"Marni! Kau apakan kopiku? Pahit tidak, manis pun tidak."
Dan aku dapat menebak bagaimana tanggapan Marni, nyonya itu pasti hanya membulatkan mata tidak peduli, kemudian kembali mencuci pakaian, atau lanjut menanak nasi, dan pada saat itulah Ruhin akan menabok wajah sendiri.
Mereka sudah berumah tangga sepuluh tahun, dan tidak ada tanda-tanda akan pisah meski kerap bermasalah. Marni yang cuek bebek, bersama Ruhin si pemberang. Pasangan tercocok di kampung kami, yang tidak terdistorsi puluhan kabar orang bercerai.
Malah aku masih ingat ucapan Ruhin, saat Parjo menceritakan alasannya pada kami berdua perihal kenapa ia bercerai dengan Limah, padahal Limah itu putri seorang tokoh masyarakat yang terkenal bijak.
"Mantan istriku belum dewasa pikirannya, Kang."
"Salah kau sendiri, Jo. Kenapa tak kau kawini saja bapak Limah yang bijak itu."
Aku hampir terbahak mendengar tanggapan Ruhin, jika saja Parjo tidak mendengus gusar. Untung Ruhin lebih kekar dari Parjo yang kerempeng, jadi Parjo harus berpikir dua kali bila saat itu mau terang-terangan meluapkan marahnya.
Kehidupan Ruhin dan Marni biasa-biasa saja, suami bekerja sebagai penyadap nyiur, dan si istri pengolah nira. Cukup begitu saja.
Nyonya Ruhin itu pernah hamil, tapi nahas harus keguguran pada usia kandungan tiga bulan. Mulai waktu itu, aku tidak pernah mendengar lagi kabar perut Marni melendung.
Sesuatu yang aku kagumi dari Ruhin dan Marni adalah sikap sportif mereka, pasangan itu tidak pernah mengeluhkan urusan rumah tangga ke tetangga, bahkan keluarga mereka.
"Buat apa?" kata Ruhin waktu kutanya, "Aku sudah puas dengan memukul muka sendiri."
Marni pun tidak pernah menuntut suaminya untuk begini begitu, padahal ia kerap dimarahi.
"Memang sifatnya pemarah, toh. Masih untung yang dia marahi istrinya, bukan istri orang lain."
Lagi-lagi, aku hampir tersedak ludah sendiri mendengar penuturan Marni. Membuatku sampai pada suatu kesimpulan, bila selama ini yang membuat hubungan mereka tetap awet adalah sikap mereka itu. Menerima dan mengakui kelemahan masing-masing.
Pagi ini, Ruhin seperti biasa akan berangkat mengambil nira, bokor-bokor kosong sudah berjejal di pundaknya. Marni pun sedang pada rutinitasnya, menyalakan tungku untuk nanti mengolah hasil sadapan suami, sembari wara-wiri mencuci pakaian dan menanak nasi.
Aku menangkap suatu yang janggal kali ini, sebab dari rumah tetangga unik itu tidak terdengar Ruhin yang marah-marah, atau Marni yang masa bodoh. Hari ini, pasangan suami istri itu terlalu normal. Aku sampai bertanya-tanya.
Aku melamun, menerka-nerka apa yang terjadi di antara mereka. Namun, hanya sebentar. Aku segera istigfar, karena merasa sudah terlalu jauh mencampuri kehidupan orang, meski cuma dalam pikiran.
Siang ini matahari begitu kereng seperti Ruhin pada Marni, dan bumi pun terlalu 'bodo amat' laksana Marni menyikapi watak si suami. Aku yang baru pulang dari sawah, langsung duduk melepas lelah.
Ah! Tetanggaku itu, sesiang ini tidak terlihat tanda-tanda kehidupan di rumah mereka. Ke mana dan kenapa? Aku hanya bertanya sendiri, tanpa mau mencari tau.
Aku sempat terlelap di balai-balai, hingga kegaduhan menyadarkan. Pakewuh itu berasal dari rumah depan, tetanggaku Ruhin dan Marni.
"Ada apa, Pak Kyai?"
Pak Kyai yang hendak ke rumah mereka berhenti, lelaki itu menatapku aneh.
"Kau tidak tahu? Ruhin terjatuh dari nyiur."
Tubuhku menegang. Lekas mengikuti tokoh agama di kampung kami itu. Sungguh aku telah melewatkan banyak hal, padahal baru tidur sebentar.
Tubuh Ruhin yang kekar itu terbujur, kaki dan tangan patah. Balutan perban di sana-sini, membuat badan tetanggaku itu hampir menyerupai bentuk mumi. Sungguh, ia masih bernasib baik sebab tidak sampai mati.
"Marni, kalau aku cacat keterusan, sampai tidak bisa berjalan lagi bagaimana? Apakah kau akan meninggalkanku dan kawin lagi dengan lelaki lain?"
Dalam keadaan payah Ruhin bertanya, ia bahkan tidak peduli terhadap tetangga yang sedang berkumpul di rumahnya.
Alih-alih segera menjawab, Marni hanya mesem saja. Jemari wanita itu terus membelai rambut Ruhin, sambil sesekali mengecupi puncak kepala sang suami. Nyonya itu tidak menitikkan air mata, tidak juga berkata-kata. Namun, perlakuannya tersebut sudah membuktikan kedalaman kasih sayang kepada lelaki yang saban hari marah padanya.
"Asal Akang masih dapat memarahiku, jangankan kawin lagi, meninggalkanmu sendiri pun Marni tak mau."
"Aku takut tidak bisa lagi memukul muka sendiri. Jika suatu hari nanti aku marah padamu, tolong tempeleng wajah ini untuk mewakiliku."
09 Mei, 2020. CRG