Mohon tunggu...
KOMENTAR
Diary Pilihan

Kasus Kanti dan Pilunya Hidup Seorang Ibu

22 Maret 2022   14:20 Diperbarui: 22 Maret 2022   14:28 2939 14
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.... assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh..." Lirih Kanti menyelesaikan raka'at terakhir sholat subuhnya. Selepas mengusap wajah dengan kedua tangannya ia lalu berdoa. Tatapannya parau, wajah putih yang ia miliki tidak mampu menutupi hitam kalut yang menggelayuti jiwa dan perasaannya. Sambil terisak, dalam lantunan doa-doa fajarnya ia memohon ampun kepada Tuhan sang pemilik semesta. Ia meminta ampun seolah-olah ia baru saja melakukan dosa yang sangat besar. Namun, ternyata bukan itu, ia meminta ampun untuk dosa yang baru ingin dia lakukan.

Langit di luar masih gelap, sayup-sayup suara ayam sudah mulai terdengar menandakan waktu fajar akan segera datang. Masih dengan setelan hitam yang ia kenakan, Kanti memandangi wajah ketiga anaknya yang masih tertidur lelap. Yang paling besar berusia 10 tahun, yang ke dua 7 tahun dan yang terakhir laki-laki berusia 4 tahun. Ia datangi perlahan ketiga anaknya tersebut sambil membawa sebilah pisau cutter yang ia ambil dari rak peralatan sekolah anaknya. Subuh itu, ia mendapatkan bisikan ghaib untuk menyelamatkan anak-anaknya dari penderitaan yang mungkin akan mereka rasakan jika tetap hidup di dunia. Iya benar, Kanti berencana membunuh ketiga anaknya tersebut.

Mata yang tadinya sendu kini berubah menghitam dan kosong. Sambil kesetanan ia mulai menempelkan bilah cutter tersebut ke leher anaknya yang nomor dua, sang anak berontak namun cengkaram tangan sang ibu tak kuasa ia lawan, darah segarpun mulai mengalir dari leher kurus bertubuh kecil membasahi alas tidurnya. Jilbab hitam kanti yang barusan ia pakai untuk sholatpun bersimbah darah. Perlahan gerak sang anak yang baru saja ia gorok melambat, darah yang tadinya memenuhi pembuluh kini sudah tertumpah keluar. Tak lama sang anak pun wafat, meneruskan tidurnya untuk selamanya.

Selesai menghabisi nyawa anak keduanya, Kanti kemudian beralih ke anaknya yang paling kecil. Dengan memegang pisau cutter yang masih bersimbah darah ia mendekati sang anak lelaki yang tengah tertidur itu, baru saja Kanti menyayat leher halus nan mungil anaknya tersebut sang kakak tertua merasakan gerakan yang dilakukan ibunya, anak pertama yang berusia 10 tahun pun terbangun, ia berlari ketakutan sambil berteriak namun malang tak dapat ditolak. Anak tertua itu pun ikut terluka di bagian dada.

Beruntung Novi tetangga dekat yang juga masih satu keluarga dengan Kanti mendengar teriakan sang anak pertama, bersama tetangga lain ia pun mendatangi rumah Kanti lalu mendobrak pintu kamarnya. Dan betapa kagetnya tetangganya ketika itu, mereka mendapati sesosok tubuh kecil bersimbah darah di tempat tidur. Sementara kedua anaknya yang lain sedang menangis ketakutan melihat sang ibu yang kalap memegang sebilah pisau cutter. Warga pun segera menyelamatkan kedua anak Kanti yang masih selamat dan membawa mereka ke Rumah Sakit Aminah Bumi Ayu. Sementara Kanti langsung diamankan oleh warga, tak berapa lama iya pun dijemput pihak kepolisian. Pagi itu, Desa Tonjong, Kecamatan Brebes, Brebes-Jawa Tengah mendadak gempar.

Wanita bernama lengkap Kanti Utami tersebut kini harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di balik jeruji besi. Wanita berusia 35 tahun itu dikenal oleh tetangga-tetangganya sebagai pribadi yang tertutup dan jarang mengobrol. Ia tinggal bersama ketiga anaknya, sementara sang suami mencari nafkah di Kota Jakarta. Menurut keterangan salah seorang netizen yang pernah menjadi teman semasa sekolahnya, Kanti dikenal sebagai pribadi yang halus dan religius. Ia (Kanti) diketahui sering melaksanakan ibadah-ibadah sunnah ketika di sekolah.

Saat diwawancarai oleh polisi, tak tampak raut wajah penyesalan dari Kanti setelah melakukan perbuatan sadisnya tersebut. Ia beralasan melakukan tersebut karna kasih sayangnya kepada ketiga anaknya, sayang karna khawatir ketiganya akan hidup sengsara sebagaimana yang dia alami. Belakangan diketahui bahwa ibu tiga anak itu terkena depresi akibat keterbatasan ekonomi, iya menggantungkan hidup dari penghasilan suaminya yang tidak menentu. Ia sempat menjadi perias pengantin, namun karna pandemi covid ia pun diberhentikan 6 bulan yang lalu. Selain itu karna terpisah jarak, ia merasa sendiri mengurusi ketiga anaknya tersebut tanpa kasih sayang dari suami. Kanti juga memiliki trauma akan cacian dan hinaan yang biasa ia dapatkan dari suami dan ayah mertuanya.

Peristiwa Kanti memukul telak rasa kemanusiaan kita semua. Ternyata di tengah gegap gempitanya perhelatan MotoGP Mandalika yang menghabiskan dana triliunan, di belahan lain ada seorang ibu tiga anak yang ingin menghabisi nyawa anak-anaknya disebabkan salah satunya karena himpitan ekonomi. Di samping ekonomi, kondisi traumatis psikologi Kanti menjadi penyebab utama peristiwa tragis tersebut.

Baru tadi pagi saya mendapatkan cerita tentang peristiwa ini dari istri saya tercinta, mendengar korbannya adalah anak-anak, seketika saya terbayang wajah Maryam dan Shanum. Kedua anak perempuan saya yang kini menjadi permata hidup kami. Tapi dalam tulisan ini saya tidak ingin menghakimi siapapun, sekalipun itu Kanti. Meskipun apapun alasannya membunuh bukanlah perbuatan yang dibenarkan, baik secara hukum positif terlebih lagi hukum agama. Bahkan menurut Islam, membunuh satu nyawa manusia tanpa alasan yang dibenarkan, sama saja dengan membunuh seluruh manusia.

Sempat ingin ikut mencaci, namun saya putuskan untuk instrospeksi diri ke dalam diri saya sendiri. Sudahkah saya menjadi suami yang baik bagi ibu dari anak-anak saya? Sudahkah saya memperhatikan istri saya dengan sebaik-baiknya perhatian agar ia tidak merasa sendirian dalam mengurusi buah hati kami. Dan sudahkah saya bisa menghapus trauma buruk yang mungkin pernah dia alami dalam kehidupan kecilnya?

Menjadi seorang istri terlebih lagi seorang ibu bukanlah hal yang mudah. Ketika masih sendiri mungkin ia bisa mengekspresikan dirinya dengan bebas, namun ketika predikat ibu sudah melekat di dirinya, kebebasan itu pun musnah. Banyak yang akan ia pertimbangkan jika ingin melakukan sesuatu. Entah itu suami, anak atau kapasitas ekonomi. Istri saya pernah bilang, bahagianya rumah tangga tergantung pada bahagianya istri, tenangnya keluarga tergantung pada ketenangan istri. Cerianya anak-anak tergantung pada keceriaan jiwa si ibu. Jika di awal pagi sang ayah sudah membuat dongkol ibu, maka bisa dipastikan selama satu harian itu anak-anak akan menjadi sasaran empuk kekesalan sang ibu.

Menjadi ibu itu tidak mudah, karenanya kebahagiaanmu di syurga melekat di kedua telapak kakinya. Menjadi ibu itu tidaklah mudah, karenanya ia diutamakan 3 kali lebih banyak dibanding sang ayah.  "Ibumu, ibumu, ibumu, baru ayahmu.." demikian kata Rasulullah Saw. Namun, selalu ada jalan keluar untuk para ibu yang sedang gundah gulana, laksana Maryam yang dihujat karna kehadiran isa yang tanpa ayah. Maryam mencurahkan kegundahannya kepada Rabb sang pemilik segala. Rabb yang sehari-harinya di dalam mihrab ia sapa.

Teruntuk para suami cintailah istrimu, terlebih jika ia telah menjadi seorang ibu. Karena semenjak akad diucapkan dan qobul dilontarkan seketika itu juga ia telah menjadi tanggung jawabmu. Bahagianya menjadi bahagimu dan kegundahannya menjadi gundahanmu. Laksana Rasulullah yang mengajak Aisyah lomba berlari demi mencandainya atau Laksana Ali Ra yang ikut membantu pekerjaan rumah Fatimah Ra karena tidak adanya khadimah.

InsyaAllah jika iman melekat erat di hati serta pasangan, keluarga, sahabat dan lingkungan yang memberikan perhatian lebih. Tidak akan adalagi kanti-kanti lainnya yang tak tau harus bagaimana menghadapi hidup, harus kemana mengadukan perasaan yang redup. Wallahu'alam


Kurniadi Sudrajat
(Anggota Agupena DKI/Guru SD)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun