Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

Kesalahan Mendidik (2): Mengharomkan "Memukul dan Mencubit" Anak

30 Mei 2014   16:43 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:57 3304 0
Bismillahirrohmaanirrohiiim

Kekeliruan Buku Pendidikan (2): Mengharomkan "Memukul dan Mencubit" Anak

MARI kita sejenak membaca premis-premis beberapa tokoh dan artikel pendidikan seputar larangan memukul,

1. Ayah Edy (penulis buku pendidikan) dalam subuah acara seminar berkata,

“...jangan pernah menghukum anak dengan menyetrap, memukul, atau menjewer."

2. Sebuah artikel Smart Parenting, Arifah Handayani menulis,

"Hukuman fisik menunjukkan bahwa tidak apa apa untuk melampiaskan kemarahan dengan pukulan atau memukul orang lain karena bersalah..."

3. Dalam artikel berjudul 'Alasan Mengapa Kita Tidak Boleh Memukul Anak' dituliskan,

"Memukul anak malah mengajarkan mereka untuk menjadi orang yang suka memukul... Hukuman fisik bisa membuat anak menangkap pesan yang salah yaitu ‘tindakan itu dibenarkan’..."

4. Dalam detik.com, artikel berjudul "Ini Alasan Dokter Melarang Orang Tua Memukul Anak Sebagai Hukuman" tertulis,

"Para dokter anak dari divisi pediatrik Royal Australasian College of Physicians (RACP) menyerukan bahwa hukuman fisik harus dibuat sebagai sebuah tindakan yang ilegal."

Dari ke-4 premis ini, kita hendaknya berfikir kritis. Tidak latah. Sebab ini adalah perkataan manusia, bukan wahyu. Sehingga, salah rasanya jika ada seorang manusia yang begitu mendengar warta seperti di atas, kemudian 'taqlid' (ikut-ikutan) tanpa mengecek keshahihan hal tersebut.

Bagaimana Islam menilai pukulan dalam pendidikan?

Pada dasarnya, pendidikan itu dengan lemah lembut, hikmah. Bahkan demikianlah sifat Rasulullah shollallohu alayhi wasallam yang disebutkan dalam Kitabullah:

“Maka karena rahmat Allah-lah engkau bersikap lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap kaku dan keras hati, tentu mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu.”
(Ali ‘Imran: 159)

Al-Hasan Al-Bashri rohimahulloh mengatakan:

“Ini adalah akhlak Muhammad shollallohu alayhi wasallam yang Allah utus dengan membawa akhlak ini.”
(Tafsir Ibnu Katsir, 2/106)

Namun bagaimanapun, keadaan setiap anak berbeda. Demikian pula tabiat mereka. Di antara mereka ada yang cukup dengan pandangan mata untuk mendidik dan memarahinya, dan hal itu sudah memberikan pengaruh yang cukup mendalam serta membuatnya berhenti dari kesalahan yang dilakukannya. Ada anak yang bisa mengerti dan memahami maksud orang tua ketika orang tua memalingkan wajahnya sehingga dia berhenti dari kesalahannya. Ada yang cukup diberi pengarahan dengan kata kata yang baik.

Ada pula anak yang tidak dapat diperbaiki kecuali dengan pukulan. Tidak ada yang memberi manfaat padanya kecuali sikap yang keras. Saat itulah dibutuhkan pukulan dan sikap keras sekedar untuk memperbaiki keadaan si anak dengan tidak melampaui batas.

Ibarat seorang dokter yang memberikan suntikan kepada seorang pasien. Suntikan itu memang akan terasa sakit bagi si pasien, namun itu hanya diberikan sesuai kadar penyakitnya. Sehingga boleh seseorang bersikap keras terhadap anak-anaknya manakala melihat mereka lalai atau mendapati kesalahan pada diri mereka.
(Fiqh Tarbiyatil Abna`, hal. 170-171)

Apa bukti bahwa dalam Islam ada metode memukul untuk mendidik anak?

Abu Daud (no. 495) dan Ahmad (6650) telah meriwayatkan dari Amr bin Syu’aib, dari bapaknya dari kakeknya, dia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Perintahkan anak-anak kalian untuk melakukan shalat saat usia mereka tujuh tahun, dan pukullah mereka saat usia sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka.”
(Dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwa’u Ghalil, no. 247)

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam kitab Al-Mughni (1/357):

“Perintah dan pengajaran ini berlaku bagi anak-anak agar mereka terbiasa melakukan shalat dan tidak meninggalkannya ketika sudah baligh.”

Dikisahkan oleh Nafi’ rohimahulloh, maula (bekas budak) Abdullah bin ‘Umar rodiyallohu anhu:

“Bahwasanya Abdullah bin ‘Umar rodiyallohu anhu apabila mendapati salah seorang anggota keluarganya bermain dadu, beliau memukulnya dan memecahkan dadu itu.”
(HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 1273. Asy-Syaikh Al-Albani berkata dalam Shahih Al-Adabul Mufrad: shahihul isnad mauquf)

Lihatlah pendidikan Abdulloh bin Umar ini. Apakah ini tercela? Apakah ini pelampiasan marah? Betul. Dan marah itu ada 2, ada yang diridhoi oleh Alloh dan ada yang terlarang.

Marah jenis apakah yang diekspresikan Abdulloh bin Umar? Tentunya ia adalah marah yang diridhoi oleh Alloh, legal, bukan ilegal. Karena Abdulloh bin Umar dikenal sebagai ahlul ilm (orang yang berilmu). Sampai-sampai beliau disebutkan sebagai pencontoh nabi dalam segala sisi.

Sehingga, miris kita mendengar doktrin "larangan" memukul anak, bahkan mereka mengatakan memukul akan menjadikan anak juga sebagai tukang pukul. Sama sekali tidak! Itu adalah sarana pendidikan. Yang salah adalah jika pukulan itu bukan tujuannya mendidik, tetapi ekspresi kemarahan yang tidak diridhoi Alloh.

Sudahkah para 'ahli pendidikan' itu membaca hadits-hadits dan siroh para salaf dalam mendidik anak? Tidakkah mereka lihat, pada sebagian hidup mereka ada pola pendidikan bentuk pukulan?

Lihatlah pula Ummul Mukminin ‘Aisyah rodiyllohu anha, sebagaimana penuturan Syumaisah Al-’Atakiyyah:

“Pernah disebutkan tentang pendidikan bagi anak yatim di sisi ‘Aisyah, maka beliau pun berkata, 'Sungguh, aku pernah memukul anak yatim yang ada dalam asuhanku hingga dia telungkup menangis di tanah.”
(HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 142, dan dikatakan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Al Adabul Mufrad: shahihul isnad)

Suatu saat, al-Ustadz Dzulqarnain hafidzahloh (murid Syaikh Sholeh al-Faudzan) pun pernah mencubit beberapa anak santri yang ribut di saat sudah hendaknya ditegakkan sholat wajib.

Akan tetapi, ada yang perlu diperhatikan dalam hal ini. Orang tua dan guru tidak diperkenankan memukul wajah, memukul dalam keadaan sangat marah, tidak membuat kulit luka, atau tidak membuat tulang atau gigi menjadi patah, memukul di tempat umum, dan pukulan tidak lebih dari sepuluh kali, tujuannya semata untuk sarana pendidikan, bukan tujuan akhir.

Syaikh Sholeh al-Fauzan hafidzahulloh berkata,

“Pukulan merupakan salah satu sarana pendidikan. Sorang guru boleh memukul, seorang pendidik boleh memukul, orang tua juga boleh memukul sebagai bentuk pengajaran dan peringatan. Seorang suami juga boleh memukul isterinya apabila dia membangkang. Akan tetapi hendaknya memiliki batasan. Misalnya tidak boleh memukul yang melukai yang dapat membuat kulit lecet atau mematahkan tulang..."
(Ighatsatul Mustafid Bi Syarh Kitab Tauhid, 282-284)

Inilah pendidikan Islam. Bukan Yahudi dan Nashoro. Yang mana konsep pendidikan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam. Lihatlah hasil didikan Islami ini: Abu Bakar, Umar bin Khottob, Utsamn bin Affwan, Ali bin Abi Tholib, Abdulloh bin Umar, dll, siapa yang tidak mereka? Mereka merupakan output dari pendidikan Islami.

Sekarang kita tanya, mana hasil pendidikan non Islamiy? Yang lahir dari konsep non Islamiy adalah anak-anak yang penakut, lebay, alay, dll.

Terakhir, ada sebuah soal buat Anda.
Kenal Muhammad Al-Fatih?

Sosok fenomenal dalam Islam, tokoh yang menaklukkan Konstantinopel (Eropa) di usia 21 tahun. Lihat anak zaman sekarang? Apa yang mereka perbuat di usia 21 tahun! Pacaran, menanggur, merokok, Allohu Akbar!

Muhammad al-Fatih adalah sosok yang disebutkan salam sebuah hadits,

“Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.”
[H.R. Ahmad bin Hanbal Al-Musnad 4/335]

Bagaimana masa kecil beliau?

Akh Budi bercerita,

"(Muhammad al-Fatih adalah) Anak kecil yang disiapkan dengan cara yang tidak biasa agar menjadi generasi yang tidak biasa.

Muhammad Al Fatih tidak hanya sekali ditegasi dengan pukulan. Di tangan guru awalnya, Ahmad bin Ismail Al Kurani, Muhammad Al Fatih merasakan sabetan untuk pelajaran pertamanya. Sebagaimana yang telah diamanahkan oleh sang ayah Murad II yang mengerti pendidikan, sang guru tak segan-segan untuk melakukan
ketegasan itu.

Sekali ketegasan untuk kemudian berjalan tanpa ketegasan. Tentu ini jauh lebih baik dan diharapkan oleh setiap keluarga, daripada dia harus tarik urat setiap hari dan menampilkan ketegasan setiap saat, karena jiwanya belum tunduk untuk kebaikan.

Mungkin, Muhammad Al Fatih kecil kecewa saat dipukul. Sangat mungkin hatinya terluka. Tapi pendidikan Islam tak pernah khawatir dengan itu, karena Islam mengerti betul cara membongkar sekaligus menata ulang. Semua analisa ketakutan tentang jiwa yang terluka tak terbukti pada hasil pendidikan Muhammad Al Fatih.

Tapi ada pukulan berikutnya dari guru berikutnya. Pukulan kedua ini yang lebih dikenang pahit oleh Muhammad Al Fatih. Kali ini pukulan datang dari gurunya yang mendampinginya hingga ia kelak menjadi sultan; Aq Syamsuddin.

Bukti bahwa ini menjadi ‘kenangan’ yang terus berkecamuk di kepalanya adalah ketika Muhammad Al Fatih telah resmi menjadi sultan, dia bertanya kepada gurunya:

“Guru, aku mau bertanya. Masih ingatkah suatu hari guru menyabetku, padahal aku tidak bersalah waktu itu. Sekarang aku mau bertanya, atas dasar apa guru melakukannya?”

Bertahun-tahun lamanya pertanyaan itu mengendap dalam diri sang murid. Tentu tak mudah baginya menyimpan semua itu. Karena yang disimpannya bukan kenangan indah. Tetapi kenangan pahit yang mengecewakan. Karena tak ada yang mau dipukul. Apalagi dia tidak merasa bersalah.

Jawaban gurunya amat mengejutkan. Jawaban yang menunjukkan memang ini guru yang tidak biasa. Pantas mampu melahirkan murid yang tidak biasa.

Jawaban yang menunjukkan metode dahsyat, yang mungkin langka dilakukan oleh metode pendidikan hari ini. Atau jangan-jangan sekadar membahasnya pun diharamkan oleh pendidikan hari ini.

Inilah jawaban Aq Syamsuddin,

“Aku sudah lama menunggu datangnya hari ini. Dimana kamu bertanya tentang pukulan itu. Sekarang kamu tahu nak, bahwa pukulan kedzaliman itu membuatmu tak bisa melupakannya begitu saja. Ia terus mengganggumu. Maka ini pelajaranuntukmu di hari ketika kamu. menjadi pemimpin seperti sekarang. Jangan pernah sekalipun mendzalimi masyarakatmu. Karena mereka tak pernah bisa tidur dan tak pernah lupa pahitnya kedzaliman.”

Ajaib!

Konsep pendidikan yang ajaib.

Hasilnya pun ajaib. Muhammad penakluk Konstantinopel. Maka, sampaikan kepada semua anak-anak kita. Bahwa toh kita tidak melakukan ketegasan seperti yang dilakukan oleh Aq Syamsuddin.

Semua ketegasan kita hari ini; muka masam, cubitan, hukuman, pukulan pendidikan semuanya adalah tanaman yang buahnya adalah kebesaran mereka.

Teruslah didik mereka dengan cara pendidikan Islami. Kalau harus ada yang diluruskan maka ketegasan adalah salah satu metode mahal yang dimiliki Islam.

Semoga suatu hari nanti, saat anak anak kita telah mencapai kebesarannya, kita akan berkata semisal Aq Syamsuddin berkata,

“Kini kau telah menjadi orang besar, nak. Masih ingatkah kau akan cubitan dan pukulan ayah dan bunda sore itu? Inilah hari ketika kau memetik hasilnya.”

Hari ini, saat masih dalam proses pendidikan, Anda pun bisa sudah bisa berkata kepada mereka,

“Hari ini mungkin kau kecewa, tapi suatu hari nanti kau akan mengenang ayah dan bunda dalam syukur atas ketegasan hari ini,” selesai penuturan Akh Budi.

Semoga tulisan ini kembali mengajak kita semua untuk membuka khazanah Islam sesuai pola didikan para salaf.

Kalau mereka berkata, bagaimana dengan perkataan Ali bin Abi Thalib,

“Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka adalah generasi baru dan bukan generasi tatkala kamu dididik”.

Ini sanadnya mana? Sumbernya mana?

Yang benarnya, dengarkan perkataan Imam Malik bin Anas rohimahulloh ini,

”Tidak pernah baik akhir dari keadaan umat ini, kecuali dengan sesuatu yang para pendahulu mereka menjadi baik.”
(Mawarid al Amaan hal. 265)

Itulah konsep pendidikan Rosululloh shollallohu alayhi wasallam, sebaik-baik konsep untuk hari ini dan selamanya.

Semoga Alloh subhanahu wa ta'ala memberi taufik kepada kita semua...[]

Bersambung Insya Alloh...

(Abu Hanin)
--Sulsel, 29 Rajab 1435 H

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun