Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Belajar Hidup dari Mas Amar Si Tukang Bubur Ayam

21 November 2012   03:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:57 951 1
Meski tak menghadiri Kompasianival 2012. Selama 2 hari kemarin (Senin-Selasa) saya berada di Jakarta. Saya tiba di Jakarta Senin pagi sekitar pukul 05.30 untuk beberapa keperluan. Saya berkunjunga ke Rumah paman saya di daerah Tomang, tempat dulu  selama 7 tahun saya tinggal semasa kuliah.

Saya selalu kangen makanan khas yang dulu biasa saya santap. Baso Mas Tarno, Bubur Ayam Mas Amar dan Ketoprak. Saat pertama kali ke Jakarta tahun 1995 saya sudah mengenal mereka-mereka itu. Kini setelah lebih 17 tahun mereka masih tetap ada dan mangkal di dekat kios warung paman saya tersebut.

Roda dagangan mereka sama, wajah-wajah mereka pun kelihatan masih tetap seperti 17 tahun yang lalu. Mereka masih tetap segar dan semangat, wajah hangat dan sumringah saat bertemu dan bertegur sapa.

Saya langsung memesan semangkuk bubur ayam Mas Amar bersama supir saya. Sambil bersantap bubur plus sate jeroan ayam ati ampelanya, Mas Amar ngajak ngobrol saya.

" Dalam rangka apa mas ke Jakarta? "Tanya dia

" Ada urusan aja" Jawabku

" Hebat yaa sekarang dah sukses" Ungkap Mas Amar

" Akh biasa aja. Mas Amar Roda masih satu yaa dari semenjak dulu ? Trus wajahnya koq masih sama aja kayak dulu, padahal dah 17 tahun yang lalu aku kenal mas Amar" Tanyaku mengalihkan pembicaraan.

" Yang penting di syukuri dan barokah mas, dari dulu dah 25 tahun saya jualan bubur di Jakarta, saya tetap jualan dengan satu gerobak bubur ini. Yang penting sehat, anak-istri dinafkahi halal dan rumah tangga rukun terus, anak-anak bisa sekolah, itu saja" kata Mas Amar

Ungkapan Mas Amar si Tukang Bubur itu membuat saya agak merenung. Bayangan saya dan pemahaman saya selama ini, seorang pedagang itu dianggap sukses kalau selama berdagang itu dia teru berkembang, mengalami kemajuan. Tadinya jualan bubur dengan gerobak satu, perjalanan waktu bisa nambah misalnya, entah 2 gerobak, 5 atau sepuluh gerobak dengan beberapa anak buah.  Sebagaimana banyak terjadi dengan beberapa pedagang makanan lainnya, seperti siomay, mie ayam dll.

Tapi Mas Amar ternyata tidak memiliki bayangan ikhtiar mencari nafkah hidup seperti itu. Bagi dia yang penting Tuhan memberikan jalan baginya untuk berusaha, mencari penghidupan dengan cara berdagang bubur, dia menjalaninya dengan senang hati, lapang pikiran, ikhlas demi nafkah anak dan istri. Memang ada kemajuannya, dulu dia tak punya motor, sekarang dia katanya punya motor.

Yang paling penting kalimat menyengat yang keluar dari mulut mas Amar Tukang bubur ini " Yang penting sehat dan barokah saja mas" sebuah pikiran sederhana yang lapang dalam menjalani kehidupan. Maka tidaklah heran dia kelihatannya awet muda. Padahal saya tak sudah 17 tahun yang lalu mengenal Tukang Bubur itu.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun