Senin pagi, Endid diiringi ratusan pelayat, ditandu berjalan kaki menuju TPU Petir tak jauh dari rumahnya. Ratusan personil polisi sudah dikerahkan berjaga di tempat itu sejak hari pertama kejadian.
Di hari kedua pasca kejadian, di rumahnya RT 05/02, tak banyak orang yang berkunjung, hanya beberapa sanak keluarga yang menemani Istri Endid, Nusroniah (42). Ada adik-adik Endid juga ibu kandung Endid, Hj Rohmawati (60).
Ketika saya datang, ia berjilbab hitam dan memakai pakaian lengan panjang cokelat. Wajahnya sudah berseri-seri. Ada tahi lalat menonjol di dagunya. Ia tersenyum, mempersilahkan saya duduk. Dia sudah bersedia bercanda, ketika saya beberapa kali bertanya tentang suaminya. Misalnya soal keromantisan suaminya, yang seorang mantri sunat itu.
“Pak Endid orangnya enggak romantis,” ujar dia sembari menggerakkan tangan untuk menegaskan jawabannya. “Tapi hatinya lembut mas,” dia melanjutkan.
Nusroniah menikah dengan Endid pada 1989. Mereka dikaruinai tiga orang anak. Suaminya itu dikenal supel dan mempunyai solidaritas tinggi dengan kawan-kawannya, bila ada yang meminta bantuan. “Jam 1 atau 2 malam pun dia berangkat kalau ada yang meminta bantuan,” tutur Guru TK Aisyah 75 Cipondoh, Tangerang.
Endid, kata Nusroniah, bukanlah tipe orang yang suka pilih-pilih dalam berkawan. Dengan siapa saja, ia mudah bergaul. Makanya, Endid memiliki relasi tidak hanya masyarakat sipil tapi juga di kalangan polisi juga ada. Bahkan, kata dia, banyak polisi yang kenal dengan suaminya lebih memilih meminta bantuan kepadanya daripada instansinya sendiri. Begitu pula dengan warga-warga sekitar. Endid boleh dibilang memiliki keturunan ‘jawara’ dari ayahnya, Safii Dalih, yang begitu disegani di daerah itu pada zamannya.
JUMAT (28/5) malam, Nusroniah bermimpi, suaminya mendapat ancaman dari orang-orang yang menyeramkan. Barangkali itulah sebuah firasat. “Saya langsung bangun dan istighfar,” ujar dia.
Dia menceritakan tiap Sabtu biasanya Endid selalu keluar rumah, tapi Sabtu (29/5) itu, Endid seharian berada di rumah. Dia mengobrol banyak dengan istrinya, termasuk cicilan sepeda motor dan lainnya.
Minggu (30/5) pagi, merupakan hari yang paling romantis baginya. Endid mengantar dirinya ke Kampus Universitas Muhammadiyah Tangerang, meski tak sampai ditempat, hanya sampai perempatan dekat kampus. Nusroniah sedang mengambil kuliah di jurusan Pendidikan Anak Usia Dini. “Enggak biasanya dia menawarkan diri mengantar, padahal saat itu masih ada tamu. Dia bilang, ‘Gue anterin bini gue dulu ya’, ia menirukan kata-kata suaminya.
Nusroniah tercekat. Matanya berkaca-kaca. Saya ikut terdiam sebentar. Sementara seorang wartawan Media Indonesia dan Radar Banten gantian bertanya. Peristiwa itu adalah pertemuan terakhir.
Hari itu ia pulang menjelang Maghrib, yang ia temui hanya anak nomor dua, Ica, panggilan namanya. Kata anaknya itu, suaminya pergi setelah mendapat telepon. Endid memang tak pernah di rumah selepas Maghrib, ia selalu pergi keluar bersama teman-temannya. Endid biasa bergadang dengan teman-temannya. Meski ia sering melarang perg, tapi Endid tak pernah hirau kata-katanyai. “Ngapain ngurusin urusan orang lain,” kata Nusroniah.
Sehabis Isya, Iqbal, sepupu Nusroniah, datang ke rumahnya. Karena capai, Nusroniah sudah tidur setelah selesai sholat Isya. Iqbal meminta Ica untuk membangunkan ibunya.
“Mpok, encing dimana,” kata Iqbal. Dia sering dipanggilan Mpok dan suaminya sering dipanggil Encing di keluarganya.
“Emangnya kenapa, paling ngurus urusan orang,” kata Nusroniah.
Iqbal kemudian menceritakan, suaminya telah meninggal. Nusroniah tak percaya, ia meminta Iqbal jangan bercanda dan menceritakan apa yang sesungguhnya terjadi. Setelah dijelaskan, ia langsung menjerit sekuatnya dan menangis. Telepon genggam diambilnya dan ia segera menghubungi adik Endid, Neneng. Ia tak menyangka hari itu akan menerima kabar duka. Sebab baru tadi pagi ia merasa suaminya begitu romantis setelah mengantar ke kampus, yang jarang-jarang dilakukan Endid.
Menurut Endang, meninggalnya kakaknya penuh dengan kesimpangsiura dan tidak wajar. Endang berharap pihak polisi segera untuk mencari siapa sebenarnya pembunuh kakaknya.
“Kakak saya mencoba untuk memberikan solusi,” kata dia. “Entah apa, mungkin reaksi spontan, ada yang menikam leher belakangnya dari belakang, tikam dari belakang." Namun begitu, Endang melanjutkan, “Saya punya firasat ada konspirasi dari oknum untuk menghilangkan abang saya."
Pihak polisi sudah meminta keterangan beberapa orang yang dicurigai. Kabarnya, Wahyudi pun sudah menyerahkan diri, tapi sampai saya menulis ini, belum dapat informasi lengkapnya.
Wahyudi sebagai pihak yang diduga bermasalah belum kelihatan batang hidungnya. “Melayat pun belum,” kata Nusroniah. “Saya sangat kecewa dengan Pak Wahyudi. Saya perih,” ujar Nusroniah. Ia meminta aparat hukum untuk segera menyelidiki siapa dalang sebenarnya.
Nusroniah masih curiga dengan pembunuhan itu, meski ia yakin tak ada unsur prasangka etnis. Sebab, suaminya itu bukan orang yang suka mencari masalah. Tiap kali Endid keluar rumah, ia tak pernah putus berdoa demi keselamatan suaminya. Namun demikian, ia harus menerima takdir Tuhan, Minggu sore itu adalah akhir dari tugasnya sebagai ‘jawara’...
Jakarta, 06062010