...Setiap perjalanan selalu menyisahkan banyak cerita...
“The mountains tell you, quite ruthlessly, who you are, and what you are. Mountaineering is a game where you can’t cheat …, more than that, what’s important is your determination cool nerves, and knowing how to make the right choice”. (Reinhold Messner).
Pernakah anda menonton film Vertical Limit? Film yang diawali dengan cerita tentang sebuah keluarga yang sama-sama menyukai memanjat tebing, namun berakhir tragis dengan kematian sang ayah dan beberapa pemanjat lainnya. Dimana sang ayah sendiri, (Royce Garret) mati ditangan pisau sang anak, (Peter Garret) yang dipaksa oleh ayahnya sendiri untuk memotong tali agar pengaman tali mampu menaham beban sehingga keduanya (Peter Garret dan adiknya Anne) masih bisa bertahan hidup. Pengaman tali tersebut tidak mampu untuk menahan beban mereka semua sehingga harus dikurangi. Untuk menghargai hidup maka sebahagian harus rela mengorbangkan hidupnya.
Sekilas tindakan tersebut tampak berlebihan dan sukar dipercaya, mungkin dianggap hanya terjadi di dunia fiksi. Bagaimana ego pribadi, kerja sama tim dan usaha manusia untuk mempertahankan hidupnya. Bagaimana pengorbanan dan CINTA dimaknai dengan berbagai cara dalam kehidupan. Sebuah cerita yang sukar dipahami.
Seperti cerita nyata berikut ini tentang sebuah pengorbanan dalam tim. Bagaimana mereka mengharga kehidupan, dan melepaskan ego pribadi demi kelompok (tim) sebuah kisah dramatis yang menggugah. Dikutip dari Zona Petualang
Kisah dramatis di bulan Agustus 1953. Beberapa bulan setelah Everest didaki untuk pertama kalinya oleh Edmund Hillary (Selandia Baru) dan Tenzing Norgay (Nepal), sebuah tim Amerika sedang berupaya mencapai puncak kedua tertinggi dunia, K2 (8611 m) yang ketika itu masih perawan. Menjadi yang pertama berdiri di puncak K2 tentu merupakan ambisi tim beranggotakan tujuh orang yang dipimpin oleh Charles Houston itu.
Sampai hari keenam, seluruh aktifitas pendakian masih berlangsung dengan relatif normal. Namun pada hari ketujuh, dalam sebuah pendakian tanpa bantuan tabung oksigen, mereka mulai terperangkap oleh keganasan alam di Abruzzi Ridge pada ketinggian 7620 m. Salah satu anggota tim, Art Gilkey, roboh akibat deep venous thrombosis (pembekuan darah) dan diikuti oleh pulmonary embolism (emboli paru-paru). Menyadari Gilkey akan terbunuh bila tidak segera dibawa turun, mereka lalu membungkusnya dengan sleeping bag dan berusaha menurunkannya melalui tebing batu dan es yang berbahaya di tengah hantaman badai dahsyat K2.
Ketika berusaha menyeberangi (traverse) tumpukan salju, George Irving Bell terpeleset dan menarik Tony Streather yang kemudian menimpa tali yang menghubungkan Charles Houston dan Bob Bates. Bates dan Houston lalu menarik tali yang menghubungkan Dee Molenaar ke Gilkey. Mujurnya, Peter K. Schoening, masih bisa dengan cepat, kuat dan penuh skill menancapkan kapak esnya di salju. Upayanya tersebut berhasil menahan laju jatuh teman-temanya meskipun ia masih tengah melakukan belay terhadap Gilkey dalam upaya traverse ke camp VII.
Sesaat setelah itu seluruh anggota tim yang terjatuh berupaya melakukan scrambling ke atas untuk mencari tempat aman. Namun mereka segera menyadari bahwa Gilkey yang tadinya masih dapat berkontak suara dengan mereka dan berada dalam sleeping bag yang tergantung aman oleh back up 2 buah kapak es, telah menghilang dari dalam sleeping bag nya.
Mereka menduga, Gilkey berupaya mengurangi beban saat hidup kelima kawannya hanya bergantung pada kapak es Schoening yang sedang mem-belay dirinya yang sedang sakit. Ia telah mengorbankan dirinya sendiri untuk menyelamatkan hidup keenam kawannya yang sedang berada dalam bahaya!
Jasad Gilkey ditemukan nanti 40 tahun kemudian di dasar dinding selatan (South Face) K2. Peristiwa ini diceritakan dalam buku K2 — The Savage Mountain yang ditulis oleh dua anggota tim saat itu, Charles Houston, M.D. dan Robert Bates. Kisah tragis yang belakangan dikenal dengan “The Belay” ini menjadi salah satu peristiwa paling terkenal dalam sejarah pendakian gunung. Perhatian tim terhadap Gilkey yang sakit, kecakapan Schoening dalam bertindak dan pengorbanan Gilkey untuk hidup kawan-kawan se-tim-nya, tak pelak lagi, telah menginspirasi banyak orang dalam memahami lebih jauh tentang kepentingan kelompok dikaitkan dengan kepentingan pribadi dalam sebuah tim dan menunjukkan hubungan yang harmonis dari setiap elemen pada tim tersebut.
Sebuah tindakan heroik dalam suatu tim, bagaimana berbuat dan mengambil keputusan dengan cepat dalam usaha untuk menyelamatkan Gilkey ditengah hantaman badai salju, dan bagaimana Gilkey mengorbangkan dirinya demi keselamatan teman-temannya (walaupun hanya dugaan). Semua rela berkorban untuk keselamatan teman-temannya (tim), bagaimana manusia bisa memperluas batas-batas kemampuannya termasuk melampaui batas-batas egonya.
Cerita nyata yang menarik dari perjalanan 58 tahun yang lalu. Tim yang utama dan keselamatanlah yang terpenting. Kehidupan manusia sangatlah berharga, tak bisa diukur dengan apapun apalagi hanya dengan kalkulasi untung rugi (materi) lalu menggadaikan nyawa banyak orang.