“Baso, buatkanlah saya badik yang bagus, berapa pun harganya” ujar puang Nuhing mengutarakan niatnya.
“untuk apa puang?
“tak perlulah kau tahu Baso, buatkan saja”
“saya merasa perlu tahu puang, digunakan untuk apa? Saya tidak mau buatan saya diciptakan untuk melukai apalagi membunuh”
“untuk menjaga diri, karena tidak semua orang baik baso! Paham!! Lalu untuk apa selama ini kau membuat badik? Bukankah semua senjata dibuat untuk membunuh?
“bukankah semua orang baik puang? Cuma terkadang kita berbeda paham. Bukankah itu sesuatu yang indah? Oh ya, badik tidak dibuat untuk membunuh puang, badik adalah sibol kehormatan, untuk menjaga kehormatan, begitulah kira-kira puang”
“iya, ini untuk menjaga kehormatan Baso, sudahlah tidak usah banyak tanya buatkan saja, nanti saya kesini lagi”. Puang Nuhing pun pergi meninggalkan Baso yang masih kebingungan.
Baco tidak habis pikir, kenapa dia begitu bodoh atau berani berdebat dengan puang Nuhing. Siapa yang tak kenal puang Nuhing? Penghulu kampung yang terkenal otoriter dan kejam. Mengapa pula ia tiba-tiba merasa perlu untuk bertanya? Kenapa kesadaran itu muncul yang selama ini tidak pernah ia hiraukan?
Pertanyaan-pertanyaan kembali muncul di benaknya. Kenapa manusia begitu senang dengan badik maupun senjata-senjata lainnya? Bukankah senjata selalu digunakan untuk melukai bahkan membunuh sesamanya manusia?
Kehormatan? Masih adakah yang perlu untuk dipertahankan?masih adakah kehormatan itu? Bagaimanakah yg dimaksud dengan kehormatan, jika korupsi, menjilat, menipu dan membohongi serta hal-hal nista lainnya masih terus dilakukan? Lalu kehormatan apa lagi yang mau dipertahankan?
Sekarang orang ramai-ramai membuat senjata, bom bahkan nuklir. Bom meledak dimana-mana, bahkan dalam bentuk buku. Kenapa sesamanya manusia begitu senang membuat dan menggunakan sesuatu untuk membunuh? Dia tidak bisa membayankan lagi bagaimana jika senjata nuklir yang meledak? PLTN saja yang dibuat dan digunakan untuk kesejahteraan manusia bisa sangat berbahaya, seperti yang dia sering liat di TV.
Tiba-tiba dia merasa sangat bersalah menjadi pembuat badik. Akh, bukankah dia cuma membuat badik, yang tidak seberapa bahayanya dibandingkan senjata lainnya? Pikirnya sedikit membela perasaan bersalahnya. Bukankah badik dulu dibuat untuk menjaga kehormatan? Karena memang dulu orang-orang masih terhormat, dan keamanan belum stabil. Sekarang sudah ada polisi, tentara, yang katanya untuk menjaga rakyat dari ancaman. Lalu kenapa masih saja bom meledak dimana-mana? Ataukah dia harus membuat badik banyak-banyak karena orang-orang akan kembali melindungi dirinya masing-masing? Tentu badiknya akan laris manis. Baco yang tidak sempat sekolah tiba-tiba merasa hampir gila dengan pikirannya. Tapi untuk perlindungan, apakah TUHAN TIDAK CUKUP UNTUK ITU?
Dirumahnya yang besar, puang Nuhing pun tidak habis pikir, kenapa Baco yang tidak berpendidikan itu tiba-tiba berfikir sejauh itu? Mungkinkah karena informasi yang begitu cepat di zaman ini?
Tapi dia kembali merenung kata-kata Baso tadi. Ada benarnya juga pikirnya. Untuk apa harus memesan badik, mau dia apakan? Untuk menakut-nakuti calong saingannya jadi penghulu nantinya, kalau dia punya badik yang sakti buatan khusus dari tangan Baco. Tapi bukankah sekarang sudah ada pistol, AK 45, bom bahkan nuklir yang bisa memusnahkan manusia dari muka bumi ini dengan sekejap? Lalu untuk apa? Untuk merasa unggul dari manusia-manusia lainnya? Tapi bukankah semua juga nantinya akan mati? Termasuk dirinya sendiri.
Kembali pikiran-pikirannya melayang tidak karuan. Tidak ada lagi alasan yang pas, untuk Baso. Kalau dia bertanya lagi, dia akan dapat ganjaran, kalau perlu dengan kekerasan. Dia tidak mau dipecundangi lagi oleh orang yang tidak berpendidikan itu! Bukankah dia penghulu kampung, dialah segalanya dikampung itu, dialah dewa kemauannya wajib dipenuhi. Kata-katanya adalah sabda!
Keberanian Baso menjadi buah bibir di seantero kampung, semua masyarakat memujinya walau dengan diam-diam, takut kena teror dari puang Nuhing. Namun, desas-desus itu semakin menjadi-jadi bahkan kabarnya banyak yang mau mencalonkan Baso jadi penghulu kampung nanti, sekaligus menjadi saingan puang Nuhing. Desas-sesus ini sampai pula ke telinga puan Nuhing, yang tentu semakin menambah kejengkelannya.
Seminggu kemudian puang Nuhing kembali ke rumah Baso untuk mengambil badik pesanannya. Baso pasti telah selesai membuatnya, Baso tidak mungkin berani menolak perintahnya, walaupun dia telah berani mempertanyakan maksudnya, pikir puang Nuhing dengan arogannya. Yang jelas, dia tidak boleh banyak tanya lagi kali ini!
“Baso! Sudahkah kau buat badi pesananku!
“sudah puang” ujar Baso sambil menunduk, dan menyerahkan badik khusus buatannya. Dia tidak berani lagi menatap puang Nuhing, yang matanya sudah memerah. Dia teringat perbuatan konyolnya minggu lalu, walaupun begitu, dia merasa cukup lega telah menumpahkan segala isi hatinya.
“bagus, sini saya lihat” kata puang nuhing sambil mangambil badik itu dengan kasar dari tangan Baso. “ bagus sekali buatanmu Baso, benar-benar sempurna” ucapnya memuji, walau kejengkelan dalam hatinya belum sirna.
“oh ya puang, badik ini buatan saya yang terakhir. Saya tidak akan membuat badik lagi, karena kehormatan itu kini sudah sirna, tolong di simpan baik-baik di bawah kasur, janganlah bawa kemana-mana. Badik itu untuk kehormatan, simbol budaya, tidak digunakan untuk membunuh kecuali jika kamar puang sudah dimasuki oleh orang-orang yang ingin merampas dan membunuh puang, itupun jika terpaksa” ujar Baso bersungguh-sungguh.
Tiba-tiba amarah puang Nuhing memuncak, sebagai orang besar yang berpendidikan, dia tidak terima digurui oleh Baso yang tidak pernah mengenal sekolah, calon saingannya nanti.
“kau banyak bicara Baso! Sahutnya sambil menusukkan badik itu tepat di jantung Baso lalu pergi begitu saja meninggalkan Baso yang terkapar berlumuran darah oleh tikaman badik buatannya sendiri...