"Gue ke sini bukan buat nerima penghakiman lo ya, Gi." Dengus Ara kesal sembari kembali menatap layar ponselnya yang sempat terdistrak oleh ujaran Gian. "Lagian lo masak apaan sih dari tadi perasaan gak kelar-kelar. Keburu laper nih, gue."
"Gue masakin lo shrimp scampi with capellini pasta. Sebenernya ini resep baru gue, dan gue pengen lo yang pertama kali nyicipin ini."
"Kalo ga enak nanti gue bikin exposing thread elo di twitter."
"Dih, alay lo. Jadi, kayak apa, Ra?" Gian bertanya dengan suaranya yang sedikit berat, terkekeh. "Jatuh cinta." Ara tak langsung menjawab. Meletakkan ponselnya di meja dan beralih menatap Gian yang masih telaten dengan pekerjaannya.
"Well. Rasanya gak kayak di cerita-cerita roman, di film, atau di puisi. Gak selalu tentang debaran di dada, kupu-kupu di perut, atau getaran anomali lainnya. Gak selalu tentang bunga di musim semi, atau bintang yang berserakan di angkasa, atau sesuatu yang bikin lo ngerasa dunia ini milik berdua. Tapi buat gue, love.....is kind, warm, and happy. It gives me hope. Bikin gue semangat buat bangun tiap pagi, bikin gue senyum-senyum gak jelas, bikin apapun yang gue lakukan jadi punya nilai lebih. Bikin gue mengapresiasi hidup gue lebih baik. Love is happy, it makes me feel safe and wants to live forever."
Gian tersenyum simpul. "Yeah?"
"Yeah." Ara meneguk sodanya yang tersisa setengah. Lalu menatap pantulan wajahnya di gelas kaca. "Gue sama Nino sering berantem. Sama-sama pernah saling nyakitin. But we ended up forgiving each other because love is kind. Kami sama-sama gak perfect, dan mencintai itu gak mudah. Kayak lo akan selalu dihadapkan pilihan yang susah ketimbang yang gampang. Lo harus bisa menjaga hubungan lo walaupun lo capek. Lo harus bisa suportif walaupun kadang rasanya kayak lo lagi ninju tembok. Cinta butuh pengorbanan. I feel it. Itu bikin lo secara sadar gak sadar menempatkan pasangan lo sebelum diri lo sendiri. Tapi semua rasa sakit itu kami lewati bareng-bareng dan bikin kami berusaha buat lebih ngerti satu sama lain. You don't know how to love until you learn how to forgive, dan menurut gue itu valid."
Suara minyak panas serta riuh penggorengan seperti turut menemani perbincangan Gian dan Ara sore itu. "Sayang sama orang itu gak cuma kerasa manis-manisnya doang. Kadang lo bakal ngerasa marah, capek, kesel, tapi dengan segala emosi lo yang membuncah, it still feels right. Pas gue liat Nino bangun tidur, rambutnya berantakan, mukanya bengkak. Pas gue denger suaranya serak di telepon. Pas dia becanda tapi gak lucu sama sekali. Pas dia makan tapi nasinya ke mana-mana bahkan ada yang nempel di bibirnya, he looks so stupid. But he'll always looks good to me. Bola matanya kecoklatan, bulu matanya lentik, senyum idiotnya, lesung pipitnya. Turns out, he's beautiful no matter what. Tiba-tiba gue udah bikin puisi di kepala gue. Kadang gue mikir kayak, I'm so gone for him. Head over heels. Ternyata gue bisa sebucin ini sama seseorang. Kaget juga gue."
Biasanya Gian akan meledeki habis-habisan jika Ara mulai menjadi sosok yang sentimen, seperti saat ini. Namun, Gian lebih memilih melihat Ara larut dalam perasaannya yang cukup dalam. Maka, ia hanya tersenyum. "That Nino guy is phenomenal. Lo seneng banget ya sama dia. Gue jadi ikut seneng. Lo kan susah buat attach sama orang. Tapi lo bisa head over heels gitu sama doi. Lo nemu dia di mana sih?" Gian akhirnya mampu melontar pertanyaan yang cukup mengganggunya sejak awal Ara bercerita.
"Nemunya...." Ara menyesap sisa sodanya sampai habis. "Di caf deket kantor gue. Waktu itu di TV nayangin United vs Arsenal. Tau kan lo gue gak suka banget sama Arsenal. Ternyata kalah dong 0-1. Yaudah gue kesel banget kan, jadi ranting sendiri gue. Eh ternyata dia ada di belakang gue dan fans united juga. Berakhir kita sama-sama bersedih ria. Lo pernah denger gak katanya no bond is stronger than two people who hate the same person. Nah kayanya itu yang terjadi sama gue dan Nino. Abis itu, kita jadi sering ketemu di caf itu karna kantor gue dan dia deket. Awalnya gue biasa aja, dia juga kayanya. Sampe akhirnya kita sama-sama confess. Seneng banget gue ternyata our feeling is mutual. Tadinya gue takut ditolak hahaha."
Dari jarak 2 meter Gian bisa menangkap ekspresi Ara yang sangat cerah, binar matanya dan pipinya bersemu. Sahabatnya ini memang tidak pernah berpacaran. Berpikir untuk dekat dengan lelaki lain selain Gian pun tidak pernah. Bukan karena terlalu cuek atau tidak percaya kekuatan cinta, namun Ara belum memprioritaskan itu. Menurut Gian, Ara adalah orang yang cukup ambisius, passionate, dan keras kepala untuk mencapai apa yang menjadi cita-citanya. Apa yang Ara inginkan harus ia dapatkan. Kadang sifat ini membuat Gian pusing pasalnya Ara siap menerjang opsi terburuk dalam hidupnya dan Gian selalu ada sebagai penarik jika Ara sudah kelewat batas. Dulu, Gian selalu khawatir jika tidak ada laki-laki yang kuat mengurus anak ini. Sekarang, seperti oksigen yang lama tersekat di paru-parunya yang akhirnya dapat menguap.
"Gi, lo tau kan gue anaknya emang ambisius. Gue anak cewek pertama. Dari kecil gue udah jadi pemimpin setidaknya untuk adek-adek gue. Waktu papah meninggal, tanggung jawab gue makin besar di keluarga. Gue jadi makin terbiasa buat jadi pemimpin di mana pun gue berada. Gue selalu bertanggung jawab atas banyak hal. Sampe sekarang bahkan, gue responsible sama bawahan gue. Kadang, rasanya gue pengen ngasih tanggung jawab gue ke orang lain dan gak usah mikir apa-apa lagi. Kadang gue tertekan dan pengen orang lain angkat beban itu dari pundak gue. Then he came, told me I did well. It's like he's telling me that everything's gonna be okay. Akhirnya gue bisa jadi powerless dan ada dia yang kendaliin gue. Ngontrol gue, ngendaliin isi pikiran gue, rasanya ringan."
Gian menahan napas mendengarnya. Ada makna tersirat soal rasa merana yang Ara kubur dalam-dalam dengan superioritas yang fana. "I see. Kayaknya dia emang pantas dapet kepercayaan lo, Ra."
"More than deserve. Gue sama dia udah kaya simbiosis mutualisme." Ara tidak dapat menahan rasanya yang membludak. Ia amat jatuh, dan tak tahu bagaimana cara keluar dari jurang ini. "Gue sayang banget sama dia, Gi. I love talking to him, because when I do, I hear myself."
Gian berani bersumpah seumur hidupnya baru kali ini ia melihat Ara tampak terang. Ada pancaran harapan di sana, kebahagiaan yang rasanya sulit didapat. Untuk itu, Gian dalam hati berdoa agar harapan itu terus bertahan. Cahaya mentari perlahan menghilang. Kedua sahabat itu kini menyantap hasil jerih payah Gian sedari sore.
"Gimana hah?" ucap Gian kala mereka selesai dengan makan malamnya.
"Gimana apanya?" Ara terheran.
"Jadi bikin exposing thread gak?" Gian terkekeh.
"Gak ah, males gue."
"Yoi secara makanan gue enak gini. Hahaha...aww!" Dahi Gian disentil kuat oleh Ara. Melihat Gian meringis kesakitan, Ara tertawa lebar. "Ohiya, Ra."
"Hm?"
"Jadi, 2 hari lagi ya? Nikahnya?"
"Hmm."
"Lo, udah siap, Ra?"
"Gi, gue udah siapin ini dari lama. Harusnya gue siap sih. Well, liat aja ntar. Lo beneran gak bisa datang apa?"
"Ya gimana lagi pas banget harinya sama grand opening resto baru gue. Sorry ya Ra."