Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana Pilihan

Purusha (1)

16 Januari 2014   10:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:47 83 0
by : Awan Gunawan

"Berada dalam sebuah kematian, kita tidak akan mengenal kehidupan, berada dalam sebuah kehidupan bergegaslah kenali kematian"

Sudah berkali-kali aku mengetuk daun pintu yang sedikit terbuka itu, namun tak kunjung ada seorang penghunipun yang keluar menyambutku atau sekedar menyapa dan membukakan pintunya. Beberapa saat aku mencoba bertahan tetap berada didepan pintu rumah itu sambil berharap yang punya rumah segera keluar dan bertemu denganku. Sekian lama aku menunggu, seiring itu pula rasa lapar dan haus perlahan-lahan mulai menghampiriku, perlahan-lahan pula mulai mencekik leher dan memelintir usus-usus dalam perutku, namun penghuni rumah tak kunjung menampakkan batang hidungnya.

"permisi......haloooo......"

"pak........bu........permisi......."

Akhirnya rasa lapar dan haus itu pula yang memaksaku untuk mendorong perlahan-lahan daun pintu itu, hingga ia terbuka agak lebar. Suasana didalam rumah itu sendiri nampak sepi, tapi aku masih belum berani masuk, aku hanya mengamati suasana dalam rumah dari luar.

"permisi......pak......bu......" untuk kesekian kalinya aku menyapa, untuk kesekian kalinya pula ta menemui jawaban. Akhirnya aku beranikan diri untuk memasuki rumah itu perlahan-lahan. Setelah memastikan diri bahwa rumah ini sepi tak berpenghuni, aku mulai berani melangkahkan kaki masuk lebih dalam kerumah itu. Baru dua langkah kaki menyentuh lantai bagian tengah rungan itu, bau wewangian menyengat menyergap hidungku. Bau harum wewangian ini membuatku terkejut, karena harumnya sangat aneh, sangat asing dihidungku, baru sekali ini aku mencium harum seperti ini. Hal lain yang menarik bagiku, seiring dengan terciumnya wewangian itu, seiring itu pula rasa lapar dan hausku berangsur-angsur hilang, tubuhku terasa sedikit bertambah gairah.

Satu persatu ruangan mulai aku masuki, semuanya nampak tertata rapi, namun sedikit keanehan sempat terbersit karena semua perabotan disini sepertinya perabotan-perabotan jaman dahulu, tak nampak sedikitpun nuansa modern, atau interior abad dua puluh.

Setiap ruangan tertata rapi dan bersih

"sepertinya rumah ini dihuni oleh perempuan-perempuan cantik", aku bergumam dalam hati sambil tersenyum sendiri.

Wewangian itu masih terasa menyengat hidungku, memenuhi seluruh sisi sudut ruangan dalam rumah ini. Setelah agak lama aku berputar-putar dalam ruangan yang tidak begitu besar itu, aku memutuskan untuk keluar, namun rasa penasaranku menahanku untuk tetap menunggu si pemilik rumah.

Didepan rumah berjarak sepuluh meter dari serambi teras rumah itu berdiri pohon besar, kakiku melangkah mendekati pohon itu dan memutuskan untuk menunggu sambil berteduh dari sengatan terik matahari dibawah pohon besar nan rindang itu. Tanah tempat pohon itu berdiri lebih tinggi di banding tanah di rumah itu. Aku duduk, menyandarkan kepala dan punggungku sambil merasakan lapar dan haus yang kembali menyentak perut sedikit terasa mencekik leher. Perlahan angin semilir menerpa mengelus-elus tubuhku, seolah berusaha menidurkanku sejenak agar lupa pada rasa lapar dan haus. Tak lama kemudian tubuhkupun terkulai dibuai semilir padang rumput yang lembut.

Tidak lama kemudian aku dikejutkan oleh sentuhan lembut dipundakku, sedikit kaget namun aku tidak lantas cepat-cepat membuka mata, aku membiarkan mataku tetap terpejam, sembari merasakan lebih dalam sentuhan yang penuh energi itu. Dingin namun sejuk, perlahan-lahan memasuki sekujur tubuh memberikan kesegaran yang luar biasa. Perlahan-lahan aku mulai membuka mata, sedikit demi sedikit. Namun saat mataku terbuka tak aku temukan seorangpun didepanku atau disekitar tempatku tertidur tadi, hanya batang pohon besar yang sedari tadi kujadikan sandaran. Dan juga matahari yang semakin menguning meredupkan sinarnya mencondongkan dirinya ke ufuk barat memberikan warna senja yang menawan.

Aku kembali duduk tenang, pandanganku aku arahkan kembali ke rumah kecil yang energinya sedari tadi terasa menarik-narik diriku untuk segera memasukinya. Namun seketika mataku berubah arah, ketika pandanganku menangkap sosok seorang perempuan berkebaya kuning muncul dari arah timur rumah itu berjalan memasukinya. Tentu saja ketertarikanku pada rumah itu semakin bertambah.

Kematian (2) free website hit counter code

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun