Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Artikel Utama

Redenominasi, Sanering, dan Devaluasi

3 Agustus 2010   14:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:20 7781 0
Kata redenominasi belakangan ini banyak berseliweran masuk kuping kiri dan keluar kuping kanan kita dan banyak yang latah menggaungkannya tanpa paham apa istilah itu maknanya. Bagi yang rajin berkonsultasi ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) maka akan kecele karena tidak akan menemukan definisi atau contoh penggunaan kata redenominasi itu. Bagi yang paham berbahasa Inggris dan suka bersilancar di dunia-maya untuk berburu pengetahuan akan lebih beruntung karena akan banyak menemukan arti, contoh sampai esai, makalah dan risalah seputar redenominasi. Secara populer redenominasi itu dapat diartikan sebagai kiat (ekonomi) dalam mengubah pecahan mata uang. Misalnya dari Rp 1000,- menjadi Rp 1.- tanpa mengubah daya beli uang tersebut. Jika semula Rp 1000,- adalah untuk harga sebuah cabe rawit (cengek, cabe-kutu atau lombok-api) maka sesudah redenominasi dilakukan maka harganya adalah Rp 1,- Jika sesudah redenominasi dilakukan kita tak lagi bisa membeli sebuah cengek dengan harga Rp 1,- misalnya menjadi 110 sen maka ini bukan redenominasi murni melainkan sudah menjurus ke devaluasi dan sanering. Secara umum, devaluasi itu adalah penciutan atau penurunan nilai tukar sebuah sistem mata uang terhadap uang asing yang dijadikan acuan atau terhadap nilai logam mulia. Devaluasi ini serupa dengan sanering (Bahasa Belanda) yaitu menciutkan nilai tukar uang akibat memburuknya situasi ekonomi yang sering ditandai dengan besarnya angka inflasi. Dengan sanering ini maka diharapkan ekonomi yang sakit dan berpotensi kebangkrutan akan pulih bahkan lebih sehat dari semula. Namun banyak risiko yang musti diperhitungkan bahkan ditanggung akibat kebijakan devaluasi ini. Bukan sekedar peluruhan popularitas politik namun dapat berakibat pemakzulan dan perang saudara (domestic war). Devaluasi dan sanering ini bukan cerita baru bagi Indonesia. Berkali-kali krisis ekonomi menerpa Indonesia. Setiap krisis menerpa maka politikus dan ekonom langsung membuka buku-pintar mereka tentang sanering, devaluasi dan redenominasi. Gunting Sjafruddin : Devaluasi Bersemangat Nasionalis Nama Syafrudin diambil dari nama Menteri Keuangan Kabinet-II Hatta yaitu Syafrudddin Prawiranegara. Gunting Syafrudin adalah plesetan yang diberikan rakyat atas kebijakan ekonomi (khususnya moneter) yang ditetapkan mulai berlaku Jumat, 10 Maret 1950. Saat itu lembaran uang kertas nominal Rp5,- dan yang lebih besar peninggalan NICA (Nederland Indische Civil Administration) wajib digunting menjadi dua bagian. Bagian kiri dapat digunakan sebagai alat pembayaran yang absah dengan nilai tukar menjadi setengahnya. Namun terbatas masa waktunya karena sesudah itu wajib ditukarkan ke lembar uang baru di bank. Sedangkan guntingan bagian kanan tidak bisa menjadi alat pembayaran langsung dan wajib ditukar dengan obligasi negara dengan nilai setengahnya dan akan dibayarkan 40 (empat puluh) tahun kemudian dengan mendapatkan bunga bank yang besarnya ditetapkan pemerintah. Gunting sakti ini juga efektif pada uang simpanan di bank. Sedangkan uang pecahan dibawah Rp2.5 tidak kena guntingan. Begitu pula dengan ORI (Oeang Republik Indonesia). Sungguh sebuah kebijakan non-populis yang berani dan bernuansa nasionalis ! Gebrakan ini dipandang sebagai obat mujarab atas sakit akut yang diderita sistem perekonomian RI kala itu dimana ekonomi terpuruk akibat utang menumpuk, inflasi melejit dan harga komoditas pokok melambung tinggi. Walau kiasannya hanya Gunting Syafruddin tapi ada kebijakan non-populis lain yang merupakan kembaran dari pengguntingan uang yaitu Sertifikat Devisa. Ini dijadikan sebagai senjata pamungkas untuk melawan gempuran barang-barang impor dan sekaligus mendorong upaya ekspor sebagai penghasil devisa. Kebijakan Seritifikat Devisa ini tidak lain “Yes to Export, No to Import”. Caranya adalah dengan memberikan insentif langsung bagi ekportir. Sedangkan importir terkena penalti (dis-incentive) untuk setiap upaya impor. Petani, peternak dan nelayan adalah pelaku-pelaku yang diuntungkan dengan kebijakan fortifikasi pasar domestik melalui kebijakan Sertifikat Devisa ini. Tentu dalam realisasinya dibuatkan metoda sampai fomula kalkulasi ekspor dan impor yang tidak sederhana. Kebijakan ekstrim yang ditabur ini tentu menuai dukungan sekaligus tentangan. Sjafruddin kokoh bagai karang. Dikatakannya bahwa penerapan kebijakan yang notabene berkategori devaluasi ini akan multi-guna: mengurangi varian uang yang beredar dan masih berbau penjajah, membatasi dan sekaligus menekan laju inflasi, menurunkan harga komoditas  pokok dan tentunya memperbaiki arus kas dan kocek pemerintah. Tekanan dan iming-iming untuk tidak menutup keran impor terlalu terlalu keras tak diindahkannya dengan satu pikiran luhur yaitu keberpihakan pada petani, nelayan dan peternak. Kini kebijakan ini banyak mendapat pujian dan menjadi kasus menarik dalam mata-pelajaran politik-ekonomi. Gunting Sjafruddin bukanlah satu-satunya sanering dan devaluasi yang pernah kita alamai ditanah air. Redenominasi yang pernah dilakukan -- Rp1000,- menjadi Rp1,- itu juga mengandung devaluasi. Saat krisis 1998, sanering sudah mengerucut namun urung diterapkan secara kasat mata dan terbuka. Devaluasi a la Zimbabwe Masih terngiang gonjang-ganjing tentang keterpurukan ekonomi di Zimbabwe dibawah kepemimpinan Presiden Robert Mugabe. Saat itu banyak yang berseloroh bahwa betapa mudahnya menjadi milyuner disana. Bukan karena mudahnya meraup keuntungan dari bisnis ataupun korupsi semata namun akibat salah-urus makroekonomi. Nilai tukar mata uang merosot tajam. Inflasi meroket. Kerusuhan dipicu unsur SARA juga tak kunjung reda. Gaji pegawai negeri per bulan bernilai puluhan milyar namun jangan terkecoh dengan sebutan milyaran ini karena harga bahan pokok juga bernilai milyaran. Dua milyar hanya untuk selusin telur ayam. Dengan keberanian luarbiasa Presiden Mugabe menyusun rencana dan menetapkan kebijakan devaluasi besar-besaran bahkan mencatat rekor dunia yaitu menghapuskan 10 (sepuluh) angka nol dari setiap lembar uang yang kemudian dikenal sebagai uang baru yaitu Zimbabwe Dollar (ZWD). Saat inisiatif devaluasi ini digulirkan pada tahun 2002 banyak tentangan, khususnya dari lawan-lawan politik dihadapi President Robert Mugabe. Ada satu kalimat keras yang sempat terlontar dan sekaligus menunjukkan kesungguhan hati dan ketegaran sikapnya yaitu "Advocates of devaluation are saboteurs and enemies of the state !” -- Pihak-pihak yang nyata-nyata menentang kebijakan devaluasi ini adalah tukang sabotase dan jelas-jelas musuh negara ! Kini nominasi uang Zimbabwe tidak lagi membuat repot para akuntan, memakan ruang memori dan menurunkan kemampuan olah data komputer dan tidak menjadi olok-olok dunia. Dampak devaluasi ini positif. Perekonomian Zimbabwe kini tak lagi berada di titik nadir dan perlahan dan pasti merangkak naik. Redenominasi Uni Eropah dan Korea Utara Gagasan membentuk Uni Eropah (UE) telah lama digulirkan. Butuh puluhan untuk menjadikan gagasan ini menjadi rencana konkrit yang siap digulirkan. Bagian dari persiapan itu adalah kajian strategis redenominasi mata uang yaitu dari masing-masing mata uang negara-negara anggota UE ke mata uang esa yaitu Euro. Walau sudah dipersiapan puluhan tahun namun niat memiliki mata uang tunggal UE tidak berjalan mulus. Aklamasi semangat dan sepakat menjadi anggota UE namun tidak demikian dalam adopsi Euro. Politik-ekonomi Inggris mendorong mereka teguh menggunakan poundsterling sebagai mata uang nasional walaupun mereka adalah anggota utama UE. Redenominasi mata uang negara-negara anggota UE ke Euro menjadi catatan sejarah karena merupakan aktivitas redenomiasi terbesar, terbanyak dan serempak. Negara tetangga kita yang baru saja melakukan redenominasi adalah Korea Utara. Jika selama ini kita mengenal Korea Utara sebagai negara yang getol mengembangkan senjata nuklir demi unjuk kemampuan dan bikin keder musuh, kini mereka membuat gebrakan melalui redenominasi yang populer dengan istilah Pyongyang’s Redenomination yaitu menghapuskan 2 (dua) angka nol dalam lembar mata uang mereka. Uang 100 Won menjadi 1 Won. Namun dengan kepemimpinan bergaya diktator, redenominasi ini juga berbau devaluasi. Kebijakan tukar uang won lama ke won baru ada pembatasan ketat. Tidak semua uang won lama dapat ditukarkan menjadi won baru. Redenominasi bisa memberi banyak untung namun bisa juga bikin kita buntung. Niat mempercantik diri (face-lift, plastic surgery) melalui redenominasi sangat besar biayanya, bukan sekedar cetak uang baru namun sistem keuangan dan perangkat pendukung akan memerlukan perombakan yang makan waktu, energi dan ongkos. Jika tak dipersiapkan dengan matang dan mampu mengantisipasi hal-hal terburuk dan tak terduga maka jangan kaget jika sistem perekonomian kita akan bisa menjadi pasien korban gagal operasi plastik, bukan gagah atau cantik yang menjadi hasil namun Momok Compang-Camping alias The Ugly Monster ! Apalagi jika gagasan redenominasi dijadikan Kuda Troya bagi akal bulus sanering dan devaluasi. Ini bagaikan memberi amunisi ekstra bagi lawan politik. Jika redenominasi ini berhasil maka kita akan kembali mengenal istilah klasik untuk mata uang yang hanya kita dengan dari cerita kakek-nenek-uyut: gobang, picis, benggol, tali, kepeng, kelip, ketip, sen, ringgit dll.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun