Dalam makalah yang berjudul "Mengarang", Putu Wijaya menulis;"Untuk melicinkan jalan menjadi pengarang, dimulai dengan sikap memposisikan karangan sebagai "ilmu". Lalu belajar "mengemas" ilmu itu agar memiliki daya tarik dan pukau. Kemudian dengan memilih "sudut pandang" yang khas, tulisan akan menjadi spesial. Tuga jurus pertama itu saya kira cukup sebagai pegangan untuk "berjuang" sebagai pengarang. Jurus-jurus lainnya akan ditemukan sendiri oleh setiap pengarang dalam perjalanan kreativitasnya.
Istilah berjuang, lanjut Putu Wijaya, saya dapatkan dari Kirjomuljo. Penyair dan penulis drama yang produktif asal Jogja itu, menyutradai saya memainkan naskah Anton Cehov pada 1961 waktu saya masih kelas 2 SMA. Seperti kalian semua, waktu itu saya juga haus jurus-jurus menulis. Dengan lapar saya catat semua kiat menulis dan mengalami sendiri segala anekdot yang sudah saya sebut diatas. Temasuk menyodok dada pacar saya dengan bolpoint yang selalu ada di saku.
Di depan seorang teman yang kaya dan punya mesin ketika (waktu itu mesin tik masih tanda kekayaan), Kirjo berkata :"Kalau saya jadi kamu, punya mesin ketik, rumah dan suka mengarang, saya akan berjuang!"
Kata berjuang pada saya waktu itu, kaitannya dengan perjuangan fisik dalam masa revolusi untuk merebut kemerdekaan. Ada peluru, nyawa dan darah. Ketika dikaitan dengan mengarang, mental saya terteror. mengarang kok berjuang. Tapi setelah sebulan menancapi kepala, kata itu kemudian menyebarkan virus. Saya terjangkit. Sejak itu, saya berjuang.
Berjuang untuk mencari apa yang bisa ditulis. Saya tidak mau menunggu lagi tapi merebut. Setelah dapat, berjuang terus untuk mengalirkan ide-ide itu agar menjelma jadi tulisan. Dan sesudah jadi tulisan berjuang untuk mengirimkannya ke media supaya dimuat. Setelah itu berjuang untuk membuatnya menjadi buku. Dan setelah jadi buku, masih terus berjuang, membacakannya dimana-mana, di Indonesia bahkan sampai mancanegara .Berjuang untuk menyampaikannya ke sanubari orang lain, di tengah perjuangan politik, ekonomi dan sebagainya yang juga semuanya mencoba menaklukkan hati manusia. Habis itu terus berjuang agar tidak berhenti menulis karena merasa mapan.
Sampai detik ini saya masih terus berjuang. Kadang berhasil dan jarang keok.
Tiga hari yang lalu, tanggal 28 Martet, saya mendapat SMS dari Arief M. Tamba, yang mengingatkan stok tulisan KOK, kolom saya di tabloid KOKTAIL, sudah habis. Harus segera dipasok. Saya cepat-cepat menghidupkan komputer dan hendak menulis. Tapi menulis apa?
Mengacu pada "ilmu" seperti yang saya selundupkan dalam seminar ini,saya bertanya-tanya: apa yang sedang menarik perhatian orang?
Kebetulan di halaman pertama Kompas muncul berita : Kekerasan : Negara Gagal Memberdayakan Masyarakat. Pengajar filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkaya, B. Herry-Priyono, mensinyalir pembuniuhan anakoleh ibu yang sudah bebeapa kali terjadi (Bekasi, Jawa Barat, Pekalongan, JAwa Tengah, Malang) adalah karena ibu merasa anaknya lebih baik mati terhormat di tangan sendiri daripada nanti dibunuh oleh keadaan yang gelap di masa depan. Penulis menganggap itu sebagai bukti kegagalan pemerintah untuk melindungi rakyatnya.
Kesan saya membaca, itu adalah pernyataan kebencian pada pemerintah. Reaksi saya, saya ingin menganggu (menteror) opini itu, karena iitu semacam kerancuan antara kebencian lama dengan fenomena dalam masyarakat yang tak ada kaitannya.
Lalu saya tulis sebuah cerpen berjudul Pembunuhan. Tentang seorang ibu yang ketika hendak membunuh anaknya untuk menyelamatkan dia dari masa depan gelap, digoda oleh sajak Khalil Gibran dalam kumpulan sajak Sang Nabi. Gibran bebisik : anakmu bukanlah anakmu.....
Perempuan itu kalap lalu menghajar rak tempat buku nangkring. Rak buku tumpah. Perempuan itu terhimpit almari. Obat nyamuk juga terlempar dan terjadilah kebakaran. Anak yang mau dibunuh itu bangun, lalu mencoba menolong ibunya. Suami ibu itu yang ternyata dosen merangkap tukang ojek malam hari, pulang.
Kebakaran teratasi.
Saya berhenti di situ. Saya mencari peluang untuk menyerang berita dalam KOMPAS itu. Lalu saya baca berita itu dengan lebih teliti. Ternyata penulisnya tidak beropini seperti yang saya tangkap ketika membaca selintas. Beliau cukup obyektif dan tidak terdorong oleh kebencian pada pemerintah.
Saya membelokkan tembakan, lalu mengakhiri ceritera itu dengan sebuah kalimat.
Kebakaran teratasi. Walaupun buku Kahlil Gibran terbakar hangus, tetapi pesannya, sudah tertanam dalam di hati.