Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Perbedaan Pendapat tentang Penetapan Hari Idul Adha (10 Zulhijah 1431 H)

8 November 2010   16:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:46 1445 2
Tahun ini, ulama Islam berbeda pendapat dalam menentukan tanggal 10 Zulhijah 1431 H, sebagai pelaksanaan hari raya Idul Adha. Setelah melaksanakan rukyat bi al-fi'il (observasi secara cermat dan terukur), ulama Nahdhatul ulama (NU) menetapkan idul adha jatuh pada tanggal 17 November 2010, sebagaimana yang tercantum dalam kalender masehi. Sedangkan ulama Muhammadiyah, setelah melakukan hisab (perhitungan), menentukan tanggal 16 November 2010, sebagai hari raya idul adha. Mengenai fenomena perbedaan ini, pesantren IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Sunan Ampel Surabaya mengadakan Kajian Islam Moderat, dengan tema, "Menyikapi perbedaan pendapat tentang metode rukyat dan hisab". Acara ini bekerjasama dengan ketua lajnah falakiyah PBNU, DR. KH. Abd Salam Nawawi, M.Ag, yang dilaksanakan pada hari Senin, 8 November 2010, pukul 19.00 WIB sampai 21.30 WIB. Perbedaan pendapat yang terjadi, secara otomatis, akan mempengaruhi proses pelaksanaan shalat idul adha dan penyembelihan hewan kurban dalam masyarakat di seluruh pelosok Indonesia. Sebagian akan melaksanakan penyembelihan hewan kurban pada hari selasa, 16 November. Sebagian lagi, akan melaksanakan kurban pada hari rabu, 17 November. Tahun 2009 lalu, tidak terjadi perbedaan pendapat mengenai tanggal 10 zulhijah, karena posisi hilal (awal munculnya bulan) terletak di atas ufuk. Sehingga para ulama sepakat tentang penetapan awal bulan Zulhijah. Namun, tahun 2010, terjadi perubahan cuaca yang cukup signifikan, hujan terjadi hampir sepanjang tahun. Ketika para ulama melakukan observasi dan penelitian untuk melihat kemunculan awal bulan, langit dalam keadaan mendung, cuaca tidak menentu, posisi bulan tidak terlihat jelas, sehingga terjadilah perbedaan dalam menetapkan awal bulan. Ulama yang mengamati kemunculan awal bulan ini terhimpun dalam suatu organisasi atau badan yang disebut lajnah falakiyah. Mereka termotivasi untuk mengetahui kepastian awal bulan dalam islam dan mendalami ilmu Falak. Ilmu falak adalah ilmu yang membahas dan mendalami tentang astronomi atau perbintangan. Jadi, mereka memang ahli dalam bidang astronomi dan penentuan awal bulan dalam Islam. Biasanya, mereka melakukan pengamatan dan observasi di tempat-tempat yang tidak ada halangan bagi mereka untuk mengamati objek, yakni bulan, seperti di pantai, gunung, dataran tinggi atau dari menara yang tinggi. Beberapa ulama melihat hilal dari beberapa tempat yang berbeda, kemudian mereka berkumpul untuk mendiskusikan dan menentukan akurasi dari hasil pengamatan masing-masing, ada yang digolongkan akurasi rendah, sedang dan tinggi. Nah, setelah melakukan akurasi, mereka menganalisis, kemudian menyimpulkan sehingga dapat ditentukan hasil kesepakatan antara ulama tersebut. Adapun musyawarah ini berbeda-beda antara Muhammadiyah, NU dan persis. Walaupun ilmunya sama, namun masing-masing kelompok memiliki pandangan yang berbeda-beda dalam menetukan awal bulan. Misalnya, dalam persis terdapat kesepakatan, apabila telah nampak ketinggian bulan minimal 2 derajat, maka sudah dikatakan hilal. Muhammadiyah, asalkan terlihat ada bulan, sudah dikatakan hilal. Sedangkan NU, apabila terlihat bulan sekitar satu derajat saja, sudah dikatakan hilal. Jadi, perbedaan dalam penetuan awal bulan dalam Islam, merupakan suatu yang tidak dapat dipungkiri, karena tidak mungkin semua orang mempunyai pendapat yang sama, pasti ada perbedaannya. Wallahu A'lam

Salam Kompasiana

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun