Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi Artikel Utama

Nalar Ekonomi dan Nalar Teknologi: Collision Vs Coalition

2 Desember 2009   04:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:07 938 0
[caption id="attachment_32325" align="alignleft" width="240" caption="shutterstock"][/caption] Sering sekali kita mendengar berita dan membaca artikel yang menggambarkan kegemasan dan kegundahan para akademisi, praktisi sampai wakil rakyat seputar kekayaan alam Indonesia yang masih juga belum berhasil menjadi penggerak dan kekuatan utama dalam upaya menggapai cita luhur perjuangan kemerdekaan kita yaitu kesejahteraan rakyat. Zamrud Khatulistiwa adalah kata lain yang digunakan untuk menggambarkan betapa indah dan kayanya NKRI.  Multatuli atau Max Havelaar yang menggunakan kata ini di pertengahan abad 18. Tjatur Sapto Edy yang anggota DPR Komisi-VII, 2004-2009 menyampaikan pemikiran kritis dalam artikelnya di http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/opini/1id129891.htmltentang pemikiran keliru jika sumber daya alam hanya dipandang sebagai sumber devisa (dalam perspektif ekonomi). Dalam artikel di Kompasiana, Faisal Basri mengutarakan kegalauannya dengan menampilkan data dan fakta dalam melakukan tinjauan kemudian menyimpulkan potensi terjadinya fenomena deindustrialisasi, http://ekonomi.kompasiana.com/2009/11/30/deindustrialisasi/ Ini akan jadi realitas jika kita tetap senang memerangkap diri pada business as usual. Dijaman orba kita mengenal perlombaan kekuasaan berupa benturan dua pendekatan yaitu comparative advantage melawan competitive advantage yang kemudian menjadi peluru politik wijojonomics vs habibinomics. Benturan ini dari satu sudtu pandang tidak lain adalah bagaimana ruginya rakyat akibat kompetisi keserakahan yang berdampak pada terjadinya benturan (collision) antara nalar ekonomi dengan nalar teknologi. hanya kerugian saja yang dihasilkan dari the loose-loose game tersebut. Padahal renaisance yang ditandai dengan semangat valorisasi dan penguatan jejaring ABG (The Triple Helix) di Eropah menunjukkan dampak positif yang besar pada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat jika dengan sungguh-sungguh diupayakan harmonisasi nalar ekonomi dengan teknologi. Coalition and not collision ! Dapatkah riset iptek atau teknologi berkontribusi dalam membangun daya saing industri dan pertumbuhan ekonomi? Dengan perkataan lain, apakah nalar atau logika teknologi dapat diselaraskan dengan nalar ekonomi dan keduanya saling menopang? Dari sudut pandang pelaku usaha swasta, pertanyaan ini akan dirujukkan pada, setidak-tidaknya, faktor persaingan usaha dan permintaan pasar. Jika perusahaan pesaing menawarkan produk dengan harga yang lebih rendah, maka teknologi berpeluang berkontribusi bila mampu menurunkan biaya produksi. Bila permintaan pasar meningkat dalam kondisi daya beli tetap, teknologi berpeluang untuk berperan bila dapat menghasilkan produk lebih banyak dan lebih cepat sampai ke pasar tanpa berimbas peningkatan biaya produksi, termasuk tentunya upah buruh. Para pelaku teknologi dalam negeri tidak jarang mengalami kesulitan untuk bisa memenuhi salah satu dari dua syarat di atas. Ini bukan berarti tidak ada hasil litbang iptek dalam negeri yang mampu memenuhi persyaratan tersebut. Akan tetapi, ketersediaan iptek nasional memang tidak dikembangkan untuk tujuan utama menghasilkan teknologi dengan tujuan menurunkan biaya produksi di industri. Sebaliknya, apakah ekonomi dapat berkontribusi dalam perkembangan teknologi? Atau, apakah pertumbuhan ekonomi akan berimplikasi menghela perkembangan iptek, misalnya diukur dalam jumlah paten dan karya ilmiah lain? Bila pengeluaran dana untuk pengembangan iptek dipandang sebagai biaya, bukan sebagai investasi, maka prioritas pendanaan iptek akan terbatas. Dan juga tidak ada pihak swasta yang mampu mengalokasikan dana dalam jumlah besar untuk litbang, sementara perolehan (return) dari investasi ini tidak dapat dipastikan. Investasi untuk pengembangan industri atau bisnis baru tak jarang melibatkan teknologi impor yang pada gilirannya membuat iptek dalam negeri semakin tidak relevan. Uraian ringkas ini memperlihatkan bahwa nalar pelaku riset iptek dan nalar pengusaha, dengan kalimat lain, nalar teknologi dan nalar ekonomi, tampaknya seperti berjalan sendiri-sendiri menuju ke arah yang berbeda atau bahkan berlawanan seperti yang dikhawatirkan Tjatur Sapto Edy dan Faisal Basri dalam tulisan-tulisannya seperti diuraikan diatas. Meskipun demikian, kita tahu bahwa peningkatan PDB di negara berindustri maju tidak mungkin terjadi tanpa adanya faktor teknologi yang kuat. Teknologi jelas merupakan syarat perlu (necessary condition) bagi pertumbuhan ekonomi di negara berindustri maju, walaupun ini bukan syarat cukup (sufficient condition). Disisi  lain, pertumbuhan PDB di negara berindustri maju berpengaruh besar terhadap perkembangan teknologi dalam negeri melalui investasi. Bagi Indonesia, di mana PDB dan laju peningkatan PDB masih belum tinggi dan laju perkembangan teknologi masih lamban, masalah klasik -- telur dan ayam ! Dari mana kita harus memulainya ? Peningkatan PDB atau peningkatan kemampuan teknologi? Pertanyaan ini tidak bisa dijawab selama teknologi dan ekonomi masih jalan sendiri-sendiri bahkan mutually exclusive. Semakin upaya peningkatan PDB dilakukan, semakin bergantung industri pada teknologi impor, dan semakin tertinggal teknologi dalam negeri dari teknologik yang digunakan di industri. Sebaliknya, bila perkembangan teknologi yang didahulukan, dari mana biaya kapital dan biaya operasi pengembangan teknologi didapatkan? Semula pemenangan oleh MK terhadap gugatan agar minimal 20% APBN dialokasikan untuk pendidikan dipandang sebagai angin segar bagi dunia litbang namun pemikiran picik yang memisahkan pendidikan dengan pengembangan atau riset teknologi telah memupuskan harapan tersebut. Angin segar telah berubah menjadi fatamorgana angin surga. Ketika kita membicarakan teknologi dan ekonomi di negara berindustri maju, satu faktor yang perlu mendapat perhatian adalah ketersediaan (stock) iptek yang berlimpah  baik di perguruan tinggi, lembaga riset maupun di industri. Pengembangan iptek dapat langsung berperan dalam ekonomi bila ketersediaan teknologi tersedia dalam beragam jenis dan status  yang matang. Hal ini terjadi misalnya di era paska Perang Dunia II di negara berindustri maju. Di saat itu, ketersediaan teknologi telah tinggi melalui investasi litbang di masa perang, yang didorong oleh kepentingan pertahanan. Misalnya, fisika semikonduktor membuka jalan bagi teknologi digital dan industri komputer dan otomasi. Ini memmungkinkan manufaktur berpresisi tinggi dengan kecepatan produksi yang tinggi. Biaya produksi menjadi turun. Teknologi multimedia membantu munculnya permintaan, khususnya gaya hidup (life style) serta citra diri (image). Dengan ini semua, permintaan pasar tercipta, kemampuan pemasokan ada, dan harga yang setimbang dapat dicapai karena faktor biaya produksi dapat diatur  yaitu melalui pencarian pilihan teknologi. Skenario lain adalah bila pemerintah melakukan investasi dalam jumlah besar untuk litbang di industri atau di lembaga litbang yang didedikasikan untuk industri. Ini terjadi di Korea Selatan dan Jepang. Melalui investasi ini ketersediaan teknologi berkembang cepat dan sekaligus terarah. Di sisi lain, pemerintah melakukan pengendalian terhadap munculnya industri baru pesaing. Di Jepang, Korea Selatan dan Cina, kebijakan proteksi berupa fortifikasi pasar dalam negeri dilakukan terhadap kehadiran industri asing agar industri nasional berkembang dan lebih siap bersaing. Selain teknologi produksi, teknologi energi juga memainkan peranan menentukan walaupun tidak tampak. Di awal revolusi industri, selain diinvensinya mesin uap (yaitu oleh James Watt) untuk prosuksi tekstil, juga berkembang teknologi penambangan dan pengolahan batu bara. Teknologi energi menentukan kesiapan infrastruktur industri, baik untuk kebutuhan produksi maupun konsumsi. Dengan berkembangnya teknologi listrik, berbagai peralatan elektronik dapat digunakan di rumah tangga, dan ini menciptakan kondisi bagi berkembangnya permintaan akan produk elektronik yang baru. Tetapi teknologi baru dapat ditanamkan ke industri dan menghasilkan nilai ekonomi hanya bila kapasitas industri dan berbagai kondisi yang memelihara permintaan pasar siap untuk menyerap produk baru. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi akan berimplikasi pada perkembangan iptek bila iptek itu sendiri sudah menjadi faktor dominan dalam persaingan industri.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun