Sehari sebelum perayaan dua hari besar keagamaan tersebut, media sosial mulai dibanjiri ucapan selamat atas dua peristiwa membahagiakan ini. Pemeluk kedua agama berlomba-lomba untuk mengucapkan selamat tanpa perlu merasa khawatir. Meski secara virtual, tetap tidak mengurangi makna. Harmoni terasa begitu kental, penuh kedamaian dalam masa pandemi ini. Hal baik ini merupakan salah satu "warna" Indonesia yang senantiasa kita rindukan.
Sejatinya, toleransi tidak muncul tiba-tiba di negeri ini. Saya masih ingat betul, semasa saya masih kanak-kanak, keluarga saya sering menerima bingkisan ketupat lengkap dengan lauk-pauknya atau penganan lain khas lebaran dari tetangga sekitar. Saat melihat ada begitu banyak makanan di rumah, kadang-kadang saya merasa bahwa keluarga saya-lah yang sedang berlebaran.
Sebaliknya, saat Natal atau perayaan Tahun Baru tiba, ibu saya juga sering menyuruh saya untuk mengantarkan kue-kue kering atau minuman kepada tetangga. Tradisi saling mengantarkan makanan atau minuman itu kemudian dilanjutkan dengan saling mengunjungi dan mengucapkan selamat pada hari perayaan. Kenangan itu begitu membekas, sulit untuk dilupakan.
Nama saya sendiri mengandung kata "Fitri". Ayah saya yang memberikannya karena saya lahir sehari sebelum lebaran. Beliau berharap, dengan nama itu saya akan selalu mengenang suasana kelahiran saya puluhan tahun yang silam. Mungkin itu pula sebabnya, mengapa saya selalu repot di dapur saat lebaran tiba. Tahun ini, saya juga masih memasak ketupat beserta lauk-pauknya karena sepertinya ada yang kurang jika saya tidak melakukannya.
Jika menilik KBBI, toleransi bermakna sifat atau sikap toleran. Alangkah indahnya jika sikap toleran terus diimplementasikan di negeri yang masyarakatnya majemuk ini. Pasal 29 ayat (2) UUD Negara R.I. Tahun 1945 telah menyebutkan: "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya sendiri-sendiri dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya." Semoga pasal ini selalu mengingatkan kita tentang perlunya penghormatan terhadap pemeluk agama yang berbeda serta adanya jaminan negara atas hal tersebut demi keutuhan NKRI.
Hak beragama merupakan hak asasi yang telah dikukuhkan dalam Pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), pada tanggal 10 Desember 1948. Hak ini merupakan hak paling dasar (basic human rights) dan tidak dapat dikurangi atas nama dan/atau karena alasan apapun (non derogable rights). Pasal 28I ayat (1) UUD Negara R.I. Tahun 1945 juga telah menyebutkan bahwa hak beragama adalah HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Pengakuan terhadap hak beragama kembali ditegaskan dalam Pasal 22 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu: (1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu; dan (2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya dan kepercayaannya itu.
Namun, perlu diingat bahwa HAM juga memiliki pembatasan, tak terkecuali hak beragama. Dalam Pasal 28 J UUD Negara R.I. Tahun 1945 dinyatakan bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Selain itu, dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan UU.