Derita atau penderitaan bisa terjadi dalam banyak kontek dan kemampuan jiwa kita untuk beradaptasi dengan masa derita tersebut, sangat menentukan hasil akhir dari suatu siklus penderitaan. Banyak keajaiban terjadi dari hasil deraan penderitaannya, banyak orang menjadi pribadi baru, seolah mereka dilahirkan kembali setelah jiwanya diolah, ditempa oleh satu penderitaan.
Tidak sedikit orang yang terbebas dari penyakit berat yang membahayakan jiwanya, berucap “saya berterima kasih atas derita yang pernah dialami, jika tidak mendapatkannya, saya tidak akan menjadi seperti saat ini”nah kita melihat, dasar rasa dari penderitaan tiap orang berbeda akhirnya, belum tentu dua orang dengan penderitaan yang sama, akan berakhir dengan cerita yang sama.
Bobot dari ketabahan dan ketanguhan jiwa kita akan sangat menentukan arti penderitaan tersebut. Ada orang yang merasa sangat menderita, padahal bagi orang lain, ukuran derita yang dialaminya, belum ada 10% dari derita diri yang dialaminya.
Ketabahan adalah suatu imunsistem dari jiwa kita untuk ‘memerangi’ derita yang masuk dalam ruas kehidupan. Imunsistem ini akan bertambah kuat jika orang tersebut hidup dalam lingkup, orang-orang yang mempunyai ‘imunsistem’ bagus.Semangat juang dan ketabahan merupakan ‘serdadu’ dari jiwa kita untuk menetralisir sel-sel derita yang datang dan berkembang menjadi borok mengerogoti hati dan nurani kita.
Hubungan derita dengan kehidupan
Penderitaan banyak sekali hubungannya dengan alam pikiran seseorang, dan trauma-trauma masa lalu yang mengendap pada jiwanya, beberapa kaitan yang di jabarkan Suwardi Tanu dalam bukunya ‘Hidup Tenang berdasarkan DAK’ beliau menjabarkan demikian, Derita atau penderitaan muncul berkaitan dengan Rejeki, kesehatan dan harga diri.
Rasa derita yang muncul karena disebabkan oleh rejeki, umumnya lebih berkaitan dengan fisik, sebaagi contoh sederhana yang banyak bisa kita lihat, penderitaan seorang anak jalanan yang kelaparan dan hidup menderita di bawah kolong jembatan.
Rasa derita yang berkaitan dengan kesehatan, umumnya kita melihat derita penderita kanker stadium akhir, sel-sel tubuh yang memberontak dalam pertahanan hidup sendiri membuat penderitaan yang tiada tara, kesakitan, kerapuhan jiwa dan keputus-asaan menjadi rentetan penderitaan yang dialami.
Rasa derita yang berkait dengan harga diri, umumnya hal ini kita melihat interaksi dan relasi dari sekumpulan orang atau hubungan dua orang saja, seperti contohnya, seorang istri yang dihianati oleh suaminya, jiwannya sangat menderita lebih parah dari fisiknya. Bisa saja secara fisik dia masih berjaya karena seluruh harta yang ada masih menajdi miliknya, tetapi secara kejiwaan ada suatu ‘harga diri’ yang jatuh dalam penderitaan panjang dengan pertanyaan umumnya ‘apa yang salah dengan diri saya, kenapa suami saya berpaling pada perempuan lain?’
Derita adalah hal kompleks dalam suatu siklus kehidupan, semua hal bisa menjadi pemicu penderitaan bagi seseorang atau kelompok, sejarah mencatat bagaimana menderitanya rakyat yang negaranya berperang, bagaimana penderitaan bangsa yahudi dalam tangan kekuasaan Nazi, dan saat ini, kita menyaksikan bagaimana menderitanya rakyat Jepang yang terkena musibah bencana alam super hebat, yaitu gempa dan tsunami, begitu juga para korban bencana di tanah air.
Membicarakan penderitaan masyarakat Jepang, yang ketika jaman perang terkena bom atom, dan saat ini terkena musibah gempa dan tsunami, mereka terkenal sebagai bangsa yang punya ketabahan luar biasa yang dikenal dengan nama ‘Gambaru’ sikap berjuang sampai titik penghabisan, berjuang dengan sepenuh hati dan tiada henti tanpa menyerah.
Penderitaan juga bisa diakibatkan sebagai turunan, dimana orang tua yang mewariskan penyakit keturunan, atau hutang secara turun temurun, tentu saja generasi penerusnya akan menderita dari ulah generasi sebelumnya. Sebagai contoh dari hal ini, bangsa Indonesia mempunyai hutang Negara yang besar, bagaimana setiap bayi yang lahir sebetulnya sudah mewariskan hutang negaranya. Jika hal ini dibiarkan bertambah besar dan tanpa penyelesaian, sudah tentu penderitaan sudah menunggu untuk dialami oleh generasi lanjutan. Secara global penderitaan turunan ini bisa kita lihat dari ‘kerusakan’ alam yang dibuat oleh generasi ke generasi, warisan kerusakkan alam yang parah akan menjadi pederitaan untuk generasi selanjutnya.
Derita turunan akibat penyakit, hal ini sejalan dengan kemajuan teknologi dan ilmu kedokteran yang semakin maju, sudah bisa dicegah jika orang tersebut sudah sadar akan apa warisan pada tubuhnya dan pada anak-anaknya, beberapa orang sudah memantaunya dari mulai mereka berencana memiliki keturunan, saat ini banyak orang berpikiran maju, mereka memilih tidak memiliki anak kandung karena ada reskio penyakit turunan dari gennya, maka mereka melakukan adopsi anak. Contoh lainnya, Banyak orang yang membuang payudaranya, setelah dia yakin mewariskan 50% gen kanker dari ibunya, dia tidak ingin resiko 50% sisanya terjadi padanya, maka sebelum penderitaan sebagai pasien kanker terjadi, dia sudah mencegahnya.
Menyalahkan orang lain
Penderitaan yang sulit dienyahkan dari rasa derita diri adalah rasa yang dianggap pencetusnya adalah akibat ulah orang lain. Banyak orang yang berpikir segala penderitaan mereka adalah disebabkan oleh orang lainnya, akhirnya mereka semakin menderita, bukan saja akibat derita itu sendiri, tetapi bertambah lagi dengan derita akibat dendam dan marah.
Yang paling bagus untuk keluar dari zona rasa derita dan penderitaan ini adalah, balik keadaan, dimana perasaan menderita ini menjadi suatu papan ‘loncatan’ yang membawa kita pada pemikiran sebuah Hikmah.!Pilihan ini sangat mujarab untuk mengurai penderitaan menjadi suatu keberuntungan yang mendatangkan kebahagiaan, Shahnaz Haque, salah satu artis cantik yang mengakui ‘saya beruntung pernah kena kanker ovarium’ (SP 26/4), hikmah sebuah derita, adalah kekuatan hidup yang tidak tergoyahkan.
Jika kita pandang suatu penderitaan dari segi positif, maka sejumlah ahli jiwa menerangkan, semua penyakit berawal dari pikiran negative, jadi jika kita menderita akibat penyakit, satu-satunya jalan keluarlah dari area pikiran negative yang selalu terbentuk di sanubari kita. Jika penderitaan akibat ulah dari orang lain, tepiskanlah pemikiran bahwa kita layak mendapatkannya, kita wajib berjuang untuk memutuskan tali derita yang diikatkan orang lain pada kita, contoh soal jika penderitaan tersebut berasal dari pasangan yang melakukan penganiayaan fisik atau psikis, maka kita juga berhak untuk menyelesaikan penderitaan yang ada, sulit tapi pasti bisa kita selesaikan, pilih dan aturlah cara penyelesaian yang memiliki resiko sekecil mungkin. Karena akibat dari reaksi tentu ada resiko penderitaan lain yang menanti.
Yang menarik adalah penderitaan yang merupakan, penilaian pribadi denagn cara pandang pribadi, contoh soalnya, kita sangat menderita karena merasa pasangan kita bukan jodoh yang sejati, sampai kita berhayal suatu hari akan bertemu dengan belahan jiwa kita. Akhirnya kita menjalani hidup pernikahan dengan perasaan tertekan dan terpaksa. Penderitaan yang diciptakan sendiri, mau terbebas dari penderitaan? Ya diri kita yang akan merubah nasib, bukan ditangan orang lain.
artikel ini tayang pada edisi cetak koran Suara Pembaruan edisi 26 juni 2011
semoga bermanfaat, salam bahagia untuk semua,
LH