Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Melayani Kaum Elit, Menginjak Rakyat Kecil: Memahami Kiprah Para Pelaku Patronase dalam Politik Klientelis Pasca Reformasi

25 Agustus 2024   17:30 Diperbarui: 25 Agustus 2024   17:33 99 1
Sebagai negara berasaskan nilai-nilai demokrasi, Indonesia telah membuat langkah signifikan dalam evolusi demokrasinya sejak jatuhnya rezim otoriter Soeharto di tahun 1998. Namun, kegigihan politik patronase menimbulkan ancaman signifikan terhadap konsolidasi sistem demokrasinya.

Klientelisme, sebuah praktik di mana para pemimpin politik mendistribusikan sumber daya, bantuan atau peluang dengan imbalan dukungan politik, merusak prinsip-prinsip demokrasi dengan tidak hanya memperkuat kultur korupsi namun juga kolusi dan nepotisme serta melemahkan institusi dan mendistorsi proses politik.

Politik klientelis di Indonesia bukanlah hal baru dan berakar kuat dalam sejarahnya. Selama era Orde Baru di bawah Soeharto, sistem hubungan patron-klien yang kompleks didirikan, dengan presiden sebagai figur pusatnya. Sistem ini memungkinkan Soeharto untuk mempertahankan kendali dengan mendistribusikan sumber daya kepada pendukung setia, menciptakan jaringan tanggungan yang terikat padanya demi kelangsungan hidup dan kesuksesan mereka.

Meskipun Indonesia telah beralih ke sistem yang lebih demokratis, pola perlindungan ini telah bertahan dan berkembang, menembus berbagai tingkat dalam hierarki pemerintahan dan sistem partai politik. Salah satu bahaya klientelisme yang paling terlihat adalah hubungannya yang erat dengan korupsi. Perlindungan (patronase) menciptakan peluang bagi para politisi untuk menyalahgunakan dana publik demi menggalang dukungan politik, baik melalui pembelian suara, nepotisme, atau suap. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun