Pandangan masyarakat Jawa terhadap bulan Suro sering dianggap sebagai bulan baik, namun juga sering disebut sebagai bulan yang penuh mara bahaya. Bagi pemilik keris biasanya keris tersebut harus dicuci atau dimandikan dengan air kembang (bunga) lengkap dengan kemenyan, dupa serta ubo rampe yang lain saat malam satu Suro.
Proses pelaksanaan tradisi Suroan ini dilakukan melalui beberapa tahapan atau tata cara yaitu tahap persiapan, pelaksanaan, dan penutup. Kegiatan persiapan yang dilakukan masyarakat diawali dengan adanya penentuan waktu dan tempat pelaksanaan acara Suroan, kemudian musyawarah antar warga dalam pembentukan kepanitian.
Pelaksanaan tradisi Suroan ini dimulai dengan pawai, disana terdapat gunungan yang berisi beranekaragam hasil pertanian seperti tumbengan, sayur dan buah-buahan dengan diiringi rebana dan lantunan syair-syair jawa serta shalawat. kegiatan ini selain bertujuan mempererat silaturahim antar-warga, juga bertujuan mengingatkan umat muslim agar memperbaharui lembaran hidup dengan tingkat keimanan dan ketakwaan yang lebih baik, tidak hanya syiar Islam, pawai ini juga mengusung pesan kepedulian terhadap lingkungan dan sosial.
Pelaksanaan Suoran masih berlanjut pada malam hari. Warga menggelar pengajian, sususan acaranya meliputi pembukaan, istighosah, yasinan, manaqib, tahlil dan zikir, pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur'an dan sholawat Nabi, Sambutan-sambutan, Penutup (Do'a), setelah itu acara genduren bersama hidangan yang selalu wajib ada yaitu “ingkung" yang melambangkan pengorbanan yang tulus dan ucapan terimakasih baik kepada Allah maupun leluhur yang telah memberikan keselamatan dan perlindungan.Â