Nyata tidak banyak partai yang tertarik dengan ide koalisi tanpa syarat ini. Tapi rakyat termakan oleh koalisi tanpa syarat alias tidak bagi-bagi kursi. Buktinya menang Pilpres. Setelah kemenangan diraih, semangat tidak bagi-bagi kursi mengalami ujian. Pembentukan kabinet tidak berlangsung mulus. Waktu yang tersita memang tidak melebihi waktu 20 hari, tapi tetap menguras energi dengan masa penantian. Tapi hasilnya tidak menghasilkan kabinet the dream team. Banyak pihak yang kecewa. Publik kecewa, parpol KIH kecewa, mungkin juga Jokowi-JK menyimpan kekecewaan.
Media memberitakan salah satu pihak yang paling kecewa adalah PDIP. Sebagai pemenang pemilu dan pemilik kader bernama Joko Widodo, mereka hanya mendapatkan 4 kursi kabinet. Jumlah yang sama untuk PKB. Mereka menginginkan lebih, delapan kursi atau paling tidak 6 kursi. Salah satu kadernya, Maruarar Sirait, terdepak pada detik-detik terakhir.
Selesai periode pembentukan kabinet dan lembaga tinggi setingkat kabinet, kini posisi yang diincar adalah setingkat dirjen atau komisaris BUMN. Beberapa instansi dan nama yang mengemuka sebagaimana dimuata dalam (http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/03/20/123100626/Ini.Politisi-Relawan.yang.Jadi.Komisaris.BUMN) antara lain : 1.Bank Mandiri Komisaris Utama: Darmin Nasution (mantan Gubernur Bank Indonesia ) Komisaris Independen: Cahaya Dwi Rembulan Sinaga (kader PDI-P, Tim Transisi Jokowi-JK) 2. Bank BNI Komisaris Utama: Rizal Ramli (mantan menteri perekonomian) Komisaris: Revrisond Baswir (Ekonom dari Universitas Gadjah Mada) Komisaris Independen: Anny Ratnawati (mantan wakil menteri keuangan) 3. Bank BRI Komisaris Utama: Mustafa Abubakar (mantan menteri BUMN) Komisasri Independen: Sonny Keraf (kader PDI-P, mantan Menteri Lingkungan Hidup) 4. Jasa Marga Komisari Utama: Refly Harun (pakar hukum tata negara) 5. Telkom Indonesia Komisaris Utama: Hendri Saparini (Dosen Program Magister UGM) 6. Telkomsel Komisaris: Diaz Hendropriyono (Ketua Umum Koalisi Anak Muda dan Relawan Jokowi)
Bagi saya, penempatan orang-orang/pihak pendukung jabatan setara komisaris BUMN tidak ada yang aneh. Semuanya sah saja. Bukankah politik menganut Siapa Mendapat Apa, Kapan dan Bagaimana? Bukankah politik itu seni mendapatkan apa yang diinginkan? Yang penting prosesnya transparan, penilaian/seleksi objektif sesuai dengan prosedur sehingga menghasilkan orang yang kompeten dan berkarakter.
Satu lagi, mereka “bagi-bagi kursi” setelah menang. Kemenangan harus dijaga dengan menempatkan orang-orang yang bagus pada posisinya. Itu adalah tanggung jawab. Sungguh tidak elok bila, mereka yang bekerja keras, mereka yang mencari, mereka yang paham pekerjaan- menyerahkan urusan itu kepada lawan atau pihak lain!
Tapi patut juga dicatat, kalau mereka berperilaku menyalahgunakan wewenang dan menyimpang, pastinya hukuman yang mereka terima akan berlipat. Sedikitpun indikasi perilaku korupsi tidak boleh dibiarkan. Atau kalau mereka tidak bisa menjaga dan mengembangkan BUMN tersebut dalam periode waktu tertentu, lebih baik mereka legawa menyerahkan jabatannya.
Ahok yang kini menjadi Gubernur DKI Jakarta, terjun ke politik karena kesadaran ingin membantu rakyat miskin. Ia merasa tidak cukup mampu kalau hanya sebagai pengusaha. Berarti Ahok bermaksud menggunakan kekuasaan untuk membangun, untuk membantu, untuk melayani rakyat supaya sejahtera terbebas dari pejabat korup. Hendaknya semangat yang sama terkandung dalam hati sanubari kader parpol, relawan, tim sukses atau siapapun yang menjadi pejabat publik, komisaris dan direksi BUMN.