Jakarta, Maraknya kasus mafia perasuransian merajalela, kekosongan hukum dari sejumlah persoalan tata kelola asuransi jiwa dan jaminan hari tua BUMN atas pengelolaan dana investasi asuransi jiwa milik rakyat, pada sektor bisnis perasuransian nasional sangat mengkawatirkan. Terbukti dalam 5 (lima) tahun terakhir telah berdampak pada merosotnya tingkat kepercayaan publik terhadap sektor industri asuransi jiwa milik Negara. Dari kepura-puraan Pemerintah dalam menyelamatkan keuangannya dan mengembalikan kepercayaan itu, tanpa diikuti penyelesaian yang mendasar dari persoalannya (Distrust).
Disisi lain Pemerintah sedang fokus terhadap pemulihan ekonomi nasional (PEN), sementara itu kewajiban hutang klaim asuransi Negara dipangkas sebesar 40% dari total kewajiban hutangnya (liability Governance), akibat dari praktek churning dan twissting polis yang diboyong ke asuransi lain. Kemudian disusul dengan menghentikan operasional perusahaan asuransi Negara dan penjualan produk asuransi jiwanya. Hal ini berdampak buruk terhadap kinerja keuangan perseroan jangka panjang dan pertumbuhan income premi Nasional.Tindakan seperti itu tidak dibenarkan dalam industri perasuransian Indonesia, ditambah adanya pembohongan gagal bayar polis dari saluran bancassurance sebesar Rp 802 miliar diruang publik pada oktober 2018. Hal ini berakibat fatal, telah merusak citra kepercayaan perasuransian milik Negara, dan membuat seluruh Nasabah Polis mengalami kepanikan. Akibatnya terjadi rus penebusan polis asuransi jiwa secara besar-besaran terjadi diseluruh Indonesia.
Dari situ terlihat niat jahatnya ada untuk menghancurkan reputasi bisnis asuransi jiwa milik Negara.Disamping itu juga menambah panjang masalah dan sejumlah program telah direkayasa semua oleh oknum Direksi BUMN yang ditunjuk dari luar perusahaan diketahui berasal dari para pejabat bank. Termasuk mengusulkan rekayasa proposal Rencana Penyehatan Keuangan (RPK), telah diselewengkan untuk menggembosi asuransi jiwa BUMN dari dalam oleh Direksinya sendiri. Proposal RPK itu tidak compilance dengan regulasi Undang-Undangnya. Diduga ada  abouse of power dalam implementasi RPK itu atas program restrukturisasinya, yang berdampak merugikan seluruh nasabah polis Negara.
Perusahaan legenda asuransi Jiwa Indonesia tertua sebagai entitas milik Negara terancam punah, telah keliru menempatkan orang yang tidak ahlinya bidang asuransi jiwa juga dikelola oleh orang-orang yang tidak amanah dalam industri Jasa Keuangan Non-Bank. BUMN ini memiliki sejarahnya yang panjang sebagai bagian dari saksi sejarah perjalanan sebuah bangsa. Perusahaan asuransi jiwa dan jaminan hari tua peninggalan Hindia-Belanda dikenal dalam bahasa Belanda Nillmij Van 1859 telah resmi dimiliki Indonesia dengan modal akuisisi pada awalnya sebesar Rp 235 miliar, hasil dari buah kemerdekaan dari tangan penjajahan. Seyogyanya mampu dilestarikan keberadaannya oleh Pemerintah RI, tetapi pada faktanya justru sebaliknya.
Bahkan kini BUMN asuransi tertua itu terancam untuk dibunuhnya oleh para pengkianat bangsa, dilikuidasi dengan memboyong seluruh portofolionya ke perusahaan asuransi lain dengan terlebih dahulu mematikan secara sepihak status polis aktif milik seluruh nasabah polis asuransi BUMN. Disamping itu juga akan ditargetkan untuk dikembalikan ijin operasional kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Penyusunan proposal Rencana Penyehatan Keuangan (RPK) BUMN asuransi, perlu dipertanyakan keasliannya harus dilakukan audit forensik untuk mengetahui kebenarannya, atas sejumlah kejanggalan yang terjadi dalam motif penyelamatan polis BUMN.
Direksi BUMN asuransi itu telah mengkondisikan semuanya menjadi lebih sangat buruk dari sebelumnya sehingga perusahaan itu menjadi terancam tidak beroperasi bahkan terancam akan tutup. Lebih lanjutnya atas buruknya layanan Klaim asuransi tersebut yang berlarut-larut, selama 4 (empat) tahun lebih,tidak ada kepastian pembayaran klaim asuransi bagi nasabahnya, juga tidak adanya kepastian hukum atas gugatan wanprestasi BUMN yang telah dimenangkan nasabah berkekuatan hukum tetap (inkraht). Mereka telah mengabaikan putusan hakim pengadilan dari nasabah polis BUMN. Hal itu yang juga memicu kemarahan, dan kekecewaan panjang para nasabah asuransi itu terhadap Pemerintahan saat ini.
Berdasarkan data terakhir dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), peserta asuransi jiwa sebanyak 58,7 juta, dana pensiun sektor perasuransian sebanyak 4,3 juta, nasabah unit link sebanyak 4 juta. Hal ini menjadi penting, dan sangat urgensi untuk dibentuknya badan Lembaga Penjaminan Polis (LPP).
Sejarah telah mencatatnya legenda asuransi jiwa tertua di Indonesia sebagai perusahaan plat merah, menjadi satu-satunya contoh bagi asuransi yang lain. Telah mempertontonkan pelayanan yang sangat buruk bagi seluruh nasabah polisnya. Ini ancaman yang sangat serius bagi kelangsungan sebuah bangsa dan atas kegagalan Pemerintah RI sebagai pemilik juga pengelola dana asuransinya rakyat. Pemerintah tidak menjalankan  aturan dan amanat dari Undang-Undang Perasuransian. Terbukti masih ada yang belum disempurnakan dari regulasi Undang-Undang perasuransian tersebut.
Diketahui program restrukturisasi polis, ternyata hanyalah sebuah ketidak seriusan dari Pemerintah yang jauh dari kebenarannya. Pemerintah sendiri tidak menjalankan rekomendasi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI),dalam hal diperlukan suntikan modal pemilik untuk menyehatkan keuangannya. Adapun besarannya Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp 32 triliun untuk memperkuat struktur permodalannya dan mengembalikan kepercayaan berasuransi pada asuransi jiwa BUMN.
Diketahui praktek restrukturisasi polis telah diimplementasikan kedalam praktek  churning dan twissting polis asuransi yang mengganti polis lama dengan polis baru pada perusahaan yang sama, mengganti produk dengan mengubah spesifikasi polis dan manfaatnya hilang. Justru ini sebuah pembohongan belaka yang mengeruk seluruh haknya nasabah polis BUMN sebesar 40 % dari total kewajiban Negara baik secara jangka pendek dan juga jangka panjangnya. Hal inilah yang merugikan finansial nasabah polis BUMN, dan juga sekaligus menutup usaha asuransi jiwa tertua milik Negara secara permanen dimasadepan.
Sebagai informasi BUMN asuransi itu sendiri memiliki nasabah kurang lebih berjumlah 5,3 juta (data 2019) dimana data ini sangat besar jumlahnya, sekitar 1/9 dari jumlah penduduk Indonesia.
Jika diestimasikan 1 (satu) nasabah polis BUMN ini memiliki 1 (satu) orang pasangan istri/suami dan 2 (dua) anak bahkan bisa lebih dari itu jumlahnya ahliwaris dalam data polis, maka dipastikan terhadap 1 (satu) orang nasabah polis, akan menyeret minimal 3 (tiga) orang anggota keluarga inti didalamnya. Hal itu akan turut merasakan kekecewaannya, terhadap apa yang mereka terima perlakuannya tidak adil, penyelesaian pembayaran klaim asuransinya tidak selesai bahkan telah menunggu lama tanpa ada kepastian dari Pemerintah RI.
Dalam kontestasi pilpres 2024 mendatang, diproyeksikan ada 30 (tiga puluh) juta orang bahkan mungkin lebih, tidak memilih hak suaranya dari paslon Capres/Cawapres yang didukung oleh Jokowi, juga didukung dari partai penguasa. Sebagai dampak dari ketidak seriusan penyelesaian tuntutan klaim asuransi yang tidak selesai atas kebijakan Pemerintah  yang tidak pro rakyat, dalam menjalankan aturan Undang-Undang Perasuransian.
Keberpihakan Pemerintah sendiri telah alpa terhadap nasib nasabah polis asuransi BUMN, tidak ada kepastian hukum di NKRI atas tuntutan klaim asuransinya nasabah polis. Pemerintah sepertinya tetap bersikeras mempertahankan kekeliruan RPK itu atas implementasi program restrukturisasi  ditubuh perasuransian BUMN. Dan telah membuat nasabah asuransinya mengalami kerugian sangat fantastis sebesar Rp 23,8 triliun dari total kewajiban Negara.
Program restrukturisasi itu telah menciderai kepercayaan berasuransi di BUMN, melukai hati rakyat yang telah menitipkan uangnya bertahun-tahun kepada perusahaan milik Negara. Restrukturisasi yang dibangun oleh Direksi BUMN, juga telah pengkianatan terhadap sejumlah aturan Undang-Undang didalamnya, telah mendapatkan reaksi keras penolakan dari sejumlah nasabah polisnya. Sepanjang tahun 2021, ada 34 (tiga puluh empat) gugatan hukum yang telah dilayangkan oleh nasabah polis, 8 (delapan) diantaranya telah dimenangkan dipengadilan nasabah polis Negara dengan amar putusan inkrah, atas perkara wanprestasi BUMN, perbuatan melawan hukum dan gugatan sederhana.
Sebagai informasi program restrukturisasi polis telah dimulai pada awal Januari 2021 berkahir pada 31 Mei 2021, yang sebelumnya telah diumumkan oleh Direksi BUMN pada 11 desember 2020 melalui virtual. Diikuti penghentian seluruh polis aktif/pembatalan polis secara sepihak cutoff polis per 31 desember 2020. Hal ini berdampak merugikan bagi seluruh nasabah polis secara manfaat asuransi, secara nilai polis dan merugikan perusahaan BUMN secara pendapatan premi menjadi terhenti (Nihil Income).
Penghentian polis aktif secara sepihak oleh Ketua TIM Restrukturisasi, tanpa terlebih dahulu melalui proses putusan dari pengadilan yang diputuskan oleh Hakim berkekuatan hukum tetap, maka menjadi cacat hukum. Hal ini telah diatur dalam KUHP Perdata Pasal 1266. Sehingga program restrukturisasi polis itu memiliki cacat hukum, juga telah melawan hukum tidak bisa dilanjutkan harus dihentikan, untuk dibatalkan dan dicabut demi hukum, sebelum terjadi banyak korbannya.
Lebih lanjut, ada kejanggalan dalam proses surat penawaran proposal restrukturisasi polis itu telah menyasar seluruh nasabahnya, dan menawarkan penghentian polis aktif, padahal sebelumnya telah dinonaktifkan terlebih dahulu, oleh ketua TIM restrukturisasi terhadap seluruh nasabah polis pada tahun 2020, baru tahun 2021 dikirimi penawarannya.
Sebagaimana diketahui dalam Undang-Undang No.2 Tahun 1992  tentang Usaha Asuransi Jo Undangan-Undang  No.40 tahun 2014 Tentang Perasuransian Pasal 53 Ayat 1, 2 & 4, sudah sangat jelas perintah dari UU, harus ada dibentuk Lembaga Penjamin Polis (LPP) oleh Pemerintah Bersama DPR RI, itupun tidak dibentuk hingga terjadi masalah ini berlarut-larut.
Pemerintah seperti tidak serius, untuk melindungi kepentingan nasional dan kepentingan seluruh rakyat Indonesia,  khususnya kepada seluruh nasabah polis asuransi jiwa dan jaminan hari tua. Adapun  batas waktu yang diberikan maksimal 3 (tiga) tahun sejak diundangkannya,maksimal batas waktunya tahun 2017 harus sudah terbentuk lembaga penjaminan polis (LPP). Â
Pemerintah punya pekerjaan rumah yang tertunda selama 8 (delapan) tahun lebih telah dilewatkan begitu saja, ini salah siapa. Akibatnya kekosongan hukum itu berdampak buruk, sehingga kerugian rakyat tidak dapat dihindarkan. Akhirnya ada yang memanfaatkan kekosongan hukum itu untuk disalahgunakan istilah restrukturisasi sebagai penyelamatan palsu, yang menimbulkan kerugian finansial bagi masyarakatnya. Sehingga tidak ada antisipasi terhadap kondisi terburuk dari krisis keuangan dunia, dampak dari pandemi Covid-19 yang menimbulkan adanya  resesi ekonomi.
Pengelolaan dana asuransi jiwa adalah bisnis transfer resiko keuangan yang didasari modal kepercayaan yang tinggi dari masyarakatnya, harus terus dipupuk, dijaga juga dilestarikan kepercayaan itu. Apa lagi sudah menyangkut kepentingan Negara, jangan sampai dirusak oleh kelompok-kelompok tertentu yang mengatas namakan sebagai kepentingan Pemerintah.
Hal ini diwujudkan adanya penyelamatan keuangan  perusahaan asuransi milik Negara yang penuh  kepura-puraan dan penyelamatan polis nasabahnya. Telah terjadi distorsi restrukturisasi polis asuransi yang memakan korban masyarakat, juga telah merusak tatanan pondasi polis perasuransian Negara, yang menyebabkan lunturnya kepercayaan publik terhadap Pemerintahan. Dampak lainnya  juga, ancaman distrust terhadap calon investor baru baik domestik maupun mancanegara yang akan masuk untuk berinvestasi di Indonesia akan menjadi terganggu. Red.fnkjgroup (04/10/22).
Penulis adalah
Consultant Adviser |Anggota KUPASI | Anggota PPWI |Email:fnkjgroup@gmail.com