Selain prosedur pengamanan dan penerimaan yang berlapis semenjak masuk ke loket resepsionis dimana kita akan ditanya beberapa pertanyaan "menemui siapa?" "Sudah janjian apa belum?", croscheck ke ruangan melalui aspri atau Tenaga Ahlinya, hingga pemeriksaan tas bawaan kita.
Kemarin saya beruntung kontak dengan seorang sahabat Kompasaners Kang Harja Saputra, dia penulis hebat dengan pemikiran-pemikirannya yang moderat dan tajam dengan basis keilmuan yang dalam, dia juga penyuka fotografi. Beberapa kali saya terlibat dalam dialog dan diskusi melalui kolom komentar di postingan tulisan masing-masing kita, dan akhirnya kami tukar-tukaran nomer handphone.
Senin Pagi itu saya sudah ngopi di kafetaria Gedung wakil rakyat sambil sarapan, Kang Harja mengabarkan bahwa dirinya masih di perjalanan dan sedikit terjebak macet, saya menunggu sambil SMS wakil rakyat dari dapil saya yang sangat sulit menerima atau mengangkat telp bahkan membalas SMS sekalipun. Sementara Kang Harja itu Tenaga Ahli dari anggota DPR asal NTB. Kita janjian bertemu asli Kopdaran sesama Kompasianers saja.
Saat kami bertemu, kita Kopdaran berdua sesama Kompasiana ditemani sopir saya. Kang harja memang orangnya ramah, murah senyum dan super hangat. Kami berbincang banyak hal, dari mulai perjalanan saya ke Jakarta, aktifitas menulis di Kompasiana, hingga perjalanan hidup masing-masing. Asyik sekali. Saya menangkap beliau memang orang yang matang secara intelektualitas dan dewasa dalam menyikapi hidup dan menjalani pergaulannya. Saya bersyukur bisa bertemu dan ngobrol dengan beliau.
Setelah lama ngobrol di kafetaria, saya ditanya oleh Kang Harja " Akang mau menemui siapa ke sini?" Saya sampaikan pada Kang harja bahwa saya ingin menemui anggota DPR dari Dapil saya, tapi saya tahu beliau lagi cuti, tapi ingin tahu aja ruangan kerjanya. Selain itu saya ingin silaturrahmi pada anggota DPR dari fraksi yang sama dengan dapil yang berbeda, yang beliau itu punya sejarah hidup lama di daerah saya dan sering berkunjung ke Tasikmalaya. Namanya pak Bambang Heri atau dikenal dengan nama Bambang Uli.
Lalu kang Harja mengajak saya naik ke Lantai 21, dengan beliau tak perlu melewati prosedur pemeriksaan pada umumnya. Di ruangan kerja Kang Harja ada 2 orang lagi staff lainnya yang mungkin Tenaga Ahli dan Aspri, keduanya juga sangat ramah dan hangat. Mereka membantu kontak dengan TA dan Aspri ruangan di 1820 tempat anggota DPR pak Bambang Heri itu. Tapi dari ujung telpon mereka mengatakan bahwa pak Bambang tidak ada di ruangan. Lalu saya pun pamit ke Kang Harja Saputra meluncur turun ke ruangan Gita KDI anggota DPR dari dapil saya yang saya kenal.
Di ruangan beliau saya ngobrol panjang lebar dengan Tenaga Ahlinya Teh Eem, beliau sangat antusias karena basis aktifis dan ternyata kakak beliau satu desa dengan saya. Kita ngobrol dan diskusi banyak hal termasuk niatan saya ingin bertemu dengan pak Bambang Heri itu dengan segala ceritanya. Saya tegaskan pada Teh Eem, saya hanya ingin menyampaikan poin pesan tertentu pada beliau tanpa embel-embel urusan minta-minta bantuan yang sifatnya materi, meskipun beliau katanya seorang pengusaha sukses di Kalimantannya. Sangat detail saya sampaikan maksud dan tujuan saya.
Lalu Teh Eem sebagai sesama Tenaga Ahli di lantai 18 itu membantu kontak dengan TA di ruangan 1820 bahkan saya diantarkan ke ruangannya. Tapi saya menyaksikan pemandangan yang sangat berbeda dengan yang saya alami di ruangan Kang Harja dan Teh Eem. TA dan Aspri di ruangan 1820 itu (kalo nggak salah namanya pak Supiyo dan pak ZA Maliki) ternyata berwajah tegang semua. Tak ada kehangatan dan senyum keramahan di mereka. Bicaranya "teugeug" kalau istilah daerah saya, mereka tak mencoba menerima tamu dan mengajak berbicara secara pelayanan minimal (layanan standar PR lah) sebagai seorang staff dan tenaga ahlinya seorang wakil rakyat.
Meskipun beda dapil, tapi kan sesama bendera dan saya jelaskan kronologis sejarah bosnya di ruangan tersebut yaitu Pak Bambang Heri. Saya tak berlama-lama di ruangan itu, wajah kaku dan bicara mereka yang penuh curiga membuat saya segera pamit saja.
Saya terus terang tak nyaman dengan gaya melayani tamu di ruangan 1820 itu. Saya selalu ingin terus belajar dari apa yang saya lihat, saya dengar dan saya rasakan. Anggap saja saya sedang melakukan riset terhadap bagaimana kehidupan di dalam gedung wakil rakyat itu, Bagaimana alur kunjungan rakyat terhadap wakilnya, bagaimana pola komunikasi anggota DPR, para Tenaga Ahli dan Asprinya.
Dari pengalaman itu memang saya menangkap kesan bahwa wajar pandangan umum masyarakat terhadap anggota DPR itu yang semakin berjarak. Apalagi kalau anggota legislatif di tingkat provinsi dan pusat. Sulit sekali kalau mau bertemu dengan mereka. Prinsip tawasul atau pintu akses melalui TA atau asprinya memang menjadi kunci pembuka. Tanpa mengenal baik dengan mereka, jangan mimpi bisa menembusnya.
Untuk para TA di gedung wakil rakyat yang terhormat, semoga saja mereka lebih diberikan kecerdasan emosional dalam menerima rakyat yang berkunjung ke wakilnya. Saya yakin mereka cerdas secara intelektual, tapi secara emosional dan sosial mereka perlu diberikan pelatihan lagi...
Tapi saya bersyukur masih dipertemukan dengan tipikal TA seperti Kang Harja Saputra dan Teh Eem, yang masih menerima saya dengan hangat dan mencerahkan. Satu hal, hindari prasangka dan su'udzhan jika ada rakyat yang berkunjung ke ruangan wakilnya, jangan dipersepsikan ingin minta bekel pulang atau sesuatu yang sifatnya materi atau bantuan. Sebagai sesama pejuang di jalan politik Bintang Sembilan saya berharap para TA di lantai 18 untuk lebih bisa melayani rakyat dengan lebih baik lagi.