Upacara bendera di sekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintah. Lomba-lomba khas tujuh belasan seperti panjat pinang, balap karung, tarik tambang, balap kelereng, balap bakiak, makan kerupuk, memasukkan pensil atau paku ke botol, memindahkan belut, memecahkan balon, membawa kelereng di sendok, dari pelosok kampung hingga cluster perumahan elit. Hal yang sering kita saksikan berulang setiap tahun tersebut, kemungkinan besar di tahun ini kita akan sulit mendapatinya.
Bayangkan kemungkinan diselenggarakan lomba-lomba ini meski tanpa penonton fisik sekalipun (ya, kayak pertandingan sepakbola sekarang, diselenggarakan tanpa penonton langsung di stadion). Jadi warga dipersilakan menontonnya di kanal social-media yang dipersiapkan panitia.
Panjat pinang, jelas lomba yang bukan hanya memancing kerumunan, para pesertanya sendiri adalah kerumunan. Mau panjat pinang pakai masker pun tidak bakal diijinkan. Selain itu tentu geli, membayangkan orang panjat pinang pakai masker, karena saat panjat pinang, jangankan masker, celana pun beresiko bisa melorot......
Lomba tarik tambang. Lomba ini sejak awal sudah melanggar prinsip physical distancing. Kerumunan orang di masing-masing sisi tambang. Selain itu membayangkan orang-orang bermasker mengeluarkan segenap tenaga untuk menarik tambang, bisa sampai ketelan itu maskernya....
Lomba balap bakiak. Nah, ini juga sejak awal melanggar prinsip physical distancing. Tiga sampai empat orang berbaris rapat dalam bakiak yang dipaku menempel ketat.
Bagaimana dengan lomba balap karung? Kayaknya masih mungkin menerapkan prinsip physical distancing, jarak antar peserta dibikin jauh. Dan tiap peserta harus membawa karungnya sendiri-sendiri. Cuma para peserta pasti akan ngos-ngosan banget, kalau mengenakan masker sambil lompat-lompat. Mungkin cuma pocong yang bisa lompat-lompat tanpa pengap meski tertutup rapat.
Lomba makan kerupuk. Ini jelas jenis lomba yang tidak bakal diijinkan, sekalipun tiap peserta membawa kerupuknya sendiri-sendiri. Sekalipun jarak antar peserta dibikin sejauh mungkin. Bayangkan mereka harus mangap-mangap di ruang publik dalam waktu lama, tentu sangat beresiko terpapar droplet dan micro droplet. Kecuali bila setiap peserta memakan kerupuknya di rumah masing-masing. Permasalahannya adalah standarisasi ukuran kerupuk.
Lomba membawa kelereng di sendok. Sekalipun tiap peserta membawa kelereng dan sendoknya sendiri juga tidak bakal diijinkan. Karena peserta tidak mungkin mengenakan masker.
Lomba memecahkan balon. Nah, ini lomba yang berbahaya, terlepas apakah balon akan dipecahkan dengan jarum, atau dengan dempetan perut. Siapapun yang akan meniup balon mesti menjalani tes swab terlebih dulu.
Lomba memindahkan belut. Masih mungkin dilakukan dengan menjaga jarak antar peserta dan menggunakan masker. Cuma sepertinya para peserta akan kesulitan untuk mempersiapkan belut dan botol sendiri-sendiri.
Lomba memasukkan pensil atau paku ke botol. Masih mungkin dilakukan, dengan menjaga jarak, mengenakan masker, dan setiap peserta mesti membawa pensil, paku, dan botolnya sendiri.
Tradisi tirakatan sebagai rangkaian kegiatan peringatan tujuhbelasan, masih banyak diadakan di kampung-kampung dan dusun-dusun. Tetapi pada masa pandemi kali ini, sepertinya akan banyak yang meniadakannya. Atau mereka melakukan inovasi, di mana warga cukup menyaksikannya secara online. Tirakatan online. Tentu saja, teh dan kopinya bikin sendiri-sendiri di rumah masing-masing.
Lalu bagaimana dengan upacara bendera di istana negara nanti? Masih adakah para undangan teladan berprestasi? Masih adakah perwakilan negara sahabat? Masih adakah paduan suara? Mungkinkah paduan suara bermasker? Bagaimana paduan suara menerapkan protokol kesehatan? Menerapkan physical distancing?
Masih adakah mereka yang mengenakan pakaian adat? Yang mengenakan blangkon, mengenakan masker. Yang mengenakan mahkota, mengenakan masker. Yang mengenakan koteka, mengenakan masker.
Tapi yang pasti kita masih mungkin ditemani dengan film-film khas tujuh belasan. Dulu kami menyebutnya film-film pitulasan. Jangan salah sangka, bukan film-film tujuh belas tahun ke atas khusus dewasa, tetapi film-film yang sering menjadi "pelanggan tetap" di layar kaca setiap perayaan tujuh belasan.
Janur Kuning, Kereta Api Terakhir, Serangan Fajar, Nagabonar, Perawan di Sektor Selatan, tapi yang paling berkesan bagiku tetaplah suara teriakan melengking dari anak kecil bernama Temon, "Pakeeeeeee ..........." Mungkin karena generasiku adalah Generasi Temon...
Gapura kampung dan desa yang dicat lagi. Kadang berhias umbul-umbul. Jalan-jalan kampung dihiasi bendera-bendera kecil. Kadang juga lampu-lampu kecil. Memang dalam situasi pandemi sekalipun, hal tersebut tidak melanggar protokol kesehatan. Tetapi, saat ini kita bisa melakukan penghematan, atau mengalihkan untuk hal yang lebih penting.
Kalau acara pawai dan karnaval tujuh belasan, memang selayaknya ditiadakan dulu. Selain menghindari kerumunan, juga perlu sadar diri kita sedang dalam situasi yang kurang kondusif, yang lebih memerlukan perhatian kita.
Kita mungkin sudah lama merdeka, tetapi pandemi ini mengingatkan kita bahwa sebuah kemerdekaan perlu diikuti tanggung jawab.