Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

Menakar Eksistensi Gerakan Literasi Nasional di Era Post Truth

16 Maret 2022   13:22 Diperbarui: 16 Maret 2022   13:28 315 4
Foto tersebut saya ambil saat saya berada di kapal feri dalam perjalanan pulang dari pulau Lombok menuju ke Bali. Ketika itu kapal dalam kondisi tidak terlalu penuh, banyak kursi kosong di bagian penumpang sebelah dalam. Saya dan istri yang ketika itu tengah hamil anak pertama duduk tepat di pinggir sebelah kanan. Di depan kami nampak seorang pria paruh baya dengan tas ransel besar khas seorang backpacker. Di tas yang terlihat sedikit kumal itu tertempel logo bendera Belanda, saya lalu berkesimpulan bahwa beliau berasal dari negara tersebut.

Sejak awal saya temui di kapal pria paruh baya dengan rambut bule tersebut sedang memegang sebuah buku tebal berbahasa Inggris, dari kejauhan nampaknya buku non fiksi. Dengan asyik ia membaca novel itu seolah-olah sedang berselancar di lautan huruf-huruf yang saya tidak paham apa isinya. Sungguh sangat jarang saya jumpai pemandangan seperti itu. Pria paruh baya yang tertidur miring dengan buku tebal yang ia baca di tangannya. Sambil menikmati pemandangan laut selat Lombok sesekali saya mencuri lirik ke pria tersebut, dan ia masih tetap dengan posisinya membaca buku seakan tidak peduli apa yang terjadi di sekitarnya.

Suasana seperti itu sangat jarang saya temui di kota saya tinggal, dan mungkin juga di beberapa wilayah Indonesia lainnya. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa tingkat literasi masyarakat kita amatlah rendah. Hasil penelitian yang diselenggarakan oleh Center Connecticut University tahun 2016 menempatkan Indonesia pada urutan ke 60 dari 61 negara dalam hal penguasaan literasi. Tidak lebih baik dari penelitian sebelumnya, hasil PISA 2015 juga menempatkan Indonesia pada urutan ke 62 dari 70 negara. Mencermati kondisi literasi yang sedemikian, kementerian pendidikan dan kebudayaan kemudian mencanangkan Gerakan Literasi Nasional sejak tahun 2016. (Peta Jalan GLN)

_Geliat Gerakan Literasi Nasional_
Dalam Peta Jalan GLN dijelaskan bahwa Gerakan Literasi Nasional merupakan salah satu program prioritas dalam rangka mendukung arah dan kebijakan pembangunan pendidikan dan kebudayaan. Dengan merujuk aturan perundang-undangan yang berlaku, GLN dilaksanakan sebagai upaya meningkatkan daya saing bangsa melalui penguatan ekosistem pendidikan. Hal ini sejalan dengan
visi Kemendikbud untuk membentuk insan dan ekosistem pendidikan dan kebudayaan yang berkarakter dengan dilandasi semangat gotong royong.

Pada awalnya gerakan literasi di Indonesia hanya difokuskan pada pemberantasan buta aksara saja. Tahun 2015 prosentase masyarakat Indonesia yang masih buta aksara turun menjadi 3,56% dari 7% pada tahun 2007. Hal tersebut membuat pemerintah melebarkan fokus gerakan literasi dengan menerbitkan Permendikbud tahun 2015 tentang penumbuhan budi pekerti. Fokus gerakan literasi pun dialihkan pada proses pengajaran. Hingga akhirnya setahun setelah itu diresmikan lah Gerakan Literasi Nasional.

Tahun pertama GLN dicanangkan, upaya sosialisasi dilakukan Kemendikbud hingga kepelosok daerah. Pokja literasi pun dibentuk di wilayah-wilayah yang telah tersosialisasikan. Perlu diketahui bahwa ruang lingkup GLN terdiri dari tiga ranah yaitu; Masyarakat, Sekolah dan Keluarga. Ketiganya adalah elemen penting sebuah bangsa, rendahnya literasi pada salah satu elemen tersebut akan sangat berpengaruh dalam kehidupan berbangsa. Apalagi jika ketiganya. Padahal bangsa Indonesia mayoritas berpenduduk muslim, agama terbesar kedua di dunia yang memiliki kitab suci Al-Qur'an dengan "Iqro" sebagai ayat yang pertama kali turun.

Enam tahun sudah sejak pertama kali GLN diresmikan, namun belum jua menampakkan hasil yang signifikan. Kita sadari menumbuhkan sebuah budaya baru (budaya literasi) dalam masyarakat yang telah nyaman dengan budaya sebelumnya bukanlah hal yang mudah. Tantangan menjadi semakin berat karena saat ini dunia sudah bergeser ke era Post Truth.

_Apa itu era Post Truth?_
Awalnya istilah post truth digunakan di dunia perpolitikan saat musim perebutan kekuasaan atau pemilu, makanya dikenal dengan post truth politics. Pada saat itu masing-masing kandidat berusaha menjatuhkan lawan politiknya dengan isu-isu tertentu agar elektabilitasnya berkurang. Adalah Steve Tesich, seorang pria keturunan Amerika-Serbia yang pertama kali mengenalkan istilah post truth dalam tulisannya di harian The National.

Tulisan tersebut menggambarkan kerisauannya pada fenomena post truth, dimana opini publik dibentuk dengan cara mengesampingkan atau mendegradasi fakta dan data sebenarnya. Dengan kata lain, masyarakat justru mencari pembenaran daripada kebenaran itu sendiri. Belakang istilah post truth menjadi semakin populer, sampai-sampai pada tahun 2016 menjadi "word of the year" dalam Oxford Dictionary.

Pada era post truth ini objektivitas sebuah fakta belum tentu bisa membentuk opini publik dibandingkan dengan emosi dan keyakinan pribadi. Sehingga terjadilah pergeseran sosial yang signifikan yang melibatkan media mainstream dan para pembuat opini. Tantangan gerakan literasi juga semakin bertambah saat  maraknya penggunaan media sosial di masyarakat. Media mainstream yang dahulu menjadi salah satu sumber yang objektif, kini tereduksi perannya akibat hadirnya social media. Batas antara kebenaran dan kebohongan menjadi semakin samar, fakta dan hoax pun semakin sulit dibedakan. Tak bisa dipungkiri bahkan media mainstream terkadang jatuh termakan atau malah menjadi produsen hoax tersebut.

Fakta-fakta tersebut seharusnya menjadi cambuk bagi pemerintah untuk semakin serius dan totalitas dalam menggalakkan gerakan literasi di masyarakat dan keluarga, bukan hanya di sekolah saja. Karna ketiga ranah tersebut tentunya saling berhubungan. Dengan demikian masyarakat kita baru akan siap bertransformasi menjadi masyarakat 5.0.

Fenomena post truth tidak saja menghasilkan produk berupa fake news dan hoax, namun juga produsennya yaitu apa yang kita kenal dengan Buzzer atau pendengung. Istilah buzzer awalnya marak dipakai di ranah politik yaitu saat terjadinya pilkada DKI. Namun ternyata, setelah gelaran politik tersebut berakhir, profesi sebagai buzzer justru malah semakin ramai dibicarakan. Buzzer yang dulunya hanya menyentuh ranah politik, kini beralih ke isu-isu sosial bahkan agama. Akibatnya masyarakat yang belum paham mengenai literasi digital, yang menjadi korban pembelahan para buzzer. Terciptalah istilah cebong, kampret, kardun, dan lain-lain.

Alih-alih menekan laju pergerakan para buzzer, pemerintah justru disinyalir memanfaatkan jasa buzzer untuk melawan pihak-pihak yang kritis terhadap kebijakan rezim. Tak tanggung-tanggung pemerintah juga mengucurkan dana yang cukup besar untuk membiayai aktivitas digitalnya. Tahun lalu Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan anggaran senilai 90,4 milyar yang mengalir kepada para Influencer guna mempromosikan kebijakan pemerintah selama tujuh tahun terakhir.

Mencermati fakta tersebut jelas sekali bahwa tantangan Gerakan Literasi Nasional ternyata bukan hanya dari pihak eksternal saja, tetapi juga dari pihak penyelenggara GLN itu sendiri yang memanfaatkan era post truth demi memuluskan kekuasaannya. Tantangan yang semakin besar, ditambah dengan perhatian pemerintah serta masyarakat yang rendah jelas akan mengancam eksistensi GLN kedepannya. Namun, selalu ada secercah cahaya di tengah kegelapan malam. Semangat literasi justru kini mulai tumbuh dan berkecambah di jiwa para pemuda, mereka membuat taman-taman baca bagi anak-anak yang memiliki keterbatasan akses bahan-bahan bacaan. Semangat itu memancar dari wilayah yang jauh dari ibukota.

Kurniadi Sudrajat
(Anggota Agupena DKI/Guru SD)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun