Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Airmata Ibu di Hari Bahagiaku

22 Desember 2013   23:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:36 218 0

“Sah!” begitu teriak saksi pernikahan kami, kemudian doa dilantunkan penghulu dan diaminkan semua tamu. Alhamdulillah, semua berjalan lancar, tanpa ada halangan sedikitpun.

Tiba-tiba tangis Ibu pecah, perlahan suaranya kian keras, parau dan mengiba. Semua orang yang hadir larut dalam haru,sebagian turut tersedu.

Ada raut kebingungan di wajah istriku, pun denganku. Kuhampiri Ibu, beliau tetap menangis, kemudian berbisik, “Alhamdulillah, ibu masih bisa melihatmu menikah, Nak.” Katanya tersedu.

Kupeluk erat Ibu, akupun bahagia, Bu. Aku masih ingat kata-kata ibu tiga tahun yang lalu. Kala itu, selang terpasang di kepalanya,  mengalirkan oksigen melalui hidungnya. Kabel-kabel  menempel di dadanya, untuk memantau denyut jantungnya. Sesekali bunyi nyaring terdengar, seketika itu pula terdengar  sedu sedan yang kian keras. Beliau masih berujar, “Aku sehat kok, aku masih mau mantu (menikahkanku).” Katanya optimis, meneguhkan kami untuk pasrah dan tetap bermohon pada-Nya.

Alhamdulillah, Allah mengabulkan doa kami, Ibu sehat. Ibu bisa kembali beraktifitas. Sungguh, hanya Allah yang mampu mengembalikan kesehatan ibu.

Katanya, ketika kita lahir, kita menangis sedangkan orang-orang yang mencintai kita tersenyum. Ketika kita menikah, kita tersenyum, dan orang-oranng yang hadirpun ikut tersenyum. Dan kita meninggal, orang-orang yang mencintai kita menangis. Mungkin, ini tidak berlaku bagi seorang ibu. Mungkin, ibu adalah orang yang paling sering menangis untuk kita, menangis karena bahagia, menangis karena terharu atau bahkan menangis karena ikut merasakan sakit yang kita rasa.

Ibu, kau bukanlah matahari, karena kau mampu menyinari kami sepanjang hari.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun