Mohon tunggu...
KOMENTAR
Ilmu Sosbud

Trauma dan Tauhid

10 September 2023   23:29 Diperbarui: 28 September 2024   22:46 119 1
A. Pengantar
Dalam satu pandangan, trauma terjadi karena ada harapan kita pada sesuatu eksternal yang tidak tercapai. Selama kita berharap pada sesuatu eksternal, selama itu pula pintu terjadinya trauma akan terus terbuka. Jadi kuncinya adalah ... jangan berharap.... pada apapun dan pada siapapun. Dalam salah satu hadis Sayyidina Ai bin Abi Thalib kw menyebutkan bahwa "aku sudah merasakan semua penderitaan dalam hidup ini. Dan tidak ada yang lebih menyakitkanku selain berharap pada manusia." Melepaskan harapan pada selain-Nya dengan begitu adalah tindakan ultimatum preventif (& mungkin saja kuratif) masalah kejiwaan.

Semua selain-Nya muncul dalam keberadaan dalam kondisi bergantung satu-sama lain. Keberadaan semua entitas selain-Nya tidak memiliki fondasi keberadaan yang independen. Tiap-tiap makhluk saling bergantung satu sama lain untuk meng-ada-di-realita dan rantai kebergantungan ini bukan hanya horizontal, melainkan juga vertikal (hirarkis) dari bawah ke atas.

Karena itu bergantung; bersandar; berharap; mengikat diri kita; pada apapun entitas selain-Nya sama saja berdiri diatas pondasi / bersandar pada tembok yang rapuh...

B. Teologi Penciptaan
Mengutip prinsip prima causa Aristoteles, Tuhan secara logika harus ada. Karena tidak logis jika Tuhan tidak ada. Dalam hal ini lebih lanjut Tuhan adalah wujud absolut atau 'keberadaan' yang sejati. Keberaan-keberadaan lain selain-Nya kemudian adalah lumeran / biasan cahaya diri-Nya. Dirinyalah Keberadaan itu sendiri atau sumber keberadaan atau keberadaan absolut / mutlak, dengan apa saja istilah yang kita gunakan. Nah, dari Yang Maha Tinggi ini muncullah para makhluk bergradasi ke bawah sebagaimana dari matahari muncul cahaya matahari yang membias dari jarak yang terdekat dengan matahari hingga jarak yang terjauh dari matahari.

Matahari adalah Tuhan; keberadaan yang takkan pernah tiada. Cahaya matahari adalah makhluk Tuhan yang terkadang ada terkadang tiada. Keberadaan Tuhan mutlak, keberadaan selain-Nya relaif. Kita dapat memahami hal ini juga dalam konteks kebergantungan. selain-Nya hanya ada jika dalam kondisi bergantung dalam rantaian kebergantungan. Sementara diri-Nya sebaliknya, justru diri-Nya lah terhenti rantai kebergantungan para makhluk; rantai akibat. diri-Nya adalah sebab awal yang dengan adanya sebab awal ini, dimungkinkan ada juga akibat-akibat lain. Keberadaan makhluk itu relatif karena mereka dalam kondisi bergantung; keberadaan makhluk juga relatif karena tidak ada satu pun dari para makhluk yang abadi dan tetap. Seluruh makhluk berubah dari satu kondisi ke kondisi lain dan fana' atau pasti hancur.

Selain-Nya yang pasti hancur, berubah-ubah, rentan ketiadaan, dan diri-Nya yang abadi, tetap, dan mutlak sangat tepat tergambar dalam analogi cahaya matahari dan matahari. Dua hal berbeda yang sekaligus juga satu hal yang sama. Yang lain (cahaya matahari) bagian dari yang satu tapi yang satu (matahari) bukan bagian dari lain. Yang lain adalah juga yang satu, tapi sekaligus yang satu bukanlah yang lain. Yang lain bergantung pada yang satu, tapi yang satu bisa meng-ada tanpa ada-nya yang lain. Yang satu sederhana, yang lain kompleks bergradasi dari intensitas tertinggi (cahaya yang paling dekat dengan matahari) hingga intensitas yang terendah (cahaya yang paling jauh dari matahari).

C. Kenyataan di Lapangan
Proses naiknya hamba ke Tuhan disebut Askendendsi. Proses turunnya Tuhan ke hamba disebut Deskendensi. Makna sejati rezeki adalah apa-apa  dari-Nya yang berpotensi menambahkan keberadaan. Apapun rezeki yang digunakan bukan untuk menambah keberadaan sama saja dengan menyia-nyiakan rezeki tersebut. Seorang hamba tidaklah butuh rezeki untuk naik kepada-Nya, pandangan yang lebih jelas adalah turun-nya rezeki itulah naiknya kita kepada-Nya. Deskendensi (turunnya rezeki) adalah juga Askendensi (naiknya kita kepada-Nya) dari satu sisi.

Yang rumit ini ... oke supaya pintu trauma tertutup kita hanya bergantung pada-Nya saja ya ... akan tetapi Dia SWT; diri-Nya bekerja pada kita melalui makhluk-Nya. Makanya disebut "diturunkannya rezeki". Bukan diri-Nya yang memberi kita langsung, tetapi makhluk-Nya ... dia memberi kita lewat makhluk-Nya. Ini yang merepotkan. Yang tadinya makhluknya hanya berperan sebagai tukang pos, oleh beberapa individu melihatnya sebagai pengirim pos itu sendiri. Yang tadinya mobil itu hanya perantara agar kita lancar dalam bekerja, eh dilihat sebagai segala-galanya yang kalau mobil itu hancur, hati dan jiwa kita serasa ikut juga hancur. Kita bergantung pada mobil dan bukan pada Tuhan. Jiwa kita terjual untuk mobil.

Orang yang hanya bergantung pada-Nya bukanlah orang yang tidak lagi makan, minum, tidak butuh rumah untuk tinggal, menganggur tidak butuh pekerjaan, kalau sakit tidak bergantung ke dokter (karena takut musyrik). Di lapangan, orang yang hanya bergantung pada-Nya adalah orang yang tidak bergantung pada hanya 1 tukang pos. Karena dia tahu bertambahnya keberadaan berasal dari sumber keberadaan itu sendiri; Tuhan, maka kondisi kejiwaannya tetap akan stabil lepas dari siapapun tukang pos yang datang padanya membawa rezeki / kemaujudan.

Orang-orang yang bergantung pada selain-Nya karena melihat para tukang pos yang datang padanya sebagai pengirim pos itu sendiri, maka ia dengan mudah lekat; bergantung dengan tukang pos tukang pos yang datang; berat dengan kepergian tukang pos yang satu; susah melepaskan tukang pos yang lain; dan kecewa berat dengan kondisi natural tukang pos yang datang dan pergi, datang dan pergi berkali-kali.

Ini maksudnya bergantung pada selain-Nya adalah kebergantungan yang rapuh; rawan kekecewaan. Seorang anak yang tidak memahami ini sudah pasti rawan akan trauma ketika tahu Ibunya bisa mengacuhkan, memarahi hingga memukulinya. Hal itu karena bagi anak, ibunya adalah dunianya, adalah segala-galanya. Lebih mending memalsukan diri agar ibunya tidak memukulinya; lebih baik hancur-hancuran secara personal dibanding sama sekali putus hubungan dari ibunya; dari segala dunianya.

Begitu juga seringnya kondisi kelekatan manusia dengan pasangannya, dengan karirnya, dengan teman-temannya, dengan hobinya, dengan harta materialnya, dengan tingkah perilakunya, dengan apapun. Semua bisa jadi objek adiksi tempat kita melekatkan diri. Kita rela hancur-hancuran agar jabatan kita tidak lepas, harta materi kita tidak hilang, kecantikan kita tidak luput, dan lainnya. Kita sengaja jual jiwa kita pada objek-objek kelemelakatan itu; pada entitas-entitas selain-Nya itu. Padahal semua itu tidak tetap; berubah-ubah ... padahal semua itu hanyalah perantara dari-Nya yang datang silih berganti selayaknya tukang pos. Kata para ustad-ustad, "yang dengan itu semua kita diuji..."

Orang-orang yang bergantung hanya pada-Nya bukan berarti tidak menerima apa yang datang, justru  dia akan menerima yang datang dengan baik (menggunakannya untuk meningkatkan keberadaan-Nya lebih dekat dengan Tuhan / Keberadaan Absolut) dan akan merelakan yang pergi dengan ringan (seandainya sudah waktunya untuk pergi). Karena sejatinya yang tidak pernah datang adalah yang tidak pernah pergi; adalah yang sudah sejak awal bersama; Tuhan itu sendiri. Tuhan lebih pasti bersama kita dibanding Ibu atau pasangan atau hara atau makhluk Tuhan lainnya yang ada di sekeliling kita. Para makhluk hanyalah numpang lewat dalam perjalanan kita kepada-Nya. Dalam hal ini makna 'zuhud' dan 'kesyukuran' menjadi berdekatan satu sama lain. Sebagaimana dekatnya makna 'ahli dunia' dan 'kekafiran'.

So, kita simpulkan:
(1) Proses diturunkan-Nya biasan keberadaan-Nya (rezeki; berkah; rakhmat, dll) kepada kita adalah juga proses naiknya kita lebih dekat kepada-Nya. Menolak atau menggunakan rezeki untuk menghancurkan keberadaan-keberadaan sama saja menolak mendekatkan diri kepada-Nya. Makanya lawan dari kata syukur (syakir) adalah kufur (kafir).
(2) Diturunkan-Nya rezeki kepada kita itu sayangnya tidak langsung melainkan lewat perantara makhluk-Nya.
(3) Karena Tuhan absolut dan para makhluk relatif, diturunkan-Nya rezeki pada kita menjadi hal yang pasti, tetapi dari arah mana; siapa perantara rezeki dari-Nya itu yang tidak pasti. "Apa yang hilang darimu, akan selalu kembali dalam bentuk yang lain." Pengirim posnya sama tetapi tukang posnya beda-beda.
(4) Karena rezeki yang turun itu adalah 'induksi keberadaan', sedangkan Dialah Keberadaan Absolut, maka jadikan diri-Nya tujuan segala-gala kita; lekatkan diri kita atau jual diri kita hanya pada Keberadaan Absolut. Dialah Keberadaan hakiki SWT tempat kita bergantung dan Dialah SWT tujuan kita menuju, selain-Nya hanyalah riak-riak kosong yang perlu dihargai sesuai hakikatnya. Tukang pos, kiriman, dan kita sebagai penerima pos sama-sama keberadaan nisbi dalam kondisi kesalingbergantungan di jejaring rentetan kebergantungan kepada-Nya. "... semua melalui ragam pintu" iya, tapi apa coba yang melalui ragam pintu itu selain 'induksi keberadaan'?; selain biasan diri-Nya sendiri? kenapa kita bergantung dan mencari biasan-Nya, pembawa biasan-Nya dan bukan pada diri-Nya Sang Sumber itu sendiri?

D. Akhirnya ...
So, trauma tercipta karena kita kecewa harapan kita pada sesuatu selain-Nya tidak sesuai yang diharapkan ... dan memang karena selain-Nya (entah itu ibu, ayah, lingkungan, teman-teman, rumah tercinta) notabenenya dalam konteks pemenuh kebutuhan hanyalah tukang pos yang silih berganti datang dan pergi ya jelas pasti mengecewakan. Ingat "... melalui ragam pintu," adakalanya pintu terbuka dan adakalanya pintu tertutup; adakalanya seseorang membahagiakan kita adakalanya seseorang mengecewakan kita. Itulah realita. Kuncinya terima orang-orang itu sebagai biasan cahaya yang kadang redup kadang terang; sebagai pintu yang kadang terbuka kadang tertutup; sebagai tukang pos yang datang silih berganti... jangan lihat orang-orang sebagai sesuatu yang independen, tetapi sebagai perantara. Apa yang diberikannya? pemenuhan kebutuhan ... kebutuhan fisik, emosional, cinta, kognitif, hingga kebutuhan spiritualitas. Dan apalah kebutuhan-kebutuhan ini selain induksi keberadaan? yang dengan terpenuhinya hal tersebut kita makin meng-ada-di-realita. dan bukankah Dialah SWT keberadaan hakiki itu sendiri? Maka makin meng-ada kita di realita, makin dekat kita dengan-Nya. Dan karena hal tersebut maka "dari-Nya, kepada-Nya," maka kenapa kita khawatir rezeki hilang dan kenapa kita khawatir pembawa rezeki itu mengecewakan sedangkan rezeki dan pembawa rezeki itu sendiri adalah biasan diri-Nya? "dari-Nya, kepada-Nya," semua hal pada akhirnya tentang diri-Nya. Jangan bergantung pada makhluk seakan-akan yang kita cari dari kebergantungan itu adalah hal-hal selain diri-Nya (terus ingat bahwa diri-Nya adalah keberadaan absolut dan makhluknya adalah keberadaan relatif. Keduanya sama-sama keberadaan tetapi yang satu matahari dan yang lain adalah cahaya matahari. Kenapa kita bergantung pada cahyaa matahari dan tidak ke mataharinya langsung?). Diri-Nya-lah yang kita cari di segala perilaku kita. Segala jalan yang ditempuh selalu menuju-Nya; dari-Nya bermula, kepada-Nya bergantung, kepada-Nya juga berpulang.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun