Pertiwi adalah perlambang dari kita, manusia yang berasal dari tanah. Tidak ada kemuliaan maupun kebanggaan kecuali ditinggikan oleh Sang Pencipta sebagai penjaga kehidupan. Tumbuhan serta binatang tumbuh dan berkembang di atas tanah yang kotor lagi berdebu. Namun apakah tanah murung dengan kenistaannya? Tidak, justru semua makhluk menghormati dirinya karena ketulusan serta kasih sayangnya yang tak pandang bulu.
Pertiwi memang keras, namun kerasnya adalah pembelajaran. Pertiwi mengajarkan pada kita, kemuliaan datang dari ketaatan dan juga kesetiaan. Taat akan janjinya untuk merawat segala kehidupan dan setia pada jalan hidup yang dipilih. Pertiwi memilih merawat kita sebagai anaknya dan setia menemukan risalah ilahi bernama agama.
Pertiwi selalu menyayangi anaknya, meski ia bukan dari rahimnya. Pertiwi laksana ibu yang menjaga putra putrinya dari mara bahaya, namun kala murka pertiwi memuncak jangan harap mengelak dari amuknya. Pertiwi masih sabar mengingatkan kita dengan tanda, kita sendiri yang jarang mendengarkan.
Ketika gempa dianggap bencana, sejatinya itu tanda bukan murka. Andai itu murka sudah pasti semua binasa tanpa sisa layaknya manusia terdahulu. Manusia yang memuja akalnya akan terpental oleh akalnya sendiri. Tak terima bila segala peradaban yang dibuatnya kalah oleh sentilan ibu pertiwi.
Manusia yang memuja cinta buta pun akan buta melihat realita yang ada. Apabila nafsu telah dianggap kalam pencipta, maka kesesatan yang menuntun dirinya dari cahaya menuju bencana. Yang seharusnya pengingat baginya dianggap laknat bagi lawan mereka. Mereka lupa jika kita tak luput dari nista dunia dan pertiwi mencoba menyucikannya.
Sejatinya agama adalah ayah dan budaya itu ibu kita. Ayah mengajarkan nalar dan tanggung jawab dan ibu memberi cinta dan moral. Keduanya tidak bisa dilepaskan sebab mereka adalah diri kita. Kita tidak bisa lepas dari keduanya sebagaimana jiwa tidak bisa lepas dari raganya. Bila dilepas maka kematian yang ada. Tidak ada yang lebih tinggi, yang ada mana yang harus dibaktikan terlebih dahulu.
Agama membangun keyakinan dan budaya mengokohkan keyakinan. Kala bahasa langit turun ke bumi, maka bahasa yang disampaikan pada manusia harus bahasa bumi. Memang benar kita adalah pemimpin dan penjaga bumi, namun jangan lupa jika kita ini adalah anaknya. Tugas anak adalah berbakti pada orang tua terutama pada ibu. Lalu ayah dan sesama.
Banyak catatan sejarah yang mencatat peran antara manusia, alam, dan agama secara seimbang. Peradaban bangsa mesopotamia, peradaban mauria, peradaban andalusia, maupun peradaban di nusantara pun menjunjung tinggi keselarasan dari tiga peran ini. Bila ayah menekankan hubungan antara manusia dengan pencipta dan sesama, maka ibu pertiwi menambahkan hubungan dengan semesta terjaga selaras dengan yang lain.
Tugas utama kita sudah jelas, hanya tujuan kita yang kadang kala bias. Menganggap percepatan teknologi adalah keniscayaan, tetapi lupa membangun peradaban luhur bernama moral dan religi. Itu pun masih dibenturkan antara moral dan religi supaya tidak padu layaknya lagu penuntun kalbu.
Lagu penuntun kalbu selalu berkumandang di sekitar kita, lagu ketenangan, kedamaian, keindahan, dan kepedulian selalu bergema di semesta ini dengan frekuensi yang lain satu sama lain. Seandainya kita bisa menyesuaikan frekuensi kita dengan alam, maka nyanyian makhluk dan seisinya akan terdengar sebagaimana para pendahulu kita.
Bagaimana mereka tahu akan perjalanan bintang? Bagaimana mereka tahu bila alam akan merayakan panen, bagaimana pula nenek moyang kita dapat memprediksi sebuah pandangan yang khayal di eranya menjadi hal yang wajar di era ini? Semua itu ada campur tangan Ilahi dan batin yang berusaha diterjemahkan melalui budaya manusia. Budaya adalah produk murni manusia yang tidak bisa sirna ditelan bumi. Budaya seperti energi, meskipun dia sirna dari keturunan aslinya namun masih ada yang melestarikannya walaupun dikerjakan oleh orang lain selama esensinya masih terjaga.
Budaya bersifat fleksibel sebagaimana pertiwi yang selalu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Budaya yang bergerak adalah ciri kemajuan. Budaya yang mati adalah sesuatu yang tidak bisa mengikuti tuntutan zaman sebagaimana pemangsa yang mati kelaparan karena buruannya punah dan tidak ada pilihan lain.