Tiba-tiba, ponsel saya bergetar. Nada pesan WhatsApp berbunyi, membuat saya mengalihkan perhatian dari kopi yang baru saja saya seruput. Dengan santai, saya membuka pesan dari nomor yang tidak saya kenal.
“Assalamu’alaikum, ini dengan Pak Junaim?”
Saya membaca pesan itu dengan dahi sedikit berkerut. Saya membalas, “Wa’alaikumsalam, iya betul. Dengan siapa, Pak?”
Pesan balasan datang dengan cepat.
“Saya dari Kejaksaan Muna, ingin mengonfirmasi terkait kasus korupsi desa di salah satu desa di Muna Barat.”
Saya tersentak. Nama kasus itu langsung membangkitkan kenangan yang sudah hampir saya lupakan. Lima tahun lalu, saya pernah menjadi pendamping kabupaten dalam dugaan penyalahgunaan dana desa tahun 2019 di Desa Bero, Kecamatan Tiworo Utara. Saya pikir kasus itu sudah selesai. Tapi ternyata, prosesnya masih berjalan.
Saya melanjutkan membaca pesan.
“Kasus ini sudah masuk tahap persidangan, dan Anda diundang sebagai saksi pada tanggal 15 Januari 2025 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Kendari.”
Saya menarik napas dalam. Kasus ini memang menyita perhatian banyak pihak saat itu. Saya tahu, kehadiran saya sebagai saksi bisa menjadi bagian penting dalam proses hukum yang sedang berlangsung.
Keesokan harinya, pada 15 Januari 2025, tepat pukul 13.00 WITA, saya berangkat menuju pengadilan. Setibanya di sana, saya memarkir mobil di halaman depan, lalu segera menghubungi Jampidsus.
“Assalamu’alaikum, Pak. Saya sudah tiba di pengadilan.”
Beliau langsung mengarahkan saya menuju ruang tunggu di bagian belakang. Di sana, beberapa saksi lain sudah duduk menunggu. Kami berbincang ringan sambil menghabiskan waktu. Dua batang rokok sudah saya habiskan, tetapi belum ada tanda-tanda sidang akan segera dimulai.
Perut saya mulai keroncongan. Waktu sudah hampir setengah dua siang, dan saya belum makan siang. Akhirnya, saya memutuskan pergi ke kantin kecil di dekat ruang sidang.
“Bu, saya pesan mi goreng telur, bisa?” tanya saya kepada pemilik warung.
“Bisa, Mas. Ditunggu sebentar ya,” jawabnya ramah.
Saya duduk menunggu sambil melihat sekeliling. Bau harum mi goreng mulai tercium ketika tiba-tiba terdengar suara panggilan dari dalam pengadilan.
“Para saksi dimohon memasuki ruang sidang.”
Saya terkejut. Mi goreng saya baru saja matang, dan perut saya masih lapar. Dengan terburu-buru, saya mengambil dua suap, membayar makanan itu, lalu bergegas menuju ruang sidang.
Di dalam ruang sidang, saya dan saksi lainnya duduk berhadapan dengan hakim. Ruangan itu terasa begitu formal, dengan suasana yang sedikit menegangkan. Hakim mulai berbicara.
“Apakah Anda semua dalam keadaan sehat?”
“Sehat, Yang Mulia,” jawab kami serentak.
“Apakah Anda siap disumpah?”
“Siap,” jawab kami dengan tegas.
Setelah pengambilan sumpah, hakim mulai mengajukan pertanyaan terkait kasus tersebut. Saya menjawab dengan jujur dan sesuai dengan apa yang saya ketahui. Satu per satu saksi memberikan keterangannya. Waktu terus berlalu tanpa terasa.
Akhirnya, pukul 17.30 WITA, sidang pun selesai. Saya keluar dari ruang sidang dengan perasaan lega. Kasus ini memang belum selesai sepenuhnya, tetapi saya berharap keadilan akan ditegakkan.
Saat berjalan menuju mobil, saya menarik napas panjang dan berkata dalam hati, “Semoga kasus korupsi di desa-desa tidak terulang lagi. Semoga para kepala desa lebih transparan dalam menjalankan tugasnya agar tidak terjerat masalah hukum.”
Dengan pikiran penuh harapan, saya menyalakan mesin mobil dan melaju pulang, meninggalkan gedung pengadilan dengan harapan bahwa keadilan benar-benar akan ditegakkan.