[caption id="attachment_51660" align="alignleft" width="300" caption="Shutterstock"][/caption] Minggu dini hari tanggal 10 Januari 2010 cuaca Jakarta Kota sangat nyaman. Matahari masih malu-malu menyinari bumi, awan menggelantung sambil bergerak mengikuti arah angin sambil meneteskan butir-butir air berupa gerimis kecil menambah sejuknya pagi. Para pencinta sepeda dengan santai
gowes sepanjang Jalan Sudirman-Thamrin yang kedua jalur cepatnya
verboden untuk kendaraan bermotor setiap Minggu pagi pukul 06.00 sampai dengan pukul 10.00. Demikian juga
joggers dan pejalan santai, mereka menikmati asyiknya cuaca Jakarta Kota, canda ria berolahraga. Perjalanan Jakarta Kota ke bandara Sokarno-Hatta sangat lancar, perjalanan menyenangkan dan hanya membutuhkan waktu tak lebih dari 35 menit. Menyenangkan sekali kota Jakarta, Puji Syukur. Reportase ini bukan untuk mengupas apa, bagaimana dan mengapa
ambiente (kombinasi dari suasana, cuaca dan kondisi) Jakarta tidak bisa seasyik Minggu pagi, khususnya 10 Januari 2010. Tulisan ringkas ini menceritakan secuil dari reformasi Departemen Keuangan, khususnya Direktorat Jenderal Pajak dalam membangun budaya taat pajak melalui Nomor Pokok Wajib pajak (NPWP) bagi warga negara Indonesia.
Hari gini belum punya NPWP. Apa kata dunia? Sering kita dengan berita baik itu diteriakkan oleh para pegawai pajak ataupun pakar perpajakan, yaitu tentang masih terlalu rendahnya pendapatan negara dari pajak perseorangan. NPWP adalah identitas yang ditempelkan pada anggota masyarakat yang sudah masuk kategori laik dan layak memenuhi kewajibannya sebagai warga negara melalui pembayaran pajak. Rasio pemegang NPWP terhadap populasi penduduk masih terlalu kecil belum lagi banyak NPWP yang masuk klasifikasi “tidur” yaitu NPWP sudah ada namun tiap tahun tidak bayar pajak dengan berbagai penyebab mulai dari secara legal bebas pajak sampai pada yang memang dengan sengaja mbalelo tidak mau bayar pajak. Salah satu jurus reformasi pajak adalah menawarkan insentif menarik untuk memiliki NPWP, yaitu bebas fiskal jika akan berangkat ke luar negeri bagi pemegang NPWP. Jika tidak punya NPWP maka wajib bayar fiskal sebesar Rp 2.500.000,- Walaupun kocek tebal, namun jika musti bayar 50 lembar si-biru dengan foto I Gusti Ngurah Rai tentu akan mikir dua-kali. Kiat ini reformis, bukan sekedar mengancam dengan hukuman sebagai pendorong melainkan lebih mengutamakan pemberian insentif sebagai penghela. Memang selayaknya menjadikan wortel itu lebih digdaya ketimbang tongkat pemukul. Tentunya kita masih ingat metoda klasik
stick & carrot dalam memotivasi? Sesudah semua ritual
check in dan sebelum melewati pemeriksaan akhir di Gerbang Imigrasi di terminal penerbangan luarnegeri, kita wajib mampir ke loket Bebas Fiskal atau ke loket Bank Pelat-Merah untuk bayar fiskal.
Sesudah berada dalam antrian di gerbang Bebas Fiskal, saya baru sadar bahwa kartu NPWP lupa terbawa dan NPWP-nya pun tak terekam dibenak ataupun di HaPe. Sempat agak panik apalagi cash didompet tidak sampai Rp2.500.000,- Ditambah lagi, gerai anjungan tunai mandiri berada di lokasi yang cukup jauh dari konter Bebas Fiskal. Hati agak tenang ketika kenalan baru yang sama-sama antri bilang bahwa bayar fiskal bisa pakai kartu kredit. Sambil antri, CPU di otak bekerja keras bagaimana memperoleh status Bebas Fiskal. Terlintas
jingle disalah satu iklan komersial “Jika Bersih Mengapa Musti Risih”. Hati semakin tenang bahkan pe-de muncul menguat. Bermodalkan nama yang tak pernah berubah sejak lahir plus senyum tulus yakin NPWP bisa diperoleh dan tentunya Bebas Fiskal.
Thing is never as easy as you think. Pepatah kuno ini menghadang saat berada di konter Bebas Fiskal. Berikut komunikasi singkat kami. (NB. Sang Petugas saya sapa dengan hangat namanya saat memulai komunikasi. Disini sengaja tidak disebut namanya demi kebaikan kami berdua) : Sang Petugas “Mana kartu NPWP?” KK with smile “Saya lupa bawa” SP “NPWP-nya saja” KK with bigger smile “Tidak ingat saya Bapak. Bisakah dengan bantuan komputer yang Bapak gunakan nama saya dan tanggal lahir saya The First of May melacak NPWP saya?” SP “Coba tanya orang rumah NPWP Bapak, nanti kembali kesini” KK with only a little smile “Sistem Pajak Nasional ‘kan sudah full computerized seperti kita sering nonton iklannya di TV. Pasti bisa Bapak, please?” SP “????” KK with a sweet smile “Please?” SP sambil malu-malu “Bapak, komputer di konter ini tidak on-line. Coba ke konter LN disana” sambil menunjuk kearah konter bebas fiskal di terminal dekat jejeran konter maskapai penerbangan asing. KK sambil manyun dan ngeloyor pergi “Hari gini masih off-line” Di konter Bebas Fiskal LN kami berbincang semi adu argumen:
SP-2 (yang namanya juga saya sapa dengan hangat) “Mana kartu NPWP?” KK dengan trik pdkt “Dari konter bebas Fiskal yang di Terminal 3E, saya diminta kesini karena lupa tidak bawa dan lupa pula mengingat NPWP” SP-2 dengan kesan ogah-ogahan “Tidak bisa. Musti ada kartu NPWP atau NPWP” KK tetap senyum walau trik pdkt mulai sirna “Walau sudah on-line dan real-time tapi tidak bisa lacak NPWP dengan menggunakan nama lengkap dan tanggal lahir? Saya catat pernyataan Bapak ini ya, boleh?”. Komunikasi kami rupanya ini terdengar (maklum secara alami suara saya keras bergaya bariton) oleh Komandan Petugas (Supervisor) yang mencitrakan dirinya tegas dan galak dan mendatangi konter dimana saya sedang berhadapan dengan SP-2. Saya sapa nama sang Komandan Petugas sesuai dengan
name-tag yang tertera “Selamat siang Bapak, saya boleh minta bantuan?”.
SP-Boss “Ada masalah apa?” KK dengan keukeuh (persistent) “Saya minta tolong untuk melacak NPWP menggunakan nama lengkap dan tanggal lahir”. SP-Boss sambil tolak-pinggang “Tidak bisa. Musti tahu aturan dan baca itu aturan yang tertempel didepan Saudara, jangan lupa NPWP dan jika lupa upayakan sendiri”. KK lagi-lagi keukeuh sambil bergaya mau ngeloyor meninggalkan konter “Okay, terima kasih Bapak SP-Boss dan SP-2, saya catat bahwa walau sudah on-line dan real-time namun Sistem Pajak Nasional tidak bisa dipakai untuk melacak NPWP seseorang”. SP-Boss buang muka dan pergi tapi berguman “Hanya Dirjen Pajak yang bisa membuat pernyataan sepeti itu”. Sesudah SP-Boss pergi dan saya siap-siap meninggalkan konter, tiba-tiba SP-2 bilang “Minta boarding pass dan paspor Bapak” Kemudian, tampak jemari SP-2 lincah menari di papan-ketik komputer menenak tombol-tombol alfanumerik dan tak lama kemudian -- abrakadabra -- saya dapat secarik kertas bertuliskan Bebas Fiskal. Bereslah semua urusan : paspor,
boarding pass,
airport tax chit, sticker bebas Fiskal plus kartu imigrasi yang sudah terisi lengkap. Horeeee ....
KEMBALI KE ARTIKEL