Senada dengan Amerika, asuransi di Indonesia pun akan membutuhkan dana yang signifikan. Indonesia dalam hal asuransi kesehatan telah menerapkan program Jamkesmas untuk masyarakat miskin. Pemerintah semenjak tahun 2008 meningkatkan dana untuk program ini setiap tahunnya, dan selalu terserap habis, bahkan seakan terus bertambah kebutuhannya/ masih kurang.
Selain Jamkesmas, program pemerintah yang sekarang sedang digalakkan yaitu mencapai Millenium Development Goals (MDG's), seperti menurunnya angka kematian ibu dan bayi serta menurunkan berbagai penyakit menular, dimana harus didukung oleh akses obat yang aman, berkhasiat dan bermutu serta terjamin dalam jenis dan jumlah sesuai kebutuhan pelayanan kesehatan. Efisiensi pembiayaan obat melalui penerapan health/ medicine account dan prinsip farmako ekonomi dengan demikian merupakan langkah yang sedang diambil pemerintah.
Pelayanan kesehatan sekarang ini masih merupakan beban biaya yang cukup besar, yaitu terutama berasal dari sarana prasarana perawatan di unit kesehatan, jasa tenaga kesehatan, dan terutama yang terbesar (sekitar 70%) dari biaya obat.
Obat sebagai komponen terbesar dari biaya kesehatan disebabkan karena masih relatif mahalnya harga obat. Produsen obat di Indonesia menetapkan harga yang tinggi, belum lagi rata-rata margin distributor obat di Indonesia sekitar 11 - 12%, masih lebih tinggi daripada margin distributor obat di Negara-negara ASEAN yaitu sekitar 3 - 4%. Oleh karena itu, harga obat di Indonesia adalah yang termahal di ASEAN.
Penyebab mahalnya harga obat di Indonesia yaitu mahalnya harga bahan baku obat serta pasar yang oligopoli. Penyebab pertama yaitu bahan baku untuk produksi obat hampir seluruhnya dari import (yaitu 95%), dimana Indonesia belum bisa memproduksi sendiri karena proses sintesis yang cukup rumit. Dengan demikian maka harga obat akan dipengaruhi oleh kurs nilai rupiah terhadap dollar.
Penyebab kedua yaitu kurang berminatnya orang untuk masuk ke dalam usaha produksi obat yang menyebabkan pasar obat cenderung oligopoli (pasar yang dikuasai oleh hanya sedikit perusahaan). Di seluruh dunia hanya 12 perusahaan obat yang mengontrol sekitar 50% pasar dunia. Adapun Indonesia, selain hanya memiliki sedikit pabrik obat yaitu sekitar 200 buah, juga hanya 60 dari jumlah tersebut yang menguasai lebih dari 80% pasar obat Indonesia.
Pasar oligopoli memiliki kecenderungan ke arah pasar monopoli dimana pihak produsen memiliki keleluasaaan menentukan harga. Dampaknya tentu saja penetapan harga obat yang tinggi oleh produsen. Produsen obat di ASEAN cenderung ke arah pasar bebas. Contohnya di India, mereka memiliki sekitar 13.000 pabrik obat sehingga harga obat otomatis akan ditentukan oleh masyarakat. Kondisi seperti ini menyebabkan demand/ permintaan dari masyarakat akan sesuai dengan penyediaan obat maka kecenderungan keseimbangan pasar akan terjadi. Masyarakat dengan demikian dapat menikmati obat pada harga yang diharapkan/ terjangkau.
Dalam perkembangannya, walaupun pabrik obat kian bertambah, namun tidak signifikan sehingga belum sampai menjadikan produsen menurunkan harganya. Komponen biaya yang besar dari obat berasal dari biaya pemasaran yang sebetulnya cenderung tidak efisien, terutama untuk jenis obat-obat ethical. Margin yang besar dengan biaya pemasaran yang besar menyebabkan harga tinggi dan menyebabkan masyarakat menanggung biaya pengobatan yang besar. Kondisi pasar obat Indonesia seperti itu menyebabkan tidak meratanya pelayanan kesehatan bagi masyarakat karena sebagian besar masyarakat (yaitu menengah ke bawah) tidak sanggup membeli obat sehingga penyakitnya tidak tertangani dengan tuntas.
Sebagaimana kita ketahui, keterlibatan pemerintah dalam perilaku pasar menjadi kecenderungan makroekonomi pada zaman sekarang. Berbeda dengan dahulu, dimana Adam Smith sang bapak ekonomi menyatakan bahwa ekonomi masyarakat ditentukan hanya oleh pasar itu sendiri, maka teori modern sekarang menjadikan keterlibatan pemerintah sebagai sesuatu yang patut diperhitungkan.
Dalam hal harga obat yang tidak terjangkau oleh masyarakat, pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan yang menetapkan harga obat generik di Indonesia. Harga obat generik akan terus direvisi setiap tahunnya, dan kecenderungan sampai dengan tahun 2010 ini harga generik tersebut setiap tahunnya mengalami penurunan harga. Bila ditinjau dari masyarakat, maka hal ini akan meningkatkan pelayanan kesehatan terutama masyarakat tidak mampu. Namun bila ditinjau dari produsen, maka akan menyebabkan kerugian bila biaya produksi lebih tinggi dari harga jual obat. Hal ini sempat menyebabkan kelangkaan obat generik pada sekitar tahun 2005 dan juga tahun-tahun berikutnya. Saat itu para produsen tidak sanggup memproduksi obat dan menghentikan produksinya sehingga supplai ke masyarakat berkurang.
Melihat kondisi seperti ini maka pemerintah Indonesia kembali mengeluarkan kebijakannya dengan mensubsidi pabrik obat yang memproduksi obat generik agar kembali memproduksi obat generik sehingga kelangkaan obat dapat teratasi.
Walaupun harga obat generik sudah ditetapkan dan murah namun penggunaan obat generik oleh masyarakat masih kurang. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, jika lima tahun terakhir pasar obat nasional naik, dari Rp 23,59 triliun (2005) menjadi Rp 32,94 triliun (2009), pasar obat generik sebaliknya malah menurun persentasenya. Pasar obat generik pada kurun yang sama hanya Rp 2,53 triliun (10%) dan kemudian menurun menjadi Rp 2,37 triliun (7,2% dari pasar obat nasional). Hal ini disebabkan karena masyarakat masih belum teredukasi akan kualitas obat generik yang sama dengan kualitas obat bermerk. Selain itu, pihak dokter yang meresepkanpun belum menerapkan peresepan obat generik. Hal ini menyebabkan pemerintah melibatkan diri dengan mengeluarkan peraturan menkes tentang kewajiban menggunakan obat generik bagi unit-unit pelayanan kesehatan.
Tak kurang peraturan pemerintah tersebut belum mendapatkan hasil yang memuaskan bagi meratanya konsumsi obat untuk masyarakat. Oleh karena itu, perkembangan terakhir adanya rencana pemerintah dalam mengatur harga obat generik bermerk.
Regulasi pemerintah setidaknya mengontrol agar tercapainya program pemerintah yaitu pelayanan kesehatan yang terjangkau dan merata, walaupun banyak hal yang masih perlu disikapi yaitu dampak-dampak di sisi produsen terhadap adanya kebijakan-kebijakan tersebut.
Penulis :
Winny Kuswenti Apoteker RS Paru Dr.H.A.Rotinsulu Bandung,
juga Mahasiswa MBA-ITB