*****
No name, buku diary biru itu selalu ada dalam tas kuliahku.
Setiap hari ku baca tulisan-tulisanmu. Seperti aku membuka lembar demi lembar jiwamu.
Kata-katamu tentang hidup dan kematian telah membangunkan aku dari tidur pedihku. Apa beda hidup dan mati katamu?, seperti yang tertulis di diarymu.
Hidup seperti kertas kosong yang siap ditulis. Dan mati seperti kertas yang penuh dengan tulisan kita yang siap kita baca kembali. Jadi hidup dan mati buatmu seperti menulis dan membaca. Hehehehe, awalnya aku tersenyum membaca tulisanmu. Dan setelah ku renungkan, benar apa katamu, no name. Bagaimana kita bisa menulis jika kita enggan membaca?.
So, simple sekali caramu memandang hidup dan mati, no name. Kita dilahirkan menangis dan orang-orang yang menyambut kita tersenyum bahagia. Bukankah itu sebuah petunjuk Tuhan?. Tanyamu dalam diary itu. Agar ketika kita kembali, hendaklah dengan tersenyum bahagia. Dan lihatlah, orang-orang yang kita tinggalkan mereka akan menangis. Jadi hidup dibuka dengan tangis maka hendaklah ia ditutup dengan senyum.
Hidup dan mati seperti senyum dan tangis. Senyum dan tangis adalah sebuah tanda bahagia tapi bisa juga sebagai sebuah tanda pedih. Apakah kita akan terus menangis ketika kita di timpa kepedihan yang dalam?, senyum adalah sebuah tindakan yang bijak. Apakah kita akan terus tersenyum ketika kita diberi kelimpahan rejeki?, menangis adalah sebuah bentuk syukur yang bijak.
Hehehehe, hebat. Semuda itu dia sudah bisa menyimpulkan arti hidup dan mati, senyum dan tangis. Sedangkan aku?, menafsirkan senyumnya saja aku tak bisa. Hehehehe, no name, aku rindu pada senyummu.
"No name adalah sebuah nama yang paling berharga dalam hidupku." Kata seorang gadis bernama Litha.
Selain sibuk kuliah, Litha juga salah seorang atlet nasional berkuda. Begitulah cerita Litha padaku.
Dari sebuah perkenalan yang tak disengaja. Di kantin kampus, Litha menabrakku dan menumpahkan fruit punch nya di kaosku. Berkali-kali dia minta maaf. Aku bilang bahwa aku sudah memaafkannya. Peristiwa itu sangat memalukan buat Litha, buatku ah, masa bodo!, biarkan saja mereka tertawa-tawa puas melihat kebodohan kita, besok toh mereka akan lupa.
Entah karena perasaan bersalahnya, membuat Litha harus berkenalan denganku. Tapi buatku, berkenalan atau tidak bukan hal yang penting buatku. Karena sekarang aku sudah mempunyai teman, diary biru nya no name yang setia menemani sepiku.
Sejak peristiwa "bodoh" itu dan perkenalan pertamaku dengan Litha, keasyikkan ku membaca diarynya no name sering terusik. Litha yang ceriwis dan senang bercerita, menjadikanku seorang pendengar yang baik.
"Huruf NN, tatto yang ada dilenganmu itu tentulah sangat berarti bagimu." Tanya Litha padaku.
Secepat itu aku membalikkan lenganku, agar tatto itu tidak terlihat lagi oleh Litha.
"Hmm, hanya tatto biasa." Jawabku salah tingkah.
"NN, no name ... nama yang sangat berarti bagimu, hinga huruf itu kau rela torehkan menyatu dalam daging dan kulitmu."
Bagaimana Litha tahu?. Kalau NN adalah inisial dari no name yang ada di tattoku. Aku menjadi "gerah" berbincang dengannya. Terlalu ceriwis menurutku. Terlalu banyak ingin tahu.
"Ma'af, aku ada jam kuliah hari ini. Sorry Litha, aku harus pergi dulu." Aku pun meninggalkan Litha yang hanya menatapku bengong di taman kampus.
"Hi, kalau bisa hari minggu besok ikut aku ke Ciloto, akan ku kenalkan kau dengan no name ku." Teriak Litha padaku.
Aku sudah tak perdulikan lagi teriakkannya. Terus bergegas meninggalkan Litha sendiri di taman.
*****
Sial!, no name buat Litha hanyalah nama seekor kuda kesayangannya. No name, nama yang begitu indah buatku, nama yang selalu ku agungkan. Litha tak pernah tahu kepedihanku. Litha tak akan perduli dengan perasaanku. Tiba-tiba saja aku benci Litha, aku benci kudanya yang bernama no name. Aku benci mengapa peristiwa "bodoh" itu harus terjadi sehingga Litha dan aku berkenalan. Aku benci kenapa aku mau saja ikut dengan Litha lalu berkenalan dengan no name nya di sebuah ranch di Ciloto, Puncak.
Aku mengutuki semua yang pernah terjadi antara aku dan Litha. NN, huruf yang ku torehkan ditubuhku adalah bukti bahwa aku menyanjung no name. Diary biru yang telah menemani hari-hari sepiku bukti bahwa aku merindukan no name.
*****
Maafkan aku, no name. Aku benci Litha, aku benci gadis ceriwis itu.
Aku bersumpah, aku tak akan jatuh cinta pada gadis itu.
Hanya senyummu yang masih ku tunggu, senyum yang telah menyalib cintaku.
Cinta yang akan kita rajut bersama nanti ...
Seorang pemuda merintih berharap di atas sebuah makam. Pukul 14:30, waktu yang ia sempatkan untuk bersimpuh menangisi penyesalannya.
*****
Kutu Kata, No Name, 01072012