Mohon tunggu...
KOMENTAR
Diary Pilihan

Catatan Inspirasi: Melihat Keindahan pada Tiap Ujian-Nya

25 Maret 2023   11:09 Diperbarui: 25 Maret 2023   12:32 156 1


"Tidak apa-apa bu, saya ikhlas diuji seperti ini. Saya ikhlas mempunyai anak yang seperti anak saya."

Itulah kata-kata terindah yang pernah saya dengar dari seorang Ibu yang jelitanya tak pernah saya sangka sebelumnya.

Empat tahun yang lalu. Waktu itu telah lewat pukul 10 pagi. Seorang ibu yang adalah wali dari murid saya, saya ketahui sengaja menunggu kosongnya ruangan kelas ini dari wali murid lain yang juga mengambil raport sama seperti beliau. Ya, hari ini pengambilan raport di madrasah kami. Alhamdulillah hampir tak pernah kurang dari dua jam saya berada dalam kelas selama pengambilan raport. Itu artinya di tiap gelaran pengambilan raport selalu saja ada yang berkenan menunggu untuk sekedar berbincang dengan saya tentang putra-putrinya. Namun kali ini begitu menyentuh ruang kalbu saya sebagai guru.

Duduk dihadapan saya seorang perempuan sederhana dan cantik sekali. Beliau bercerita sambil berurai air mata, tentang putranya, putra yang saat ini sedang diambilkan raportnya. Seorang siswa yang saya ketahui kekurangannya, selain intelegensianya termasuk juga fisiknya hingga saya tak pernah menyangka ternyata ibunya sejelita itu. Dan bukan hanya jelita secara fisik namun kasih sayang dan rasa syukurnya akan putranya itu menunjukkan teramat jelita pula hatinya.

"Saya sangat beruntung bu. Saya bercerai dengan Ayahnya lalu menikah dengan abinya yang sangat menyayangi putra saya itu lebih dari ayahnya sendiri."

"Sering kali anak saya itu bilang ke saya. Aku senang kalau mancing dengan abi."

"Saya sangat tahu apa yang ingin Ibu sampaikan selaku gurunya anak saya. Memang anak saya banyak kekurangannya. Mungkin itu akibat waktu hamilnya dia, saya banyak tekanan."

"Mungkin ibu akan kaget jika saya beritahu kebenaran lain tentang anak saya. Anak saya masih ngompol bu...hu...hu...setiap hari saya membersihkan ompolnya, dan saya jemur kasurnya."

Lalu dengan hati-hati saya coba bertanya kepadanya.

"Bu, menyoal kekurangan putra ibu. Saya sangat mengerti pun paham bagaimana ibu menerima kekurangan itu sebagai anugrah. Itu karena kasih sayang Ibu yang memang luar bisa, namun masih membersihkan ompolnya hingga saat ini dia kelas dua tingkat menengah pertama. Sampai kapan akan seperti itu. Apa tidak seharusnya dicarikan solusinya bu...."

"Tidak apa-apa bu, saya ikhlas diuji seperti ini. Saya ikhlas mempunyai anak yang seperti anak saya."

"Seringkali saya lihat pemuda-pemuda seusia dengan anak saya, membuat rusuh kampung kami dengan tingkah lakunya. Saya bersyukur anak saya bukanlah mereka. Meski saya harus kerepotan setiap harinya karena harus membersihkan ompolnya, itu tak mengapa."

"Abinya begitu sangat menyayanginya padahal dia anak tiri. Dia begitu sangat menyayangi adik-adiknya padahal bukan satu ayah denganya. Itu saja sudah cukup, itu sudah cukup...hu...hu...."

"Kamin rukun, kami baik-baik saja. Itu tanda Allah sangat menyayangi kami. Itu saja sudah cukup."

Setelah berbincang secukupnya mengenai remidi sebagai syarat pengambilan raport, dan si Ibu telah meninggalkan ruangan kelas dan tinggallah saya sendiri disana.

Saya tertegun, melamun beberapa saat, bagaimana bisa beliau melihat keindahan begitu rupa pada ujian yang sedang dijalaninya. Harusnya memang begitu. Itulah rasa syukur. Dan dengan bersyukur bukankah Allah akan menambah nikmatnya. Lalu bagaimana dengan saya, mampukah saya? Mampukah diri saya melihat keindahan pada tiap ujianNya? Begitulah gejolak hati saya yang hingga saat ini masih saya semogakan..

Bangil, 31 Januari 2020

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun