. Tapi si gadis malah ikut berdiri dan mengikut Jek. Jek dan si gadis berjalan beriringan. Fantasi liar kembali bermain-main di kepala Jek.
“Punya nama?”
“Punya.”
“Siapa?”
“Ayi”
Jek tidak dapat menahan diri untuk tidak menyentuh Ayi sekali lagi. Digandengnya tangan Ayi dan dirangkul pinggangnya, berharap sensasi ajaib yang tadi sempat dirasakan dapat kembali lagi.
"Biar mereka ga ganggu kamu," Jek berbisik memberi alasan rangkulannya ketika mereka berjalan melewati kelompok pengamen terminal. Salah satu dari mereka mengoda dan memberi isyarat goyangan pinggang. Jek hanya membalas dengan mengacungkan jari tengah sambil jalan lalu.
Sesampainya di kontrakan yang berantakan, awalnya Jek ingin langsung memeluk mencium dan meremas payudara Ayi. Tapi ternyata Ayi sangat kelelahan. Ayi langsung merebahkan diri ke kasur dan menutup mata. Melihat itu, fantasi liar Jek tiba-tiba menguap begitu saja. Gairahnya tiba-tiba hilang. Tadi waktu jalan dan merangkul pinggangnya Jek merasa badan Ayi panas. Ayi sudah tertidur ketika Jek menempelkan tangan di keningnya. Demam.
Jek memutuskan pergi lagi. Dia harus cari obat dan cari baju hangat untuk Ayi. Sambil menyalakan rokok Jek berjalan ke arah pasar dan bingung sendiri. Apa yang sedang dia lakukan?
***
Esok harinya Jek narik seharian penuh. Jek menitipkan Ayi di Mak. Sesaat sebelum Jek pamit narik, Mak bilang bahwa dia tidak suka dengan Ayi. Jek hanya tertawa. Mak tidak pernah suka siapa pun. Tapi Mak pasti akan menjaga Ayi walaupun dengan judes dan sinis. Bagaimanapun Mak sudah menganggap Jek anak sendiri.
Bang Ali, bapaknya Jek adalah kawan baik alamarhum suami Mak, Bang roy. Bang Ali dan Bang Roy dulu paling ditakuti di terminal sampai mereka berdua mati di tangan penembak misterius tahun delapan puluhan. Jek tinggal sendiri karena ibunya mati sejak dia kecil. Mak juga tinggal sendiri karena tidak punya anak dengan Bang Roy, Sejak itu Mak menganggap Jek anaknya sendiri. Tapi Jek kurang suka. Mak keras dan suka sok tahu, bahkan kadang sol pahlawan. Tapi toh tetap pada akhirnya Jek selalu kembali pada Mak bila kena masalah. Seperti waktu Jek ditangkap karena tawuran, atau waktu babak belur dihajar preman kampung sebelah. Mak ada di situ untuk Jek.
Hari itu terasa lebih panjang dari biasanya. Pikiran Jek tidak tenang. Ada wanita muda tidak jelas asal usulnya berkeliaran di benak Jek. Ada sesuatu yang aneh, tapi Jek tidak bisa menjelaskan apa. Selesai narik, Jek menjemput Ayi di tempat Mak. Badan Ayi sudah tidak demam dan parasnya lebih segar dibanding kemarin. Ayi terlihat cantik. Perasaan Jek tidak menentu.
Malam itu Jek tidur di sampaing Ayi dan tidurnya sama sekali tidak tenang Jantungnya berdetak lebih cepat ketika tangannya bersentuhan. Jek menyerah pada naluri. Lalu dia memeluk badan Ayi. Lalu dia meraba. Lalu dia meremas. Lalu dia mencium. Ayi diam. Nafas mereka berdua terengah. Jek bangkit mematikan lampu.
Malam tiba-tiba terasa panjang. Keheningan yang melelahkan dan begitu meluap-luap. Ada emosi yang tidak bisa dijelaskan menyeruak di dada Jek. Rasanya berbeda. Tidak seperti lonte-lonte lain. Seperti menemukan yang sudah lama hilang.
“Kamu lagi hamil?”
“Tahu dari mana?”
“Keras,” Jek menyentuh pelan dada Ayi.
Iya, sama persis rasanya seperti ketika Noni hamil. Jek duduk menyalakan rokok dan menghisapnya pelan. Tangis Ayi pecah. Jek menjadi bingung dan sangat tidak suka situasi aneh ini. Ia kemudian berusaha bersikap baik dengan menyeka air mata di pipi Ayi. Ayi lalu memeluknya erat-erat.
Ayi tidur di pelukan Jek malam ini. Tapi Jek tidak bisa tidur. Sambil sekali-kali membetulkan posisi tangannya supaya tidak kebas, pikirannya meloncat-loncat lagi ke masa lalu. Bayangan Noni sekali dua kalo berkelabat dalam benak Jek. Kalu Noni tidak mati ditabrak kereta, Jek sekarng sudah punya anak. Mungkin bukan kebetulan kemarin malam dia bertemu dengan Ayi. Mungkin bukan kebetulan juga kalau Ayi sekarang sedang hamil. Mungkin ini kesempatan kedua untuk Jek.
Orang bilang Jek preman, tapi itu kan cuma satu dari sedikit cara mengumpulkan uang. Jek tidak pernah kekurangan. Ya, dia preman yang juga kadang jadi kenek kopaja atau kadang menyupir. Dia selalu punya uang kalau ingin minum atau merokok. Ada uang untuk bisa menyicil satu kopaja dari koperasi, tapi untuk apa? Pertanyaan itu sepertinya sudah didapat jawabannya. Mungkin benar. Untuk ini semuanya. Uang, kekuasaan, mungkin untuk ini. Keluarga.
Mungkin Jek perlu orang lain untuk dihidupi. Seperti bang Rahmat, atau bang Jali. Mereka bekerja untuk keluarga. Kejar setoran untuk lebaran. Pernah Jek bertanya untuk apa punya anak kalau sudah tahu uang tidak banyak, bang Rahmat tertawa. Dia lalu menjawab sesatu panjang lebar tentang rasa bahagia sambil menunjuk dada kiri. Jek tidak mengerti. Berkelahi memukuli lawan dalam tawuran memberikan dia rasa bahagia yang lebih dari cukup kalau memang bahagia yang dicari.
Dulu waktu Jek menikahi Noni, tidak ada motivasi untuk bahagia. Ya menikah saja, seperti orang lain lakukan. Tak pernah Jek benar-benar pikirkan apa itu arti pernikahan. Kehamilan Noni pun tidak pernah menyita perhatian Jek. Jek berpikir memang itu hal yang lumrah. Tapi ternyata dia salah. Setelah Noni mati ada celah di dalam dirinya. Bukan sedih, bukan marah. Sedikit sesal. Tapi Jek terlalu gengsi mengakuinya.
Jek memandang Ayi dan mengelus perutnya. Seperti apa yang Mak pernah bilang, tidak ada yang kebetulan. Wanita ini mungkin adalah kesempatan kedua untuk Jek. Meminta maaf pada Noni untuk kesalahannya mungkin bisa lewat Wanita ini. Ya, mungkin wanita ini seharusnya bukan untuk ditiduri. Jek mengecup kening Ayi lalu tidur. Itu pertama dan terakhir Jek menyentuh Ayi.
****
Semua orang sudah tahu Jek dan Ayi tinggal serumah. Semua orang juga tahu Ayi sedang bunting mungkin sekitar lima bulan. Banyak yang penasaran dengan takut-takut bertanya pada Mak apa benar Ayi bunting anaknya Jek. Mak biasanya hanya memberi tatapan tajam dan malas menjawab. Bisik bisik yang terdengar, Mak tidak suka dengan Ayi karena Mak yakin Ayi lonte kota lain yang kesasar di terminal ini dan memanfaatkan Jek untuk bisa tetap makan minum. Mak yakin Ayi bunting bukan karena Jek.
Tapi sejak ada Ayi, Jek semakin mendapatkan kepercayan dirinya. Jek bekerja semakin keras dan semakin galak. Jek semakain ditakuti orang dan lebih berani melawan kalau ada kamtib datang untuk minta setoran. Secara aklamasi Jek dianggap kepala preman terminal ini. Masih menurut bisik-bisik, Jek sudah memesankan kepada semua anak buahnya untuk tidak mengganggu Ayi dan menghormati dia serta menjaga dia bila Jek tidak ada di terminal.
Bisik-bisik yang ini konon katanya sempat membuat Mak gusar. Tapi Mak hanya berani berkeluh kesah di belakang saja. Mak kesal karena Ayi, walaupun sangat dia benci, tapi melayani dan membantu Mak dengan baik. Terlebih waktu penyakit Mak kumat, Ayi yang tetap membuka lapak Mak dan membantu berjualan.
Suatu malam di kamar kontrakan Ayi tiba-tiba memeluk Jek erat dan mengatakan bahwa ia mencintai Jek. Jek hanya menerawang. Cinta? Bagaimana mungkin tiba-tiba wanita ini bilang cinta?
"Ayi, abang ga ngerti cinta."
Ayi terdiam. Jek merokok. Di kepala Jek kembali menerawang bayangan Noni. Apakah dia cinta Noni? Apakah dia cinta Ayi? Yang Jek tahu, Ayi adalah kesempatan mengisi hatinya yang kosong. Melunasi hutang berbuat jahat. Hanya itu. Apakah itu cinta? Jek mengusap perut Ayi, lalu mengecupnya dan kemudian menyuruh Ayi tidur.
Jek tahu Ayi tidak segera pergi tidur. Jek bisa mendengar Ayi menangis pelan. Tadi siang Jek memberikan Ayi sekantong plastik pakaian bayi bekas pakai. Mungkin itu mengapa Ayi bilang cinta. Tidakkah dia cinta ayah dari bayinya? Atau mungkin Ayi seperti Noni. Noni yang tidak cinta Jek, ayah dari bayi yang dikandungnya? Ayi masih menangis ketika Jek jatuh tertidur.
***
Jek tahu biaya persalinan tidak murah. Jek juga tahu tidak selamanya Ayi bisa tinggal bersamanya. Jek tidak mau memperistri Ayi. Jek cuma ingin Ayi selamat melahirkan. Itulah mengapa setiap bulan Jek selalu memberi Ayi uang dan berpesan supaya ditabung. Dan Jek sendiri juga menabung. Untuk biaya persalinan Ayi.
Maka wajar bila kemudian ada emosi membara berlipat-lipat di sebuah sore. Sebuah sore ketika Jek menangkap basah si copet sialan ynag hampir mengambnil seluruh tabungannya. Setumpuk lembaran biru usang di dalam tas kain selempang yang dia pakai. Pukulan saja tidak cukup. Tendangan juga. Terus. Terus. J ek masih merasakan emosi yang meledak-ledak. Adrenalin yang terpacu. Baru setelah darah di mana-mana logikanya kemabli. Tubuh kurus dihadapannya tidak bernyawa lagi, Jek kalut.
Lari.
Lari.
Lari.
Cuma itu yang ada di kepalanya. Bayangan ibunya samar muncul. Lalu bapaknya. Lalu Mak.
Jek naik bus sembarang. Jek turun di tempat sembarang.
Lari.
Lari.
Jek sampai di tempat entah, Jek berlari lagi ke arah entah.
Lari
Lari
Hari sudah berganti berkali kali. Jek sempoyongan di jalan tanpa penerangan. Jek merasa melihat Noni di ujung rel lima ratus meter di hadapannya. Jek berlari melintasi rel kereta api. Lalu Jek melihat Noni lagi, di ujung rel empat ratus meter di hadapannya. Suara mendesing-desing. Lalu benturan keras.
BRAK!
Sesaat sebelum pikirannya terbang Jek membayang Ayi dan anaknya.
"Bimo!!! Kamu nabrak orang!"
Dua orang keluar dari mobil. Ini tengah malam di jalan sepi pedesaan. Siapa yang menduga ada orang menyebrang. Bimo memberanikan diri melihat si korban. Luka memar saja. Dan orang itu masih setengah sadar.
"Paling juga orang gila. Bajunya aja compang camping. Udah Na, kita tinggalin aja. Siapa juga yang denger, ini kiri kanan sawah semua." Bimo menuntun Nana masuk ke dalam mobil.
Suara mobil menderu di kesunyian. Nana masih shock. Bimo tidak ambil pusing. Semoga orang itu baik baik saja. Dalam hati berjanji, ini terakhir kali dia menyetir setengah mabuk.
___________________
*Hehehe, kenalkan. Ini Jek. Bandingkan dengan Cerita Ayi dan Kebencian Mak. Terus baca Laurencial Avantia. Klik tag "Jek" buat cerita kecil terkait lainnya.