Saya sempat berfikir, gejala apa ini sebenarnya. Kota kecilku menjadi tempat pajangan motor begini. Yang paling meresahkan adalah, bahwa jika malam kian larut, group motor tersebut berkonvoi keliling kota. Mereka meraung-raungkan suara bising knalpotnya yang sudah di variasi. Beberapa tawuran antar gank motor maupun penyerangan gank motor terhadap perkampungan warga kerap terjadi, dan sempat memakan korban jiwa dan luka-luka. Aparat tinggal aparat, meski disiagakan pasukan dalmas di dekat pos tugu Adipura, namun rentetan kejadian memilukan dan meresahkan warga itu terus saja terjadi.
Inilah sepertinya gaya hidup remaja yang juga rata-rata anak sekolahan zaman sekarang. Mereka, karena berbagai serbuan budaya modernisme, tersedianya sokongan ekonomi keluarga, sementara perhatian keluarga yang kurang karena kesibukan ibu bapaknya bekerja, ditambah lagi derasnya perkembangan teknologi, karenanya mereka memiliki kesempatan untuk dapat berkomunikasi dengan Handphone, internet, dan perangkat media sosial lainnya. Mereka mudah berhimpun diri dalam sebuah ikatan kelompok, saling mengidentifikasi diri, saling curhat dan mencari pelarian bersama karena suasana broken home nya di keluarga.
Mereka senang bergerombol, mulai belajar merokok, berpakaian dan bergaya rambut yang aneh-aneh, memakai tindik di telinga, hidung, bibir bahkan lidah. Lebih jauhnya lagi mereka mulai coba-coba miras oplosan, narkoba, seks bebas dll, Itulah gaya yang menurut mereka dianggap sebagai sebuah model dan gaya hidup yang keren. Yang mencerminkan anak muda yang gaul dan funky.
Gaya hidup nge-gank, nongkrong bergerombol, berkonvoi kendaraan dengan raungan bising knalpot, seakan sudah menjadi trend umum di semua darah. Baik Kota-kota besar maupun pinggirannya. Sangatlah jauh berbeda, keadaan remaja kini dengan sepuluh tahun yang lalu misalnya, kalau dulu mesjid dan tempat mengaji masih dipenuhi oleh para remaja, usia sekolah SMP maupun SMA masih mau menuntut ilmu agama di malam hari, melalui majlis taklim di pesnatren, madrasah atau mesjid di dekat tempat tinggalnya. Kini perkembangan modernisme yang sedemikian pesat, derasnya arus pengaruh budaya barat, bejibunnya pusat-pusat perbelanjaan, mall dan supermarket, karaoke dan pusat keramaian publik lainnya, telah menyihir mereka untuk lebih banyak di dunia arus budaya pop dibandingkan melatih dan belajar diri dengan berbagai bekal keilmuan dan attitude masa depan.
Pesatnya teknologi, telah membuat para remaja dan anak-anak sekolah kita tercerabut dari dunia genuinitasnya sebagai anak bangsa. Facebook, twitter, gameonline, tayangan di televisi telah menyihir mereka menjadi anak muda dan remaja yang teralienasi dari keluhuran budaya orang tuanya. Sekolah seakan hanya berperan mencerdaskan intelektualnya semata, sementara moral, mental dan kecerdasan emosional serta spiritualnya tak tersentuh dengan baik. Kita lebih bangga dengan teori pengajaran dibanding dengan pendidikan. Mengajar membuat mereka pintar, tapi mendidik membuat mereka benar.
Selain itu, orang tua juga berperan melahirkan situasa kegagapan budaya seperti itu bagi anak-anak muda, mereka cenderung melupakan peran mendidiknya sebagai seorang ibu ataupun ayah bagi anak-anaknya. Mereka sekan berfikir bahwa tugas utamanya mencari nafkah, menyediakan kebutuhan ekonomi bagi anak-anaknya. Sementara perannya dalam berkomunikasi di rumah tidak mampu dilaksanakan secara maksimal. Mereka susah berperan sebagai pendengar yang baik, dari keluh kesah dan curhat anak-anaknya, mereka pembicara yang baik yang mengeluarkan banyak perintah dan larangan bagi anak-anaknya. Tanpa sentuhan ketulusan cinta dan kasih.
Anak Sekolah sekarang, gak gaul gak funky, gak nongkrong gak asyik, gak bisingkan knalpot motor nggak keren. gak nyoba narkoba, ndeso, nggak ngelakuin seks bebas, ketinggalan zaman. Apakah remaja tua kayak kita-kita ini, dan para orang tuanya akan diam membisu sajja? SEPERTINYA SEMUA KOMPONEN HARUS MELAKUKAN SESUATU. Pemerintah, aparat, orang tua, tokoh agama, praktisi pendidikan, Tak bolah diam, sama sekali.!