Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi Pilihan

Senja di Tepi Laut

18 Juli 2020   15:06 Diperbarui: 18 Juli 2020   14:54 97 13
Dalam sepasang earphones. Teriakan melodi menyayat-nyayat, mengabsen semua rasa sakit dan menelisik setiap perih. Ditambah rintik gerimis pertengahan Juli berjibaku melumatkan kalbu yang bersepai. Ada darah yang terasa merembes di tiap inci hati.

"Aaakkkhhh ...!" Ibarat hukum Archimedes, teriakan itu keluar seberat tekanan beban yang jatuh di palung batinnya.

Tatapan nyalang seakan tengah menantang debur ombak garang. Tak ada saudara, teman, atau penyokong lainnya. Di belakang wanita itu hanya ada siluet menggelap sepekat nalar dan malam yang pasti datang.

Senja di tepi laut. Seorang perempuan sedang memeluk tubuh nan kalut dengan sepasang tangannya yang sama dijalari kehampaan.

Kehidupan kelam telah mencekam hatinya yang lebam. Ia terlecah pada lumpur sengsara tak kunjung sudah. Di dalam jiwa perempuan itu bersengketa udara dan darah. Jantung pun seakan mati meski belum tiba waktu punah.

Badan itu bak tanpa debaran. Hanya diselimuti kebencian. Nestapa. Ia memendam dendam dalam-dalam. Sayang, marah ia tak mampu, untuk menangis juga tidak sanggup. Saat ini ia serasa hidup di alam bayang, dikejar angan yang menyaru api hingga terlunta-lunta sebab tak tahu tempat sembunyi.

"Matilah! Niscaya kepedihan itu akan pergi. Bukankah karena kau hidup hingga akhirnya merasakan semua derita ini?" Sekonyong-konyong sebuah santiran berdengking sebelah kiri. Mencoba menenggelamkan kesadarannya hingga si gadis mau membunuh diri.

"Jangan!" Setitik nurani sumbang berteriak. Hampir-hampir kalah oleh suara kerisik pasir yang terusik kaki. "Kamu masih memiliki harapan."

"Apa gunanya harapan jika di dunia ini kau tidak memiliki siapa-siapa dan apa-apa. Bukankah tubuh ini sudah kaulacurkan? Satu-satunya yang menurutmu cahaya bernama cinta pun telah berkhianat, dan kau hanya sendirian tak memiliki sahabat atau kerabat. Sudahlah, mati saja!"

"Jangan! Bukankah kamu pernah mendengar nama Tuhan. Pergilah kepada-Nya. Barangkali Ia memiliki kejutan."

"Aku malu ...." Baru kali ini wanita itu berbisik, "Apakah Ia mau menerimaku yang hanya mengingat-Nya ketika di ujung curam?"

"Sungguh tak mungkin, kau sudah terlalu nista!" Santiran itu sepenuhnya mencela. Benar-benar berharap si perempuan putus asa.

"Tidak!" Ia mencengkram kepala, korneanya purna menagih angkasa, "Jika Tuhan hanya tempat mengadu manusia-manusia baik dan terhormat saja. Lantas pada siapa orang hina sepertiku harus mengiba?"

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun