Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Slamet Berselimut Kabut

19 April 2012   00:35 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:27 346 0

Sejak awal, hujan gerimis menyertai perjalanan saya dan teman-teman menuju basecamp gunung Slamet. Jalur pendakian dari Bambangan menjadi pilihan kami setelah melihat cuaca akhir-akhir ini yang kurang bersahabat. Menurut teman yang sering mendaki gunung Slamet, jalur Bambangan relatif lebih mudah dan aman dibanding jalur-jalur lainnya.

Sore harinya kami sampai di pos lima. Kondisi shelter masih memungkinkan untuk berlindung dari angin dan hujan gerimis yang tidak menentu. Kami pun mendirikan tenda di dalam shelter yang beratapkan seng untuk mengantisipasi jika sengnya ada yang bocor.

Tidak terasa malam pun tiba seolah terburu-buru. Sebagian dari kami mulai memasak dan mempersiapkan makan malam untuk mengisi perut yang sudah keroncongan. Bunyi nesting (tempat masak) dan candaan teman-teman mulai mengalihkan perhatian kami dari suara angin yang masih bertiup kencang. Candaan semakin menjadi-jadi karena salah seorang dari kami berasal dari Jepang yang menggunakan bahasa Inggris ber-nada Jepan, sedangkan bahasa Inggris kami semua pas-pasan, akhirnya komunikasi kami banyak diikuti gerakan beberapa anggota badan lainnya.

Makan malam akhirnya siap, kami pun melahap makanan yang lezat. Salah seorang tiba-tiba bercanda di sela-sela makan malam yang lahap, bahwa apapun makanannya akan terasa sangat nikmat jika perut sudah lapar, lagipula tidak ada pilihan lain selain makan yang kami bawa sendiri, karena di gunung tidak ada supermarket yang menawarkan banyak pilihan hehe..

Selesai makan malam, kami membuat beberapa minuman hangat sesuai selera (teh, kopi, dan susu, bahkan ada yang mencoba semuanya) sambil membicarakan rencana esok harinya. Akhirnya ditarik kesimpulan kalau besok angin masih tetap bertiup kencang dan kalau disertai hujan maka perjalanan ke puncak tidak diteruskan dan kami kembali turun ke basecamp, dengan tetap memperhatikan kondisi fisik. Setelah gelas kami kosong dan rencana esok harinya telah disepakati, kami pun masuk tenda dan beristirahat. Suara angin yang menderu masih setia menemani, ditambah suara seng yang tertiup angin semakin membuat malam terasa menyeramkan.

Jarum jam menunjukkan puku 05.30 pagi, satu-persatu dari kami keluar dari dalam tenda, mencoba berdamai dengan dingin dan godaan hangatnya sleeping bag. Hembusan angin tak jua berubah namun kabar baiknya hujan tidak turun. Dua orang dari kami memutuskan tetap tinggal di pos lima, saya dan beberapa teman lainnya tetap mencoba ke puncak dan mempersiapkan kebutuhan yang diperlukan. Tidak lama kemudian, tiga orang tiba-tiba muncul dan setelah kami bercakap-cakap, ternyata mereka camp di pos tiga, dan juga berniat untuk ke puncak. Kami pun tambah bersemangat untuk melanjutkan perjalanan.

Sekedar mengisi perut dan menambah energi, kami menyantap beberapa buah roti tawar dan biskuit, lalu berlahan meninggalkan pos lima menuju puncak dengan asumsi jika hujan turun, maka kami harus kembali ke camp tanpa ada tawar menawar. Senyap ditengah deru angin, kami tidak banyak bercakap. Pos enam, pos tujuh dan pos delapan kami lewati dengan cepat tanpa banyak beristirahat.

Setelah berkemas, kami berencana melanjutkan ke puncak, tapi harus cepat sebelum cuaca bertambah buruk. Tiba-tiba tiga orang (yang camp di pos tiga) memutuskan untuk tetap di pos sembilan, menunggu cuaca membaik. Dua orang rombongan saya sudah berjalan duluan dan mengira kami semua ikut naik. Yang menunggu saya sarankan turun duluan ke pos lima, karena lebih berbahaya tidak beraktivitas di tengah cuaca dingin tapi mereka bersikeras untuk tetap menunggu.

Dua orang dari kami berjalan duluan sudah tidak kelihatan. Saya dan dua orang lagi menyusul mereka, merayap di bebatuan. Kabut tebal menyelimuti dengan jarak pandang yang hanya beberapa meter. Tidak lama setelah berjalan, angin mulai tidak jelas, bertiup dari berbagai arah dengan kecepatan yang berubah-ubah. Sayup-sayup saya mendengar teriakan dari bawah (pos sembilan) yang memutuskan menunggu menyarankan kami turun bahkan dengan nada memohon (kebetulan yang menunggu lebih muda dari kami yang memilih naik).

Cuaca semakin memburuk, namun patut kami syukuri karena hujan tidak turun, walau demikian saya dan beberapa lainnya memutuskan untuk turun. Tim yang terpecah sangat berbahaya dalam kondisi seperti ini. Satu orang kembali ke pos sembilan, saya dan satu orang lagi mengejar dua orang yang sudah jauh di depan.

Dingin yang menusuk membuat mulut sangat kaku yang dipaksa untuk berteriak, namun teriakan menjadi tidak terlalu berpengaruh ditengah angin kencang. Nafas terasa berat tapi kaki terpaksa melangkah untuk mengejar dua orang yang terlanjur di depan dan tidak mendengarkan teriakan kami. Namun tidak lama kami berhasil melihat dua orang tersebut yang ternyata sedang berlindung di cerukan batu dan menunggu kami. Ternyata mereka mengira kami semua menyusul untuk naik menuju puncak, maklum kabut tebal hanya menyisakan pandangan beberapa meter. Kami pun turun untuk bergabung dengan mereka yang menunggu di pos sembilan. Padahal puncak tinggal beberapa meter kedepan, tapi keselamatan pribadi dan tim jauh lebih penting (berharga).

Tidak berapa lama, makanan yang dimasak oleh teman yang tidak ikut naik sudah tersaji, aromanya yang dari tadi menggoda kini sudah siap disantap bersama-sama. Cuaca mulai membaik, langit sudah nampak cerah. Kami berkemas lalu kembali ke Bambangan, selanjutnya menuju Jogja.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun