Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Kepompong

5 Juni 2013   15:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:30 41 0
"Kau dan aku adalah Kepompong,bermetamorfosa menjadi bentuk yang lebih sempurna nan indah dengan cara dan jalan yang telah ditentukan oleh-Nya, hingga kau menjelma menjadi kupu-kupu yang begitu cantik nan anggun tak membumi, sedangkan aku.........? inilah kau dan aku......... tak pernah menjadi kita ."

kau dan aku masih berjalan beiringan , menantang teriknya mentari, menerobos pengapnya kebisingan kota sebelum akhirnya kita menaiki sebuah bus ,ku biarkan kau duduk di kursi yang tertinggal hanya satu itu, karna aku tahu setelah kau dan aku turun dari bis ini kau akan menghadapi hal yang mungkin sulit kau hadapi, aku perkirakan kau butuh banyak energi untuk tetap bisa berpikir dengan cerdas..... cerdas......satu kata yang aku tahu tak pernah ada dalam sejarah pendidikanmu .

Pada akhirnya kau memutuskan jalanmu di sini di sebuah Universitas tempat yang begitu hebat sekaligus angkuh untuk aku jamah, ya... pada akhirnya kau sampai pada titik ini, berdebatan yang panjang antara mamahmu dan diskusi yang hening dengan aku setelah sebelumnya kau mengikutiku menyusuri jalan yang tak sepantasnya untukmu , jalan yang seharusnya aku tempuh sendiri....tapi sampai saat detik inipun setelah kita turun dari bus yang kita tumpangi tadi kau masih mengikutiku, dan aku masih saja sok dewasa sekaligus sok tahu untuk menjadi kakak, sahabat sekaligus penuntun mu, hingga pada saatnya kau yang seharusnya menghadapi semuanya sendirian di dalam sana pun kau tak mampu, kau merengek , kau mengiba padaku hingga aku merasa sok patut untuk menolongmu agar kau bisa benar- benar merangkai masa depan di universitas ini, setidaknya inilah caraku untuk tak membawamu ke jalanku, jalanku sendiri .

" gimana yu' tesnya ?" Anita bertanya setelah aku keluar dari ruang pendaftaran

" itu hanya formalitas ta', mana ada tes masuk universitas hanya ada dirimu seorang di dalam sana , daftar langsung tes " jawabku sok tahu lagi, paling tidak itu membuat Anita sedikit lega .

hari-hari berikutnya aku masih mengantarmu , melakukan registrasi lagi, administrasi lagi begitu seterusnya , aku belum merasa lelah atau jengah hingga akhirnya kau bertanya padaku

" rencana selanjutnya apa yu' ? " aku tersenyum tipis

' rencana ?'  batinku

dan dengan semangatnya, begitu penuh dengan gairah dan tanpa memperdulikan perasaan kau berkata

" bagaimana kalau kau kuliah disini bersama ku, atau kalau tidak di universitas lain juga nggak apa- apa, lagi pula kau kan pintar yu'  "

aku berjalan tak memperdulikannya ,dan aku tahu gairah itupun akan langsung surut dari rona wajahmu  tanpa harus  menatapnya , karna aku tahu kau , bahkan angin yang membawa gerak tubuhmu ke dekatku pun aku tahu

" kau tahu kan ta' aku memang ingin sepertimu, dan kau ingin sepertiku , kau dan aku punya rencana yang sama kerja sambil kuliah tapi ku pikir kau tak perlu bekerja untuk bisa kuliah, kau tak perlu terus mengikutiku menacri lowongan pekerjaan hanya untuk bisa kuliah, kau tak perlu melakukan semua itu , sedangkan aku.............. harus masih melakukannya sendiri " ucapku datar, aku tak ingin menangisi perbedaan itu, aku tak ingin menyesalkan keberuntungan Anita

" tapi setidaknya kau tak harus mengikuti keinginan orangtuamu untuk kuliah di universitas yang tak kau inginkan" bisik Anita

" orangtua......?" aku tersenyum sinis... ada getir di sudut senyum itu...

" maaf...maksudnya kau punya Ayah yang tak harus benar- benar memperdulikan keadaanmu yang sesungguhnya  , dari pada memliki seorang mamah pelacur yang sibuk dengan jampi- jampi dukun untuk membungkam  suami mudanya tapi sok perhatian dengan masa depan anaknya  "sampai disini Anita Menangis, bagaimanapun mungkin menurutnya hidupnyalah yang paling menderita memiliki seorang ibu pelacur yang menikah dengan seorang pejabat tapi tak punya otak ataupun hati selain mirip dengan robot suruhan mamahnya dan sebagai pohon uang , Anita memang selalu menangis untuk kehidupannya tanpa pernah tahu perasaanku, aku yang tak pernah mengenal ibuku, aku yang memiliki seorang ayah yang tak perduli sedikitpun tentang ku,  dan untuk sampai saat ini aku masih mampu meminjamkan bahuku untuk tempatnya menangis entah yang keberapa .Itu terakhir kalinya dia terlihat  begitu lemah sekaligus rapuh untuk terus menangisi kehidupannya .

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun